Pemerintah Provinsi Bali merasa khawatir terjadi eksodus Pekerja Seks
Komersial (PSK) dari Jawa Timur setelah sejumlah lokalisasi di daerah
itu ditutup.
"Bisa saja, PSK dari Jatim itu
eksodus ke Bali atau ke Jawa Tengah. Ini yang kami khawatirkan," kata
Kepala Dinas Sosial Provinsi Bali Nyoman Wenten di Denpasar, Jumat
(11/10).
Menurut dia, Pemprov Jawa Timur mempunyai
program menertibkan dan menutup lokalisasi PSK secara perlahan mulai
tahun lalu. Dari 40 lokalisasi yang ada, sejak ada program penutupan,
sekarang hanya tinggal 30 lokalisasi.Gelombang PSK dari Jatim ke Bali
perlu diwaspadai sebab ancaman penyebaran penyakit HIV/AIDS semakin
tinggi.
"Bali jadi salah satu sasaran PSK sebab
Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dan PSK hidup subur di Bali.
Sistem ekonomi berlaku, di mana ada permintaan di sana pasti ada
penawaran," ujarnya.
Kekhawatiran
pemerintah provinsi Bali akan eksodusnya PSK dari Jawa Timur,
sebetulnya tidak perlu terjadi, bila PSK tidak hidup subur di Bali. Oleh
karenanya, kekhawatiran ini cuma sekedar ‘basa basi’. Keinginan pemprov
Bali untuk mencegah meningkatnya penyebaran penyakit HIV/AIDS hanya
‘teori’.
Bagaimana mungkin, eksodus PSK dari Jawa
Timur dapat dicegah, sementara lokalisasi PSK di Bali malah dilegalkan?
Apakah mungkin penyebaran penyakit HIV/AIDS dapat ditekan hingga titik
nol, bila PSK di Bali dapat bebas di Bali, tanpa sanksi hukum sedikit
pun?
Jika Bali benar-benar ingin mencegah
eksodusnya PSK dari Jawa Timur, Bali harus dengan sungguh-sungguh
menutup berbagai lokalisasi di Bali. Jika provinsi-provinsi lain tidak
ingin merasa khawatir seperti pemprov Bali, maka provinsi lainnya juga
mesti mengikuti langkah pemprov Jatim dalam menutup
lokalisasi-lokalisasi. Selama sarana prostitusi masih marak, maka para
PSK akan memperoleh tempat.
Tidak usah ragu untuk
menutup lokalisasi-lokalisasi, apapun pertimbangannya. Siapa bilang
lokalisasi prostitusi menjadi salah satu daya tarik pariwisata?
Bagaimana jika Bali nanti dikenal sebagai tempat pusat penyebaran
penyakit HIV/AIDS, karena lokalisasi prostitusi marak di sana? Apakah
para wisatawan akan tetap tertarik datang ke Bali, bila kondisinya
seperti ini?
Tidak usah ragu untuk menutup
lokalisasi prostitusi, apapun alasannya. Dulu pemprov DKI sempat membuat
lokalisasi prostitusi dengan tujuan untuk menarik pajak darinya. Pajak
ini digunakan untuk pembangunan jalan-jalan di ibu kota.
Apa
gunanya pembangunan fisik ibu kota berkembang, sementara moral umat
jatuh merosot hingga titik paling rendah. Apa gunanya, jalan mulus,
gedung-gedung tinggi menjulang dan mentereng, sementara generasi muda
menjadi generasi yang tidak dapat diharapkan untuk meneruskan tongkat
estafet bangsa.
Tak perlu ragu untuk menutup
lokalisasi prostitusi, apapun alasannya. Dulu untuk melegalkan
lokalisasi, ada pihak-pihak yang mencoba menguatkan alasannya dengan
kaidah syara’. Kaidah syara’nya adalah Akhaffu Dhararain (mengambil
bahaya yang paling ringan diantara dua bahaya yang ada). Mereka juga
menggunakan kaidah syara’ lainnya Ahwanu Syarrain (mengambil keburukan
yang paling ringan diantara dua keburukan yang ada). Melegalkan
lokalisasi dianggap bahaya dan keburukan yang paling ringan. Sehingga
sikap ini diambil.
Padahal, kaidah syara’ tidak bisa
dijadikan dalil, bila sudah ada dalil yang jelas di dalam Al-Quran dan
Sunnah. Bukankah Al-Quran sudah amat jelas tentang pengharaman perbuatan
zina? Bahkan para pelaku zina harus dijatuhi sanksi cambuk atau rajam.
Karena
Al-Quran dan Sunnah sudah jelas mengharamkan adanya perbuatan zina,
oleh karenanya kaidah syara’ tidak dapat dijadikan dalil. Terlebih lagi
posisi kaidah syara’ bukan pada posisi dalil. Karena dia merupakan
produk dari suatu dalil.
Kaidah syara’,
“Kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu
menjadi wajib” berasal dari dalil Al-Quran yang membahas tentang wudhu’.
Dalil yang dimaksud adalah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku.” (QS Al-Maidah (5):6). Kewajiban membasuh tangan baru
sempurna dengan membasuh hingga siku, oleh karenanya membasuh siku
menjadi wajib.
Sekali lagi semua kaidah syara’
(termasuk Akhaffu Dhararain dan Ahwanu Syarrain) tidak dapat menjadi
dalil karena posisinya sebagai ‘produk’ dalil.
TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN
FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar