Jumat, 26 Agustus 2011

33. ABBAS BIN ABDUL MUTHALIB

ABBAS BIN ABDUL MUTHALIB
PENGURUS AIR MINUM UNTUK KOTA SUCI MEKAH

DAN MADINAH (HARAMAIN)
Pada suatu musim kemarau, di waktu penduduk dan negeri ditimpa kekeringan yang sangat, keluarlah Amirul Mu’minin Umar bersama-sama Kaum Muslimin ke lapangan terbuka, melakukan shalat istisqa’ (minta hujan), dan berdu’a merendah­kan diri kepada Allah yang Penyayang agar mengirimkan awan dan menurunkan hujan kepada mereka ….
Umar berdiri sambil memegang tangan kanan Abbas dengan tangan kanannya, diangkatkannya ke arah langit sembari ber­kata:  ”Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan perantaraan Nabi-Mu, pada masa beliau masih berada di antara kami . . . . Ya Allah, sekarang kami meminta hujan pula perantaraan paman Nabi-Mu, maka mohonlah kami diberi hujan … !”
Belum lagi sempat Kaum Muslimin meninggalkan tempat mereka, datanglah awan tebal dan hujan lebat pun turunlah, mendatangkan sukacita, menyiram bumi dan menyuburkan tanah. Para shahabat pun menemui Abbas, memagut dan men­ciumnya Serta mengambil berkat dengannya sambil berkata:  ”Selamat kami ucapkan untuk anda, wahai penyedia air minum Haramain (Mekah – Madinah) … !”
Nah, siapakah dia penyedia air minum Haramain ini? Dan siapakah orang yang dijadikan Umar sebagai perantara baginya kepada Allah, padahal. Umar sudah tak asing lagi bagi kita ketaqwaannya, kedahuluannya masuk Islam, serta kedudukannya di sisi Allah dan di sisi Rasul-Nya serta di sisi orang-orang beriman . . . ?
Ia adalah Abbas, paman Rasulullah saw. Rasul memulyakannya sebagaimana ia pun mencintainya, juga memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan budi pekertinya, sabdanya:
“Inilah orang tuaku yang masih ada ……Inilah dia Abbas bin Abdul Mutthalib, orang Quraisy yang paling pemurah dan teramat ramah … !
Sebagaimana Hamzah adalah paman Nabi dan Shahabatnya, demikian pula halnya Abbas paman dan teman sebayanya, se­moga Allah ridla keduanya … !
Perbedaan umur antara keduanya hanya terpaut dua atau .tiga tahun yakni lebih tua Abbas dari Rasulullah. Demikianlah, Muhammad saw dan pamannya Abbas merupakan dua orang anak yang hampir sebaya dan dua orang pemuda dari satu ang­katan. Ikatan kekeluargaan bukanlah satu-satunya alasan yang menyebabkan keakraban dan terjalin persabatan yang intim antara keduanya, tetapi persamaan umur tidak kurang berpengaruhnya.
Hal lain yang menyebabkan Nabi menempatkan Abbas di tempat pertama, ialah karena akhlaq dan budi pekertinya. Abbas adalah seorang yang pemurah, sangat pemurah, seolah-olah dialah paman atau bapak kepemurahan . . . . Ia selalu menjaga dan menghubungkan tali silaturrahmi dan kekeluargaan, dan untuk itu tidak segan-segan mengeluarkan tenaga ataupun harta . . . . Di samping itu semua, ia juga seorang yang cerdas, bahkan sampai ke tingkat genius . . . . dan dengan kecerdasannya ini yang disokong oleh kedudukannya yang tinggi di kalangan Quraisy, ia sanggup membela Rasul saw. dari bencana dan kejahatan mereka, ketika beliau melahirkan da’wahnya secara terang-terangan.
Dalam pembicaraan kita tentang Hamzah terdahulu, kita mengenal Hamzah yang selalu menentang kedurhakaan orang Quraisy dan kebiadaban Abu Jahal dengan pedangnya yang arnpuh. Adapun Abbas, ia menentangnya dengan kecerdasan dan kecerdikan yang memberi manfa’at bagi Islam sebagaimana halnya senjata pedang yang bermanfa’at dalam membela haknya dan mempertahankannya … !
Maka Abbas tidak mengumumkan keislamannya kecuali baru pada tahun pembebasan kota Mekah, yang menyebabkan sebagian ahli sejarah memandangnya tergolong kepada orang­-orang yang belakangan masuk Islam, tetapi riwayat-riwayat lain dalam sejarah memberitakannya termasuk orang-orang Islam angkatan pertama, hanya Saja menyembunyikan keislam­annya itu ….
Berkatalah Abu Rafi’ khadam Rasulullah saw.: “Aku adalah anak suruhan (pelayan) bagi Abbas bin Abdul Mutthalib, dan waktu itu Islam telah masuk kepada kami, ahli bait … ke­luarga Nabi … maka Abbas pun masuk Islam begitu pula Ummul. Fadlal, dan aku pun juga masuk … hanya Abbas menyembunyi­kan keislamannya . . . !” Inilah riwayat Abu Rafi’ yang men­ceritakan keadaan Abbas dan masuk Islamnya sebelum perang Badar Dan kalau begitu, waktu itu Abbas telah menganut Islam….
Beradanya ia di Mekah sesudah Nabi dan shahabat-shahabat­nya merupakan suatu langkah perjuangan yang sudah direncana­kan dengan matang hingga membuahkan hasil yang sebaik­baiknya.
Orang-orang Quraisy pun tidak menyembunyikan keragu­-raguan mereka tentang hati kecil Abbas, tetapi mereka tak punya alasan untuk memusuhinya, apalagi pada lahirnya tingkah laku dan agamanya tidaklah bertentangan dengan kemauan mereka!
Hingga waktu datang perang Badar terbukalah kesempatan bagi orang-orang Quraisy untuk menguji rahasia hati dan pen­dirian Abbas yang sesungguhnya . . . . Sedang Abbas lebih cerdik dan tidak lengah terhadap gerak-gerik dan tipu muslihat busuk yang direncanakan Quraisy dalam melampiaskan kejengkelannya dan mengatur permufakatan jahat mereka ….
Sekalipun Abbas telah berhasil menyampaikan keadaan dan gerak-gerik orang-orang Quraisy kepada Nabi di Madinah  orang Quraisy pun berhasil memaksanya maju berperang, suatu perbuatan yang tidak disukai dan dikehendakinya . . . ! Namun keberhasilan Quraisy itu adalah keberhasilan sementara, karena ternyata berbalik membawa kerugian dan kehancuran mereka….Kedua golongan itu pun bertemulah di medan perang Badar . . . . Pedang-pedang pun gemerincing beradu dalam kecamuk perang yang menakutkan, yang akan menentukan hidup mati dan akhir kesudahan kedua belah pihak ….
Rasulullah berseru di tengah-tengah para shahabatnya, katanya:  ”Sesungguhnya ada beberapa orang dari keluarga Bani Hasyim dan yang bukan Bani Hasyim yang keluar dipaksa pergi berperang, padahal sebenarnya mereka tidak hendak memerangi kita . . . oleh sebab itu siapa di antara kamu yang menemukannya, maka janganlah ia dibunuhnya . . ! Siapa yang bertemu dengan Abul Bakhtari bin Hisyam bin Harits bin Asad, janganlah membunuhnya . . . ! Dan siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Mutthalib, jangan membunuhnya karena orang­orang itu dipaksa untuk ikut berperang … !”
Dengan perintahnya ini tidak berarti Rasul hendak mem­berikan keistimewaan kepada pamannya Abbas, karena tidak pada tempatnya dan bukan pula pada waktunya! Dan bukanlah Muhammad saw. orangnya yang akan rela melihat kepada para shahabatnya berjatuhan dalam pertempuran menegakkan yang haq, lalu membela pamannya dengan memberinya hak-hak isti­mewa, di saat pertempuran sedang berlangsung, seandainya diketahuinya bahwa pamannya itu orang musyrik ….
Benar . . . ! Rasul yang pernah dilarang Allah memintakan ampun untuk pamannya Abu Thalib .. hanya semata-mata memintakan ampun , sekalipun Abu Thalib banyak jasa dan pemberiannya terhadap Nabi Muhammad saw. dan Islam berupa pembelaan dan pengurbanan . . . .
Tidaklah logis dan masuk akal jika ia akan mengatakan ke­pada orang-orang yang bertempur di perang Badar memerangi bapak-bapak dan sanak-sanak saudara mereka dari golongan musyrik:  ”Kecualikan oleh kalian dan jangan bunuh pamanku
Lain halnya kalau Rasul mengetahui pendirian pamannya yang sebenarnya, dan ia tabu bahwa pamannya itu menyembu­nyikan keislamannya dalam dadanya, sebagaimana diketahuinya pula jasa-jasanya yang tidak sedikit serta pengabdian-pengabdian­nya yang tak terlihat terhadap Islam . . . serta diketahuinya pula belakangan, bahwa ia dipaksa ikut berperang dan mengalami tekanan, maka waktu itu adalah kewajiban Nabi untuk melepaskan orang yang mengalami nasib seperti ini dari marabahaya, dan melindungi darahnya selama kemungkinan masih terbuka….
Seandainya Abu Bakhtari bin Harits (bukan sanak keluarga Nabi) yang tidak dikenal menyembunyikan keislamannya, dan tidak pernah pula membela Islam walaupun secara diam-diam sebagaimana dilakukan Abbas, paling-paling kelebihannya hanya karena ia tak pernah ikut-ikutan dengan pemimpin-pemimpin Quraisy menyakiti dan menganiaya Kaum Muslimin, dan tidak menyukai tindakan mereka yang demikian, dan ia ikut dalam peperangan karena dipaksa dan ditekan ….
Seandainya Abu Bakhtari hanya disebabkan hal-hal itu telah berhasil mendapatkan syafa’at Rasulullah untuk dilindungi darahnya serta nyawanya . . . maka apakah seorang Muslim yang terpaksa menyembunyikan keislamannya . . . . dan laki-laki ini pembelaannya terhadap Islam dapat dibuktikan secara nyata, sedang yang lainnya secara diam-diam dan tersembunyi . . . apakah tidak lebih berhak dan lebih pantas untuk mendapatkan syafaat tersebut . . . ? Benarlah demikian dan tidak salah! Se­benarnya Abbas adalah orang Muslim dan pembela itu! Dan marilah kita kembali ke belakang sejenak untuk meninjaunya!
Pada Bai’atul Aqabah Kedua, di mana sebanyak tujuhpuluh tiga pria dan dua wanita perutusan Anshar datang ke Mekah di musim haji guna mengangkat sumpah setia kepada Allah dan Rasul-Nya, dan untuk merundingkan hijrah Nabi saw. ke Madinah, waktu itulah Rasul menyampaikan berita perutusan dan bai’at ini kepada pamannya karena Rasul sangat memper­cayainya dan memerlukan buah fikiran pamannya itu …
Tatkala tiba waktu berkumpul yang dilakukan secara sem­bunyi-sembunyi dan rahasia, keluarlah Rasul bersama pamannya Abbas ke tempat orang-orang Anshar menunggu.
Abbas ingin menyelidiki dan menguji golongan ini sampai di mana kesetiaan mereka terhadap Nabi . . . . Marilah kita persilakan salah seorang anggota perutusan itu untuk men­ceritakan kepada kita peristiwa yang didengar dan dilihatnya sendiri. Orang itu. ialah Ka’ab bin Malik r.a. demikian ceritanya:
“. . .. Kami telah duduk menanti kedatangan Rasul di tengah jalan menuju bukit, hingga akhirnya beliau datang dan ber­samanya Abbas bin Abdul Mutthalib. Abbas pun angkat bicara katanya: “Wahai golongan Khazraj, anda sekalian telah mengetahui kedudukan Muhammad saw. di sisi kami, kami telah membelanya dari kejahatan kaum kami, sedang ia mem­punyai kemuliaan dalam kaumnya dan kekuatan di negerinya. Tetapi ia enggan bergabung dengan mereka, bahkan ia bermaksud ikut kalian dan hidup bersama kalian . . . . Seandainya kalian benar-benar hendak menunaikan apa yang telah kalian janjikan kepadanya dan kalian membelanya terhadap orang yang memusuhinya, silakan kalian memikul tanggung jawab tersebut! Tetapi seandainya kalian bermaksud akan menyerahkan dan mengecewakannya sesudah ia bergabung dengan kalian, lebih baik dari sekarang kalian meninggalkannya … !”
Abbas mengucapkan kata-katanya yang tajam lagi keras ini dengan sorotan matanya seperti mata elang ke wajah orang­orang Anshar . . . untuk mengikuti kesan kata-kata itu dan jawabannya yang segera ….
Dan ia tidak hanya sampai di situ saja. Kecerdasannya yang tinggi adalah kecerdasan praktis yang dapat menjangkau jauh akan hakikat sesuatu bidang kenyataan, dan menghadapi setiap perspektifnya sebagaimana layaknya seorang yang mempunyai perhitungan dan pengalaman. Ketika itu dimulainya pula per­cakapannya dengan mengemukakan pertanyaan cerdik, demi­kian: “Coba anda lukiskan kepadaku peperangan, bagaimana caranya anda memerangi musuh-musuh anda . ‘ ‘? “
Berdasarkan kecerdasan dan pengalamannya terhadap orang­orang Quraisy Abbas telah dapat menyimpulkan bahwa pepe­rangan tak dapat  tidak akan terjadi antara Islam dan kemusyrik­an! Orang-orang Quraisy tak hendak mundur dari agamanya, dari rasa keningratannya dan keingkarannya, sedang Islam Agama yang tetap haq itu tak akan mengalah terhadap yang bathil mengenai haq-haqnya yang telah disyari’atkan . . . . Nah, apakah orang-orang Anshar ,,, penduduk’ Madinah akan tahan berperang waktu terjadi nanti … ? Apakah mereka, dalam bidang seniyudha dapat menandingi orang:orang Quraisy yang cekatan dalam taktik dan muslihat perang? Oleh karena inilah ia mengemukakan pertanyaannya yang lalu sebagai pan­cingan:  ”Coba gambarkan kepadaku, bagaimana anda me­merangi musuh-musuh anda … !”
Ternyata orang-orang Anshar yang mendengarkan perkataan Abbas ini, adalah laki-laki yang teguh kukuh laksana gunung … ! Belum sempat Abbas menyelesaikan bicaranya, terutama per­tanyaan yang merangsang dan menggairahkan itu orang-orang itu sudah mulai angkat bicara . . . . Abdullah bin Amer bin Hiram mulai menjawab pertanyaan tersebut: “Demi Allah kami adalah keluarga prajurit .. . yang telah makan asam garamnya medan laga, kami pusakai dari nenek moyang kami turun­-temurun. Kami pemanah cekatan, penembus jantung setiap sasaran, pelempar lembing, memecah kepala setiap coaling dan pemain pedang, penebas setiap penghalang . . . !”
Abbas menjawab dengan wajah berseri-seri: “Kalau begitu anda sekalian ahli perang, apakah anda juga punya baju besi?” Jawab mereka “Ada …. kami punya cukup banyak!” Kemudian terjadilah percakapan penting dan menentukan antara Rasulullah saw. dan orang-orang Anshar . . , percakapan yang insya Allah akan kami paparkan nanti dalam lembaran-lembaran yang akan datang ….
Demikianlah peranan Abbas dalam Bai’atul Aqabah . . . . Baginya sama saja apakah ia telah masuk Islam waktu itu secara diam-diam, atau masih dalam berfikir, tapi jelas peranannya sangat penting dalam menetapkan garis pemisah antara kaumnya yang akan tenggelam ke dalam kegelapan malam dan kekuatan membawa cahaya terbit menuju terang benderangnya siang. Dalam peristiwa itu terlihat pula kejantanannya seorang pahlawan dan ketinggiannya seorang ilmuwan.
Pecahnya perang Hunain akan memperkuat bukti keberanian dari orang yang kelihatannya pendiam dan lemah lembut ini yang diperlihatkannya di arena pertempuran, semacam kepah­lawanan yang akan memenuhi ruang dan masa, yakni sewaktu ia sangat diperlukan dan keadaan amat memerlukan, sementara pada saat-saat lainnya ia terpendam jauh dalam dada, terlindung dari cahaya . . . !
Di tahun kedelapan hijrah, sesudah Allah membebaskan negeri Mekah bagi Rasul dan Agamanya, sebagian kabilah yang berpengaruh di jazirah Arab tidak sudi melihat kemenangan gemilang dan perkembangan yang cepat dari Agama ini …. Maka bersatulah kabilah-kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar, Jusyam dan lain-lain, lalu mengambil keputusan untuk melancar­kan serangan menentukan terhadap Rasulullah dan Kaum Mus­limin. . . .
Dan janganlah kita terpedaya mendengar kata-kata “kabilah”, sehingga terbayang pada kita corak peperangan-peperangan yang diterjuni Rasul pada masa itu, hanya semata-mata perkelahian kecil-kecilan dari orang-orang gunung, yang dilancarkan kabilah-­kabilah dari tempat-tempat perlindungan mereka … !
Mengetahui hakikat kenyataan ini tidak Saja memberikan kepada kita suatu penilaian yang teliti bagi usaha luar biasa yang dapat memberikan ukuran yang sehat dan dipercaya tentang nilai kemenangan besar yang telah dicapai oleh Islam dan orang­orang yang beriman, dan suatu gambaran yang jelas terhadap taufik Allah yang menonjol pada setiap kejayaan dan keme­nangan ini . . . !
Kabilah-kabilah tersebut telah menghimpun diri dalam barisan-barisan besar, terdiri dari para prajurit perang yang keras, ganas dan ulet . . . . Kaum Muslimin tampil dengan jumlah kekuatan dua belas ribu orang. Tentu anda akan bertanya . . . duabelas ribu orang . . . ? Ya benar, duabelas ribu orang yang telah membebaskan Mekah dari kehidupan anarsis, kehidupan syirik dan kekejaman, kehidupan penyembahan berhala dan penguburan anak perempuan. Yang telah membebaskan Mekah dari orang-orang yang mengusir Nabi dan ummat Islam, bahkan dari kaum yang mengejar-kejar Nabi dan ummat Islam sampai Madinah.
Duabelas ribu orang yang telah mengibarkan panji-panji Islam di angkasa Mekah di atas puing-puing berhala, dengan tidak setetes pun darah tertumpah . . . !
Suatu kemenangan yang membangkitkan kesombongan bagi sebagian Kaum Muslimin yang imannya masih lemah. Ya, bagai­mana pun mereka adalah manusia, karenanya mereka jadi lemah berhadapan dengan kemegahan yang dibangkitkan oleh jumlah mereka yang banyak dan organisasi yang rapi serta kemenangan mereka yang besar di Mekah, hingga keluarlah ucapan mereka:  ”Sekarang, dengan jumlah sebanyak ini, kita tak mungkin dapat dikalahkan lagi … !”
Karena segala peristiwa yang dialami Kaum Muslimin pada masa hidup Pasulullah merupakan cermin sejarah, yang menjadi pendidikan bagi umatnya yang hidup kemudian, maka peris­tiwa Hunain ini merupakan tonggak sejarah yang perlu di­perhatikan.
Suatu perjuangan suci tidak mungkin tercapai apabila di­campuri niat riya dan sikap congkak, serta hanya didasarkan pada kekuatan dan jumlah pasukan.
Dalam perang Hunain ini Allah memberikan pelajaran pada mereka walau harus ditebus dengan pengurbanan yang besar.
Pelajaran itu berupa kekalahan besar yang mendadak di awal peperangan ini, hingga setelah mereka berendah diri memohon kepada Allah, ampunan dan melepaskan diri dari alam materi serta mendekatkan diri pada inayat Ilahi, meninggalkan ketergantungan kekuatan hanya atas pasukan, lalu mengandalkan kekuatan Allah, barulah kekalahan mereka berbalik jadi kemenangan, dan turunlah ayat al-Quranul Karim memperingat­kan Kaum Muslimin:
dan di waktu perang Hunain, yakni ketika kalian merasa bangga dengan jumlah kalian yang banyak, maka ternyata itu tidak berguna sedikit pun bagi kalian hingga bumi yang lapang kalian rasakan sempit, lalu kalian ber­paling melarikan diri . . . !” Kemudian Allah menurunkan sakinah-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan diturunkannya balatentara yang tiada kalian lihat dan disiksa-Nya orang-orang kafir! Dan itulah memang balasan bagi orang kafir … !”  (Q.S. 9 at- Taubat: 25 — 26)
Waktu itu suara Abbas dan keteguhan hatinya merupakan tanda-tanda sakinah dan keberanian mempertaruhkan nyawa yang lebih gemilang . . . . Maka Sewaktu orang Islam sedang berkumpul menyusun kekuatan di salah satu lembah Tihamah sambil menanti-nanti kedatangan musuh, sebenarnya orang-orang musyrik telah mendahului mereka ke lembah dan bersembunyi di parit-parit dan di tepi-tepi jalan bukit, siap dengan senjata di tangan untuk memulai serangan.
Ketika Kaum Muslimin sedang lengah itu mereka menyerbu dan melakukan sergapan secara mendadak dan membingungkan, menyebabkan Kaum Muslimin sama melarikan diri sejauh-jauh­nya hingga tak sempat menoleh ke kiri dan kanan, Rasulullah menyaksikan akibat sambaran dan serangan mendadak itu ter­hadap Kaum Muslimin. Beliau naik ke atas punggung kuda begalnya yang putih, lalu berseru dengan suara keras: “Hendak ke mana kalian . . . ? Marilah kepadaku .. . aku adalah Nabi, tidak pernah bohong . . . aku anak Abdul Mutthalib … !” Di keliling Nabi waktu itu hanya tinggal Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Mutthalib bersama anaknya Fadlal bin Abbas, Ja’far bin Harits, Pabi’ah bin Harits, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ubeid dan beberapa shahabat lainnya yang tak banyak jumlahnya.
Ada lagi di sans seorang perempuan yang beroleh kedudukan tinggi di antara laki-laki dan para pahlawan …. namanya Ummu Sulaim binti Milhan …. Perempuan ini telah melihat kebingung­an Kaum-Muslimin dan keadaan mereka yang kacau balau, maka segera ia menunggangi unta suaminya Abu Thalhah r.a. dan terus menghentak unta itu ke arah Rasul ….Sewaktu janin yang ada dalam perutnya bergerak, — karena waktu itu ia sedang hamil — dibukanya selendangnya lalu dibebatkannya ke perutnya dengan ikatan yang cukup kuat. Sewaktu ia sampai ke dekat Nabi saw. dengan khanjar terhunus di tangan kanannya, Rasul menyambutnya dengan tersenyum, katanya: “Ummu Sulaim? Jawabnya: “Benar . . . demi bapakku dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah … ! Bunuhlah semua mereka yang melarikan diri itu sebagaimana anda membunuh mereka yang memerangi anda; mereka patut mendapatkannya . . . !” Maka semakin bercahayalah senyuman di muka Rasul yang percaya sepenuhnya akan janji Tuhannya, lalu katanya: “Sesung­guhnya Allah telah cukup — jadi pelindung — dan jauh lebih baik, hai Ummu Sulaim … !”
Sewaktu Rasulullah dalam kedudukan demikian, Abbas berada di dekatnya bahkan antara kedua tumitnya memegang kekang keledainya, menghadang maut dan bahaya . . . . Nabi memerintahkan untuk memanggil orang banyak, karena Abbas mempunyai suara lantang, maka berserulah ia: — “Hai golongan Anshar . . . wahai pemegang bai’at . . . !” Maka seolah-olah suaranya itu suara kadar dan jurubicaranya jua …. Karena demi mereka yang ketakutan karena serangan mendadak ini dan yang kacau balau di dalam lembah itu, mendengar suara panggilan tersebut, mereka menjawabnya serentak: “Labbaika Lab­baika, kami segera datang, ini kami datang … !
Allah menurunkan sakinah dan mengembalikan keberanian dan semangat tempur Kaum Muslimin dengan perantaraan suara Abbas dan sikap kepahlawanannya. Mereka berbalik kembali laksana angin kencang, sampai­-sampai karena unta atau kudanya membandel, mereka melompat turun lari maju, sambil membawa baju besi, pedang dan panahnya menuju arah suara Abbas . . . Maka pertempuran berlangsung lagi dengan garang dan kejamnya. Rasulullah berseru: “Sekarang peperangan memuncak panas . . . !” Benar, perang menjadi panas . . . ! Dan berangsur-angsur korban di pihak Hawazin dan Tsaqif berjatuhan, pasukan berkuda Allah telah mengalahkan angkatan berkuda lata, dan Allah menurunkan sakinahnya kepada Rasul dan orang-orang Mu’min …
Rasulullah amat mencintai Abbas, sampai beliau tidak dapat tidur sewaktu berakhirnya perang Badar, karena pamannya pada malam itu tidur bersama tawanan yang lain . . . . Nabi tidak menyembunyikan rasa sedihnya ini, sewaktu ditanyakan kepadanya, sebabnya. . . beliau tidak dapat tidur padahal Allah telah memberikan pertolongan sebesar-besarnya, beliau men­jawab: “Serasa terdengar olehku rintihan Abbas dalam beleng­gunya…
Salah seorang di antara Muslimin mendengar kata-kata Rasul tersebut, lalu segera pergi ke tempat para tawanan dan melepaskan belenggu Abbas. Orang ini kembali dan mengabarkan kepada Rasulullah, katanya:  ”Ya Rasulallah aku telah melonggarkan ikatan belenggu Abbas sedikit!”
Tetapi kenapa hanya Abbas saja ? Ketika itu Rasul memerintahkan kepada shahabatnya itu: “Ayuh pergilah, laku­kanlah seperti itu terhadap semua tahanan … !”
Benar, kecintaan Nabi kepada pamannya tidak dimaksud­kannya untuk memperbedakannya dari manusia lain yang mengalami keadaan yang sama!
Dan tatkala musyawarah menetapkan membebaskan tawanan dengan jalan menerima tebusan, berkatalah Rasul kepada paman­nya: “Wahai Abbas . . . , tebuslah dirimu, dan anak saudaramu Uqeil bin Abi Thalib, Naufal bin Harits, dan teman karibmu ‘Utbah bin Amar saudara Bani Harits bin Fihir, sebab kamu banyak harta!”
Mulanya Abbas bermaksud hendak membebaskan dirinya tanpa membayar uang tebusan, katanya:  ”Hai Rasulullah, sebenarnya aku’kan sudah masuk Islam, hanya orang-orang itu memaksaku . . . !” Tetapi Rasul saw. terus mendesaknya agar membayarnya, dan berkenaan dengan peristiwa ini turunlah ayat al-Quranul Karim memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada tawanan yang ada dalam tanganmu: Jika Allah mengetahui dalam hati kalian kebaikan, pasti, la akan mengganti apa yang telah diambil daripada kalian dengan yang lebih baik dan Ia mengampuni kalian, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang … !”         (Q.S. 8 A-Anfal: 70)
Demikianlah Abbas menebus dirinya dan orang-orang ber­samanya dan pulang kembali ke Mekah … dan setelah itu jalan fikiran dan keimanan Abbas tidak dapat disembunyikan lagi pada orang Quraisy. Tak lama kemudian dikumpulkannya hartanya dan dibawanya barang-barangnya lalu terus menyusul Rasul ke Khaibar, untuk ikut mengambil bagian dalam rombong­an angkatan Islam dan kafilah orang-orang beriman …. Ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh Kaum Muslimin, terutama karena melihat Rasul sendiri memuliakan Serta mencintainya, begitupun mendengar ucapan Rasul terhadapnya:
“Abbas adalah saudara kandung ayahku ….
Maka siapa yang menyakiti Abbas tak ubahnya menyakiti­ku!”
Abbas meninggalkan keturunannya yang diberkati; Abdullah bin Abbas mutiara ummat dengan pengertian alim, ‘abid dan shaleh, adalah salah seorang anak yang diberkati Nabi.
Pada hari Jum’at tanggal 14 bulan Rajab tahun 32 Hijrah. penduduk kampung dataran tinggi Madinah mendengar peng umuman: “Rahmat Allah bagi orang yang menyaksikan Abbas bin Abdul Mutthalib!”
Mereka mendapati Abbas telah meninggal ….. Amat banyak sekali orang mengiringkan jenazahnya, belum pernah terjadi selama ini sebanyak itu. Jenazahnya dishalatkan oleh khalifah Muslimin pada waktu itu, yakni Utsman bin Affan r.a. Di bawah tanah Baqi’ beristirahatlah dengan tenang tubuh Abul Fadlal . . . . la tidur nyenyak dengan hati puas, di lingkungan orang baik­-baik yang telah sama-sama memenuhi janji mereka kepada Allah
sumber: http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/09/abbas-bin-abdul-muthalib/

32. ABU AYYUB AL-ANSHARI

ABU AYYUB AL-ANSHARI
“PEJUANG DI WAKTU SENANG ATAU PUN SUSAH”
Rasulullah memasuki kota Madinah, dan dengan demikian berarti beliau telah mengakhiri perjalanan hijrahnya dengan gemilang, dan memulai hari-harinya yang penuh berkah di kampung hijrah, untuk mendapatkan apa yang telah disediakan qadar Ilahi baginya, yakni sesuatu yang tidak disediakannya bagi manusia-manusia lainnya ….
Dengan mengendarai untanya Rasulullah berjalan di tengah­-tengah barisan manusia yang penuh sesak, dengan luapan se­mangat dari kalbu yang penuh cinta dan rindu …. berdesak­-desakan berebut memegang kekang untanya, karena masing-­masingnya menginginkan untuk menerima Rasul sebagai tamunya ….
Rombongan Nabi itu mula-mula sampai ke perkampungan Bani Salim bin Auf; mereka mencegat jalan unta sembari berkata: “Wahai Rasul Allah tinggallah anda pada kami, bilangan kami banyak, persediaan cukup, serta keamanan terjamin . . . !”
Tawaran mereka yang telah mencegat dan memegang tali kekang unta itu, dijawab oleh Rasulullah:
“Biarkanlah, jangan halangi jalannya, karena ia hanyalah melaksanakan perintah . . . !”
Kendaraan Nabi terus melewati perumahan Bani Bayadhah, lalu ke kampung Bani Sa’idah, terus ke kampung Bani Harits ibnul Khazraj, kemudian sampai di kampung Bani ‘Adi bin Najjar . . . . Setiap suku atau kabilah itu mencoba mencegat jalan unta Nabi, dan tak henti-hentinya meminta dengan gigih agar Nabi saw. sudi membahagiakan mereka dengan menetap di. kampung mereka. Sedang Nabi menjawab tawaran mereka sambil tersenyum syukur di bibirnya ujarnya: “Lapangkan jalannya, karena ia terperintah . . .
Nabi sebenarnya telah menyerahkan memilih tempat tinggalnya kepada qadar Ilahi, karena dari tempat inilah kelak kemasyhuran dan kebesarannya . . . . Di atas tanahnya bakal muncul suatu masjid yang akan memancarkan kalimat-kalimat Allah dan nur-Nya ke seantero dunia …. Dan di sampingnya akan berdiri satu atau beberapa bilik dari tanah dan batu kasar . . . , tidak terdapat di sana harta kemewahan dunia selain barang-barang bersahaja dan seadanya … !
Tempat ini akan dihuni oleh seorang Maha guru dan Rasul yang akan meniupkan ruh kebangkitan pada kehidupan yang Sudah padam, dan yang akan memberikan kemuliaan dan ke­selamatan  bagi mereka yang berkata:”Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap di atas pendirian … bagi mereka yang beriman dan tidak mencampur­kan keimanan itu dengan keaniayaan . . . , bagi mereka yang. mengikhlaskan Agama mereka  untuk Allah . . . dan bagi mereka yang berbuat kebaikan di muka bumi dan tidak berbuat binasa . . . .
Benarlah Rasul telah menyerahkan sepenuhnya pemilih­an ini kepada qadar Ilahi yang akan memimpin langkah per­juangannya kelak . . . . Oleh karena inilah ia membiarkan Saja tali kekang untanya terlepas bebas, tidak ditepuknya kuduk unta itu tidak pula dihentikan langkahnya … hanya dihadapkan hatinya kepada Allah, serta diaerahkan dirinya kepada-Nya dengan berdoa:
“Ya Allah, tunjukkan tempat tinggalku, pilihkanlah untukku … !”
Di muka rumah Bani Malik bin Najjar unta itu bersimpuh kemudian ia bangkit dan berkeliling di tempat itu, lalu pergi ke tempat ia bersimpuh tadi dan kembali bersimpuh lalu tetap dan tidak beranjak dari tempatnya. Maka turunlah Rasul dari atasnya dengan penuh harapan dan kegembiraan ….
Salah seorang Muslimin tampil dengan wajah berseri-seri karena suka citanya . . . ia maju lalu membawa barang muatan dan memasukkannya ke rumahnya kemudian mempersilakan Rasul masuk . . . . Rasul pun mengikutinya dengan diliputi oleh hikmat dan berkat.
Maka tahukah anda sekalian siapa orang yang berbahagia ini, yang telah dipilih taqdir bahwa unta Nabi akan berlutut di muka rumahnya, hingga Rasul menjadi tamunya, dan semua penduduk Madinah akan sama merasa iri atas nasib mujurnya?
Nah, ia adalah pahlawan yang jadi pembicaraan kita sekarang ini . . . , Abu Aiyub al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar.
Pertemuan ini bukanlah pertemuan yang pertamanya dengan Rasulullah . . . . Sebelum ini, yakni sewaktu perutusan Madinah pergi ke Mekah untuk mengangkat sumpah setia atau bai’at, yaitu bai’at yang diberkati dan terkenal dengan nama “Bai’at Aqabah kedua”, maka Abu Aiyub al-Anshari termasuk di antara tujuh puluh orang Mu’min yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela.
Dan sekarang ketika Rasulullah sudah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai pusat bagi Agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah melimpah kepada Abu Aiyub, karena rumahnya telah dijadikan rumah pertama yang didiami muhajir agung Rasul yang mulia. Rasul telah memilih untuk menempati ruangan rumahnya
tingkat pertama . Tetapi begitu Abu Aiyub naik ke kamarnya di tingkat atas ia pun jadi menggigil, dan ia tak kuasa mem­bayangkan dirinya akan tidur atau berdiri di suatu tempat yang lebih tinggi dari tempat berdiri dan tidurnya Rasulullah itu. la lalu mendesak Nabi dengan gigih dan mengharapkan beliau agar pindah ke tingkat atas, hingga Nabi pun memperkenan­kannya pengharapannya itu ….
Nabi akan berdiam di sana sampai selesai pembangunan masjid dan pembangunan kamarnya di sampingnya . . . . Dan semenjak orang-orang Quraiay bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana menyerang tempat hijrahnya di Madinah, meng­hasut kabilah-kabilah lain serta mengerahkan tentaranya untuk memadamkan nur Ilahi .. . semenjak itulah Abu Aiyub meng­alihkan aktifitasnya kepada berjihad pada jalan Allah. Maka dimulainya dengan perang Badar, lalu Uhud dan Khandaq, pen­deknya di semua medan tempur dan medan laga, ia tampil sebagai pahlawan yang sedia mengorbankan nyawa dan harta bendanya untuk Allah Rabul ‘alamin . . . . Bahkan sesudah Rasul wafat pun, tak pernah ia ketinggalan menyertai pertem­puran yang diwajibkan atas Muslimin sekalipun jauh jaraknya yang akan ditempuh dan berat beban yang akan dihadapi . . . ! Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun Siang . . . dengan suara keras ataupun perlahan . . . adalah firman Allah Ta’ala:
“Berjuanglah kalian, baik di waktu lapang, maupun diwaktu sempit . . . !”
(Q.S. 9 at-Taubat: 41)
Satu kali saja . . . ia absen tidak menyertai bala tentara Islam, karena sebagai komandannya khalifah mengangkat salah seorang dari pemuda Muslimin, sedang Abu Aiyub tidak puas dengan kepernimpinannya. Hanya sekali saja, tidak lebih … ! Sekalipun demikian, bukan main menyesalnya atas sikapnya yang selalu menggoncangkan jiwanya itu, katanya:
“Tak jadi soal lagi bagiku, siapa orang yang akan jadi atasan­ku . . . !” Kemudian tak pernah lagi ia ketinggalan dalam pepe­rangan. Keinginannya hanyalah untuk hidup sebagai prajurit dalam tentara Islam, berperang di bawah benderanya dan mem­bela kehormatannnya … !
Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awtyah, ia berdiri di pihak Ali tanpa ragu-ragu, karena ialah Imam yang telah dibai’at oleh Kaum Muslimin . . . . Dan tatkala Ali syahid karena dibunuh, dan khilafat berpindah kepada Mu’awiyah,
Abi Aiyub menyendiri dalam kezuhudan, bertawakkal lagi bertaqwa. Tak ada yang diharapkannya dari dunia hanyalah tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang dalam barisan para pejuang . . .
Demikianlah, sewaktu diketahuinya bala tentara Islam bergerak ke arah Konstantinopel, segeralah ia memegang kuda dengan membawa pedangnya, terus maju mencari syahid yang sudah lama didambakan dan dirindukannya . . . !
Dalam pertempuran inilah ia ditimpa luka berat. Ketika komandannya pergi menjenguknya, nafasnya sedang berlomba dengan keinginannya hendak menemui Allah . . . Maka ber­tanyalah panglima pasukan yang waktu itu Yazid bin Mu’awiyah: “Apa keinginan anda, wahai Abu Aiyub?”
Aneh, adakah di antara kita yang dapat membayangkan atau mengkhayalkan apa keinginan Abu Aiyub itu … ? Tidak sama sekali! Keinginannya sewaktu nyawa hendak berpindah dari tubuhnya ialah sesuatu yang sukar atau hampir tak kuasa manusia membayangkan atau mengkhayalkannya … !
Sungguh, ia telah meminta kepada Yazid, bila ia telah me­ninggal, agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh-jauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan bala tentaranya sepanjang jalan itu, hingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya dan diketahuinya­lah bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan dan keuntungan yang mereka cari . . . !
Apakah anda kira ini hanya lamunan belaka . . .? tidak. . . dan ini bukan khayalan, tetapi kejadian nyata, kebenaran yang akan disaksikan dunia di suatu hari kelak, di mana ia menajam­kan pandangan dan memasang telinganya, hampir-hampir tak percaya terhadap apa yang didengar dan dilihatnya … !
Dan sungguh, wasiat Abu Aiyub itu telah dilaksanakan oleh Yazid! Di jantung kota Konstantinopel yang sekarang ber­nama Istanbul, di sanalah terdapat pandam pekuburan laki-laki besar, sungguh besar itu … !
Hingga sebelum tempat itu dikuasai oleh orang-orang Islam, orang-orang Romawi penduduk Konstantinopel memandang Abu Aiyub di makamnya itu sebagai orang kudus suci …. Dan anda akan tercengang jika mendapati semua ahli sejarah yang mencatat periatiwa-periatiwa itu berkata: “Orang-orang Romawi sering mengunjungi dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan . . . “.
Sekalipun perang dan pertempuran sarat memenuhi ke­hidupannya, hingga tak pernah membiarkan pedangnya terletak beristirahat, namun corak kehidupannya adalah tenang tenteram laksana desiran bayu di kala fajar datang menjelma ….
Sebabnya ia pernah mendengar ucapan Rasulullah saw. yang terpateri dalam hatinya:
“Bila engkau shalat, maka shalatlah seolah-olah yang terakhir atau hendak berpiaah . . . . Jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata yang menyebabkan engkau harus meminta maaf . . . ! Lenyapkan harapan terhadap apa Yang berada di tangan orang lain … !”
Dan oleh karena itulah tak pernah lidahnya terlibat dalam suatu fitnah … dan dirinya tidak terjerembab dalam kerakusan . . . . Ia telah menghabiskan hidupnya dalam kerinduan ahli ibadah dan ketahanan orang yang hendak berpisah. Maka sewaktu ajalnya datang tak ada keinginannya di sepanjang dan selebar dunia kecuali cita-cita yang melambangkan kepah­lawanan dan kebesarannya selagi hidupnya: “Bawalah jasadku jauh-jauh . . . jauh masuk ke tanah Romawi, kemudian kuburkan aku di sana … !”
Ia yakin sepenuhnya akan kemenangan, dan dengan mata hatinya dilihatnya bahwa wilayah ini telah termasuk dalam taman impian Islam, dalam lingkungan cahaya dan sinarnya ….
Karena itulah ia menginginkannya sebagai tempat iatirahat­nya yang terakhir, yakni di ibukota negara itu, di mana akan terjadi pertempuran yang menentukan, dan dari bawah tanahnya yang subur, ia akan dapat mengikuti gerakan tentara Islam, mendengar kepakan benderanya, dan bunyi telapak kudanya serta gemerincing pedang-pedangnya . . . !
Sekarang ini ia masih terkubur di sana Tetapi tidak lagi mendengar gemerincing pedang, atau ringkikan kuda! Keadaan telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di tempat yang dituju, sejak waktu yang lama …. Tetapi setiap hari, dari pagi hingga petang didengarnya suara adzan yang berkumandang dari menara-­menaranya yang menjulang di angkasa, bunyinya:
“Allah Maha Besar …. Allah Maha Besar . . . . “.
Dan dengan rasa bangga, di dalam kampungnya yang kekal dan di mahligai kejayaannya ia menyahut:
“Inilah apa yang telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya …. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya … !”
sumber  http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/09/abu-aiyub-al-anshari/

31. KHALID BIN SA’ID BIN ‘ASH

KHALID BIN SA’ID BIN ‘ASH
ANGGOTA PASUKAN BERANI MATI ANGKATAN YANG PERTAMA
Khalid bin Sa’id bin ‘Ash dilahirkan dari suatu keluarga kaya dan mewah, tergolong kepala-kepala suku dari seorang warga Quraisy yang terkemuka dan memegang pimpinan. Dan jika hendak ditambahkan lagi sebutlah: “Bin Umaiyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf … !”
Ketika berkas cahaya mulai merayap di pelosok-pelosok kota Mekah secara diam-diam, membisikkan bahwa Muhammad orang terpercaya” itu memberitakan soal wahyu yang datang kepadanya di gua Hira’, begitu pun soal Risalah yang diterimanya dari Allah untuk disampaikan kepada hamba-hambanya, maka hati nurani Khalid dapat menangkap bisikan-bisikan tersebut dan mengakui kebenarannya . . . !
Jiwanya rasa terbang kegembiraan, seolah-olah di antaranya dengan Risalah itu sudah ada janji dari pertama …. Dan mulai­lah ia mengikuti berkas cahaya itu dalam segala liku-likunya. Dan setiap kali ia mendengarkan kelompok kaumnya mempercakap­kan Agama baru itu, ia pun duduk dekat mereka, mendengarkan­nya dengan baik disertai perasaan suka cita yang dipendam. Dari waktu ke waktu ia seolah-olah dipompa dengan kata-kata atau kalimat-kalimat mengenai peristiwa itu, yang mendorongnya untuk menyebarkan beritanya, untuk mempengaruhi orang dan mengajari mereka … !
Orang-orang yang memandang Khalid waktu itu, melihatnya sebagai seorang pemuda yang bersikap tenang, pendiam tak banyak bicara, tapi yang sebenarnya pada bathinnya dan dalam lubuk hatinya bergelora dengan hebatnya gerakan dan kegem­biraan. Di dalamnya menggelegar bunyi gendang yang di tabuh, kepakan bendera yang dinaikkan, bahana sangkakala yang ditiup . . . , nyanyian-nyanyian yang memanjatkan doa, Serta lagu-lagu pujaan yang mengagungkan Tuhan . … Pesta pora dengan segala keindahannya, dengan semua kemegahan, luapan semangat dan hiruk pikuknya . . . ! Pemuda ini menyimpan kegembiraan pesta-pora ini di dalam dadanya, ditutupnya rapat­-rapat. Karena seandainya diketahui oleh bapaknya bahwa bathin­nya sedang bersuka cita dengan da’wah Muhammad, niscaya hidupnya akan dibinasakannya dan tubuhnya akan diper­sembahkannya sebagai korban bagi tuhan-tuhan pujaan Abdu Manaf … !
Tetapi jiwa dan kesadaran bathin seseorang bila ia telah penuh sesak dengan suatu masalah, dan meluap sampai keper­mukaan, maka limpahannya tak dapat dibendung lagi …
Dan di suatu hari . . . .
Tetapi bukan . . . , karena Siang belum lagi muncul, sedang Khalid yang sudah bangun itu masih berada di tempat tidurnya, baru saja mengalami suatu mimpi yang sangat dahsyat, mem­punyai kesan yang mengerikan, dan ibarat yang dalam …. Kalau begitu baiklah kukatakan saja, di suatu malam, Khalid bin Said bermimpi, bahwa ia berdiri di bibir nyala api yang besar, sedang ayahnya dari belakang hendak menolakkannya dengan kedua tangannya ke arah api itu, malah ia bermaksud hendak melemparkannya ke dalamnya. Kemudian dilihatnya Rasulullah datang ke arahnya, lalu menariknya dari belakang dengan tangan kanan­nya yang penuh berkah hingga tersingkirlah ia dari bahaya jilatan api ….
la tersadar dari mimpinya dengan memperoleh bekal langkah perjuangan menghadapi masa depannya. Ia segera pergi ke rumah Abu Bakar lalu menceritakan mimpinya itu. Dan mimpi seperti itu sebetulnya tidak memerlukan ta’bir lagi … !
Kata Abu Bakar kepadanya: —”Sesungguhnya tak ada yang kuinginkan untukmu selain dari kebaikan. Nah, dialah Rasul Allah saw. ikutilah dia, karena sesungguhnya Islam akan menghindarkanmu dari api neraka!”
Khalid pun pergilah mencari Rasulullah saw. sampai me­nemukan tempat beliau, lalu menumpahkan isi hatinya, dan menanyakan tentang da’wahnya. Jawab Nabi:
“Hendaklah engkau beriman kepada Allah yang Maha Esa semata, jangan mempersekutukan-Nya dengan suatu opapun . . . . Dan engkau beriman kepadc, Muhammad, hamba-Nya dan Rasul-Nye . . . . Dan engkau tinggalkan menyembah berhala yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat, tidak memberi mudarat dan tidak pula manfaat…” (al-Hadits)
Khalid lalu mengulurkan tangannya yang disambut oleh tangan kanan  Rasulullah saw. dengan penuh kemesraan, dan Khalid pun mengucapkan:
“Aku naik saksi bahwa tak ada Tuhan selain Allah dan aku naik saksi bahwa Muhammad Rasul Allah”
Maka terlepaslah sudah senandung jiwa dan nyanyian kalbu­nya . . . . Terlepas bebas semua gelora yang bergolak dalam bathinnya . . . dan sampailah pula berita ini kepada bapaknya….
Pada waktu Khalid memeluk Islam, belum ada orang yang mendahuluinya masuk itu kecuali empat atau lima orang, hingga dengan demikian ia termasuk dalam lima orang angkatan pertama pemeluk Islam. Dan setelah diketahui yang menjadi pelopor dari Agama ini, salah seorang di antaranya putera Sa’id bin ‘Ash maka bagi Sa’id, peristiwa itu akan menyebabkannya men. jadi bulan-bulanan penghinaan dan ejekan bangsa Quraisy, dan akan menggoncangkan kedudukannya sebagai pemimpin.
Oleh karena itu dipanggilnyalah anaknya Khalid, lalu tanya­nya: “Benarkah kamu telah mengikuti Muhammad dan mem­biarkannya mencaci tuhan-tuhan kita … ?” Jawab Khalid:
“Demi Allah, sungguh ia seorang yang benar dan sesungguh­nya aku telah beriman kepadanya dan mengikutinya . . . “.
Ketika itu bertubi-tubilah pukulan ayahnya menimpa diri­nya, yang kemudian mengurungnya dalam kamar gelap di rumahnya, lalu membiarkannya terpenjara menderita lapar dan dahaga … sedang Khalid berseru kepadanya dengan suara keras dari balik pintu yang terkunci:
“Demi Allah, sesungguhnya ia benar dan aku beriman ke­padanya!”
Jelaslah sekarang bagi Sa’id bahwa siksa yang ditimpakan kepada anaknya itu belum lagi cukup dan memadai. Oleh sebab itu dibawanya anak itu ke tengah panas teriknya kota Mekah, lalu ia menginjak-injaknya di atas batu-batu yang panasnya menyengat, selama tiga hari penuh, tanpa perlindungan dan keteduhan . . . , tanpa setetes air pun yang membasahi bibir­nya….
Akhirnya sang ayah putus asa lalu kembali pulang ke rumah­nya. Tapi di sana ia terus berusaha menyadarkan anaknya itu dengan berbagai cara baik dengan membujuk atau mengancam­nya, memberi janji kesenangan atau mempertakutinya dengan siksaan . . . tetapi Khalid berpegang teguh kepada kebenaran, Ia berkata kepada ayahnya: “Aku tak hendak meninggalkan Islam karena suatu apapun, aku akan hidup dan mati bersamanya!”
Maka berteriaklah Sa’id: — “Kalau begitu enyahlah engkau pergi dari sini, anak keparat . . . ! Demi kata kau tak boleh makan di sini . . .           Jawab Khalid: “Allah adalah sebaik-baik pemberi rizqi . . . Kemudian ditinggalkannya rumah yang penuh dengan kemewahan, berupa makanan, pakaian dan kesenangan itu, pergi memasuki kesukaran dan aral rintang­an….
Tetapi apa yang ditakutkan … ?
Bukankah ia didampingi oleh imannya … ?
Bukankah ia selalu mempertahankan kepemimpinan Hati nuraninya . . . ?
Dan dengan tegas telah menentukan nasib dirinya?
Apalah artinya lapar kalau begitu, apalah artinya halangan dan rintangan … ?
Dan bila manusia telah menemukan dirinya berada bersama kebenaran luhur seperti kebenaran yang diserukan Muham­mad saw. ini, maka masih adakah tersisa di seantero alam ini sesuatu yang berharga yang belum dimilikinya, padahal semuanya itu, bukankah Allah yang jadi pemilik dan pem­berinya … ?
Demikianlah Khalid melalui bermacam derita dengan pe­ngurbanan dan mengatasi segala halangan dan keimanan ….
Dan sewaktu Rasulullah saw. memerintahkan para shahabat­nya yang telah beriman hijrah yang kedua ke Habsyi, maka Khalid termasuk salah seorang anggota rombongan …. Ia berdiam di sana beberapa lamanya, kemudian kembali bersama kawan-kawannya ke kampung halaman mereka di tahun yang ketujuh. Mereka dapatkan Kaum Muslimin telah menyelesaikan rencana mereka membebaskan Khaibar.
Sekarang Khalid bermukim di Madinah, di tengah-tengah masyarakat Islam yang baru, di mana ia termasuk salah seorang angkatan lima pertama yang menyaksikan kelahiran Islam, dan ikut membina bangunannya. Sejak itu Khalid selalu beserta Nabi dalam barisan pertama pada setiap peperangan atau per­tempuran . . . . Dan karena kepeloporannya dalam Islam ini serta keteguhan hatinya dan kesetiaannya, jadilah ia tumpuan ke­sayangan dan penghormatan . .. . Ia memegang teguh prinsip dan pendiriannya, tak hendak menodai atau menjadikannya sebagai barang dagangan.
Sebelum Rasul wafat, beliau mengangkatnya menjadi guber­nur di Yaman. Sewaktu sampai kepadanya berita pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dan pengukuhannya, ia lalu meninggalkan jabatannya datang ke Madinah.
Ia kenal betul kelebihan Abu Bakar yang tak dapat di­tandingi oleh siapa pun . . . . Tetapi ia berpendirian bahwa di antara Kaum Muslimin yang lebih berhak dengan jabatan Khalifah itu, adalah salah seorang dari keturunan Hasyim, umpamanya Abbas atau Ali bin Abi Thalib.
Pendiriannya ini dipegangnya teguh, hingga ia tidak bai’at kepada Abu Bakar . . . . Namun Abu Bakar tetap mencintai dan menghargainya, tidak memaksanya untuk mengangkat bai’at dan tidak pula membencinya karena tidak bai’at. Setiap disebut namanya di kalangan Muslimin, khalifah besar itu tetap menghargai dan memujinya, suatu hal yang memang menjadi hak dan miliknya ….
Belakangan pendirian Khalid bin Sa’id ini berubah. Tiba-tiba di suatu hari ia menerobos dan melewati barisan-barisan di mesjid, menuju Abu Bakar yang sedang berada di atas mimbar, maka Ia pun membai’atnya dengan tulus dan hati yang teguh….
Abu Bakar memberangkatkan pasukannya ke Syria, beliau menyerahkan salah satu panji perang kepada Khalid bin Sa’id, hingga dengan demikian berarti ia menjadi salah seorang kepala pasukan tentara. . . . . Tetapi sebelum tentara itu bergerak me­ninggalkan Madinah, Umar menentang pengangkatan Khalid bin Sa’id, dan dengan gigih mendesakkan usulnya kepada khalifah, hingga akhirnya beliau merubah keputusannya dalam pengangkatan ini ….
Berita itu sampailah kepada Khalid, maka tanggapannya hanyalah sebagai berikut: “Demi Allah, tidaklah kami bergem­bira dengan pengangkatan anda, dan tidak pula akan berduka dengan pemberhentian anda . . . !” Abu Bakar Shiddiq meringan­kan langkah ke rumah Khalid meminta ma’af padanya Serta menerangkan pendiriannya yang baru, dan menanyakan kepada kepala dan pemimpin pasukan mana ia akan bergabung, apakah kepada Amar bin ‘Ash anak pamannya, atau kepada Syurahbil bin Hasanah? Maka Khalid memberikan jawaban yang menunjuk­kan kebesaran jiwa dan ketaqwaannya, ujarnya: “Anak paman­ku lebih kusukai karena ia kerabatku, tetapi Syurahbil lebih kucintai karena Agamanya “‘ Kemudian dipilihnya sebagai prajurit biasa dalam kesatuan Syurahbil bin Hasanah ….
Sebelum pasukan bergerak maju, Abu Bakar meminta Syu­rahbil menghadap kepadanya lalu katanya:  ”Perhatikanlah Khalid bin Sa’id, berikanlah apa yang menjadi haknya atas anda, sebagaimana anda ingin mendapatkan apa yang menjadi hak anda daripadanya, yakni seandainya anda di tempatnya, dan ia di tempat anda . . . . Tentu anda tabu kedudukannya dalam Islam . . . Dan tentu anda tidak lupa bahwa sewaktu Rasulullah wafat, ia adalah salah seorang dari gubernurnya . . . . Dan sebenarnya aku pun telah mengangkatnya sebagai panglima, tetapi kemudian aku berubah pendirian . . . . Dan semoga itulah yang lebih baik baginya dalam Agamanya, karena sungguh, aku tak pernah iri hati kepada seseorang dengan kepemimpinan … !
Dan sesungguhnya aku telah memberi kebebasan kepadanya untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin pasukan siapa yang disukainya untuk menjadi atasannya, maka ia lebih me­nyukai anda daripada anak pamannya sendiri ….Maka apabila anda menghadapi suatu persoalan yang membutuhkan nasihat dan buah pikiran yang taqwa, pertama-tama hendaklah anda hubungi Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu Mu’adz bin Jabal dan hendaklah Khalid bin Sa’id sebagai orang ketiga. Dengan demi­kian pastilah anda akan beroleh nasihat dan kebaikan …. Dan jauhilah mementingkan pendapat sendiri dengan mengabaikan mereka atau menyembunyikan sesuatu dari mereka…! I
Di medan pertempuran Marjus Shufar di daerah Syria yang terjadi dengan dahsyatnya antara Muslimin dengan orang-orang Romawi, maka di antara orang-orang yang pertama yang telah pasti tersedia pahala mereka di sisi Allah, terdapat seorang syahid mulia, yang telah menempuh jalan hidupnya sejak masa remaja belia saat ia menghadapi ajal, secara benar, beriman lagi berani . . . . Kaum Muslimin yang sedang mencari-cari para syuhada sebagai qurban pertempuran, telah mendapatinya seperti sediakala: bersikap tenang, pendiam dan keras hati, lalu kata mereka: “ya Allah, berikanlah keridlaan kapada. Khalid bin Sa’id … ! “
sumber http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/02/khalid-bin-said-bin-ash/

30. UMEIR BIN SA’AD

UMEIR BIN SA’AD
TOKOH YANG TAK ADA DUANYA
Masih ingatkah anda sekalian akan Sa’id bin Amir . .. ? Yaitu seorang zahid dan abid yang selalu melindungkan dirinya kepada Allah, yang telah diminta oleh Amirul Mu’minin Umar untuk menjadi gubernur dan kepala daerah Syria. . . ?
Pada bagian pertama dari buku ini telah kita bicarakan dan kita saksikan hal-hal mena’ajubkan mengenai keshalehan, ketinggian akhlak dan sifat zuhudnya … !
Nah, sekarang pada lembaran-lembaran ini kita akan ber­temu pula dengan saudara, bahkan saudara kembarnya, baik dalam keshalehan, maupun dalam ketinggian akhlak dan sifat zuhud itu, begitupun dalam kebesaran jiwa yang jarang tan­dingannya … !
la adalah Umeir bin Sa’ad! Kaum Muslimin memberinya gelar “Tokoh yang tak ada duanya”. Cukup kiranya meyakin­kan, bahwa gelar ini diberikan secara bulat oleh para shahabat Rasul yang sama-sama mempunyai kelebihan, pengertian dan cahaya kebenaran …. !
Ayahnya Sa’ad al-Qari r.a. ikut menyertai Rasulullah dalam perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya, serta setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui Allah karena gugur sebagai syahid di pertempuran Qadiaiah melawan Perri. Dibawanya anaknya sewaktu datang kepada Rasulullah hingga anak itu pun turut bai’at dan masuk Islam ….
Semenjak Umeir memeluk Islam, dan menjadi ahli ibadah yang tidak berpiaah dari mihrab mesjid, ia meninggalkan segala kemewahan dan pergi bernaung ke bawah sakinah atau ke­tenangan.
Sukarlah anda akan menemukannya di bariaan pertama . . . , kecuali pada jama’ah shalat, memang ia mempertahankan shaf yang pertama itu untuk mengejar pahala bariaan muka … ; dan di medan jihad, ia selalu bergegas mengejar bariaan terdepan, karena ia selalu mendambakan diri untuk mendapatkan syahid. Selain dari hal-hal seperti itu, maka ia tetap tekun memperbanyak amal kebaikan, kepemurahan, keutamaan Serta ketaqwa­an….
Ia seorang yang cepat menyadari kesalahan dan Sering menangiai dosanya . . . ! Seorang yang tiada terpikat oleh harta dunia dan selalu mencari jalan kembali kepada Tuhannya …. Seorang musafir yang merindukan pulang kepada Allah, dalam setiap perjalanan dan di setiap pemukiman ….
Sungguh, Allah telah menjadikan hati para shahabat lainnya kasih-sayang kepadanya, hingga ia pun menjadi buah hati dan tumpuan kasih mereka. Semua itu karena kekuatan imannya, kebersihan jiwanya, ketenangan jalan hidupnya, keharuman akhlaqnya, dan kecemerlangan penampilannya, menerbitkan kegembiraan dan kenangan bagi setiap orang yang menggauli atau melihatnya. Dan tak seorang atau satu pun yang diutama­kannya lebih dari Agamanya . . . !
Pada suatu hari didengarnya Jullas bin Suwaid bin Shamit, yang masih jadi kerabatnya, sedang berbincang-bincang di rumah­nya, katanya: “Seandainya laki-laki ini memang benar, tentulah kita ini lebih jelek dari keledai-keledai … !” Yang dimaksudkan dengan laki-laki di siai ialah Rasulullah saw. sedang Jullas sendiri termasuk di antara orang-orang yang memeluk Islam karena terbawa-bawa keadaan.
Sewaktu Umeir bin Sa’ad mendengar kata-kata tersebut, bangkitlah kemarahan dan kebingungan dalam hatinya yang biasa tenang dan tenteram itu. Kemarahan disebabkan oleh seorang yang telah mengaku menganut Islam berani merendah­kan Rasul dengan kata-kata yang keji itu …  Dan kebingungan karena fikirannya berjalan cepat tentang tanggung jawabnya terhadap apa yang telah didengarnya dan tak dapat diterimanya . . .. Akan diaampaikannyalah segala apa yang telah didengarnya kepada Rasulullah saw.? Bagaimana caranya, padahal ia harus bersifat jujur dalam mengemukakannya .. . ? Ataukah ia akan berdiam diri saja lalu memendam di dalam dadanya semua yang didengarnya . . . ? Bagaimana …Dan di mana letak kebenaran penunaian dan cinta setianya kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ? Tetapi kebingungannya tidaklah berjalan lama, karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar bagi penyelesaiannya . . . ! Dan dengan segera Umeir berubah menjadi seorang laki-laki perkasa dan Mu’min yang taqwa . . . , maka ia pun menghadapkan pembicaraan kepada Jullas bin Suwaid, katanya: “Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan . . . ! Sungguh, engkau telah melontarkan sesuatu ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya daripadamu, niacaya akan menyakitkan hatimu            Tetapi andainya kubiarkan saja kata-kata itu, tentulah Agamaku akan binasa padahal haq Agama itu lebih utama ditunaikan. Dari itu aku akan menyampaikan apa yang kudengar kepada Rasul­ullah … !”
Demikianlah Umeir telah memenuhi keinginan hatinya yang shaleh secara sempurna …. Pertama ia telah menunaikan haq majlia sesuai dengan amanat, dan dengan jiwanya yang besar membebaskan diri dari berperan sebagai orang yang mendengar­-dengarkan kata orang lalu menyampaikannya kepada orang lain. Kedua itu telah menunaikan haq Agamanya yaitu dengan menyingkapkan sifat kemunafikan yang meragukan. Dan ketiga ia telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas keke­liruannya, yakni sewaktu secara terus terang dikatakannya kepadanya, bahwa persoalan ini akan diaampaikannya kepada Rasulullah saw. Seandainya ia sedia bertaubat dan memohon ampun, maka hati Umeir akan lega karena tak perlu lagi menerus­ kannya kepada Rasulullah saw.
Tetapi rupanya Jullas telah dipengaruhi betul-betul oleh rasa sombong dengan dosanya itu, dan tidak ada perasaan menyesal sedikitpun atau keinginan untuk bertaubat. Hingga ter­paksalah Umeir meninggalkan mereka, katanya: “Akan kusam paikan kepada Rasulullah sebelum Tuhan menurunkan wahyu yang melibatkan diriku dengan dosamu …
Rasulullah setelah mendapat laporan dari Umeir mengirim. kan orang mencari Jullas, tetapi setelah Jullas dihadapkan ia mengingkari katanya itu, bahkan ia mengangkat sumpah palsu atas nama Allah . . . ! Tetapi ayat al-Quran telah datang memiaahkan antara yang haq dengan yang bathil:
“Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu (yang menyakitkan hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka capai …. Dan tak ada yang menimbulkar  dnedam kemarahan mereka hanyalah lantaran Allah dan Rasulnya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan karunia-Nya . . . . Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang terlebih baik bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela maupun penolong di muka bumi … ! “(Q.S. 9 at-Taubah:74)
Dengan turunnya ayat Quran ini, terpaksalah Jullas meng­akui pembicaraannya, dan meminta ampun atas kesalahannya, teriatimewa di kala diperhatikannya ayat yang mulia yang memutuskan menghinakannya, tetapi di saat yang sama menjanjikan rahmat Allah seandainya ia bertaubat dan mencabut kata-kata­nya: “Maka seandainya mereka bertaubat, itulah yang terlebih baik untuk mereka… !”
Dan karenanya tindakan Umeir ini menjadi kebaikan dan berkat kepada Jullas, hingga ia bertaubat dan setelah itu ke­Islamannya menjadi baik . . . . Nabi memegang telinga Umeir dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian-pujian:
“Hai anak muda, sungguh nyaring telingamu . . . dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu … !”
Aku sungguh beruntung sekali dapat menemukan Umeir untuk pertama kah, semenjak aku menulia buku mengenai Umar bin Khatthab mulai empat tahun yang lalu. kiaahnya bersama Amirul Mu’minin Umar sungguh mempesonakanku, hingga rasanya tak ada lagi cerita lain yang lebih mempesona dari itu . . . . Nah, cerita inilah sekarang yang akan kupaparkan kepada anda sekalian, agar anda ikut menyaksikan suatu kebesaran iatimewa dalam kecemerlangan yang mengagumkan.
Anda tahu bahwa Amirul Mu’minin Umar r.a. selalu berhati-­hati memilih para gubernurnya, seolah-olah ia memilih orang-­orang yang sama mutunya dengan dirinya …. la selalu memilih­nya dari orang-orang yang zuhud dan shaleh, dan orang-orang yang dipercaya dan jujur . . . yang tidak mengejar pangkat atau kedudukan bahkan tak hendak menerima jabatan tersebut kecuali karena Amirul Mu’minin memaksanya untuk men­jabatnya ….
Sekalipun pandangan tajam dan pengalamannya luas, namun dalam memilih gubernur-gubernur dan pembantu-pembantu utamanya ini beliau selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti. Beliau selalu meng­ulang-ulang pesan atau fatwanya yang mengesankan itu sebagai berikut:
“Aku menginginkan seorang laki-laki bila ia berada dalam suatu kaum, padahal ia adalah rakyat biasa, tetapi menonjol seolah-olah ia lah pemimpinnya .. .. Dan bila ia berada di antara mereka sebagai pemimpinnya, ia menampakkan diri sebagai rakyat biasa . . . . Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia kebanyakan dalam soal pakaian, makanan dan tempat tinggal . . . . Di­tegakkannya shalat di tengah-tengah mereka . . . berbagi rata dengan mereka berdasarkan yang haq . . . dan tak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan mereka … !”
Maka berdasarkan norma-norma dan peraturan yang keras inilah, ia di suatu hari memilih Umeir bin Sa’ad untuk menjadi gubernur di Homs. Umeir berusaha menolak dan melepaskan diri dari jabatan tersebut tetapi sia-sia, karena Amirul Mu’minin tetap mengharuskan dan memaksanya untuk menerimanya ….
Umeir pun memohon kepada Allah petunjuk dengan shalat iatikharah, dan kemudian melaksanakan tugas kewajibannya …. Dan setelah berjalan setahun masa jabatannya di Homs itu, tak ada hasil pemungutan pajak yang sampai ke Madinah …. Bab­kan tak ada sepucuk surat pun yang datang kepada Amirul Mu’minin daripadanya ….
Amirul Mu’minin memanggil penulisnya, katanya: “Tulislah surat kepada Umeir agar ia datang pada kita!”
Maka di sinilah saya akan meminta keidzinan anda untuk melaporkan pertemuan di antara Umar dan Umeir, sebagaimana tercantum dalam buku saya “Di hadapan Umar”, sebagai berikut: “Di suatu hari jalan-jalan kota Madinah menyaksikan seorang laki-laki dengan rambut kusut dan tubuh berdebu. Ia diliputi kelelahan karena berjalan jauh. Langkah-langkahnya seakan‑akan tercabut dari tanah disebabkan lamanya kepayahan dalam perjalanan, dan tenaganya yang sudah habis terkuras . . . . Di atas pundak kanannya terdapat buntil kulit dan sebuah piring … sedang di pundak kirinya kendi beriai air … ! Ia bertelekan pada sebuah tongkat, yang tidak akan terasa berat bila dibawa oleh orang yang kurus dan lemah . . . . Ia menghampiri majlis
Umar dengan langkah yang gontai, lalu ucapnya: “Assalamu­’alaikum ya Amirul Mu’minin . . . !” Umar membalas salamnya ;kemudian menanyainya. Hatinya sedih melihatnya dalam ke­adaan payah dan letih itu. “Apa kabar hai Umeir?” Jawab Umeir: “Keadaanku sebagaimana yang anda lihat sendiri . . . . Bukankah anda melihat aku berbadan sehat dan berdarah bersih, dan dunia di tanganku yang dapat kukendalikan semauku . . .”  Apa yang kamu bawa itu?   Yang kubawa ialah buntil atau bungkusan tempat membawa bekal . .. , piring tempat aku makan, kendi tempat air minum dan wudlu, kemudian tongkat untuk bertelekan dan guna melawan musuh jika datang menghadang .. .. Demi Allah, dunia ini tak lain hanyalah pengikut bagi bekal kehidupanku . . . ! — Apakah anda datang dengan berjalan kaki? — Benar! — Apa tak ada orang yang mau mem­berikan binatang kendaraannya untuk kamu tunggangi . . . ? — Mereka tidak menawarkan dan aku tidak pula memintanya. —Apa yang kamu lakukan mengenai tugas yang kami berikan padamu? — Aku telah mendatangi negeri yang anda titahkan itu. Orang-orang shaleh di antara penduduknya telah kukumpulkan. .Kuangkat mereka mengurus pemungutan pajak dan kekayaan negara. Bila telah terkumpul, kupergunakan. kembali pada tempatnya yang wajar untuk kepentingan mereka. Dan kalau ada kelebihan, tentulah sudah kukirimkan ke sini … ! — Kalau begitu kau tak membawa apa-apa untuk kami? — Tidak … !”
Maka berserulah Umar dalam keadaan bangga dan berbaha­gia: “Tetapkan kembali jabatan gubernur bagi Umeir yang dijawab oleh Umeir dengan mengelakkan diri secara bersungguh­ sungguh, katanya: “Masa yang demikian itu telah berlalu … aku tak hendak menjadi pegawai anda lagi, atau pegawai pejabat setelah anda … !”
Cerita ini bukanlah skenario yang kami atur sendiri, dan bukan pula cerita yang dibuat-buat … tetapi benar-benar peristiwa sejarah yang pada suatu masa pernah disaksikan oleh bumi Madinah selaku ibu kota Islam yakni di saat-saat kejayaan dan kebesarannya. Maka dari tipe golongan manakah tokoh-tokoh utama dan luar biasa itu … ?
Umar r.a. selalu berang angan dan mengatakan: “Aku ingin sekali mempunyai beberapa orang laki-laki yang seperti Umeir akan jadi pembantuku untuk melayani Kaum Muslimin .. . . “. Sebabnya, Umeir yang dilukiskan oleh para shahabatnya sebagai “tokoh yang tak ada duanya” benar-benar telah meningkat naik dan dapat mengatasi kelemahan dirinya selaku manusia berhadapan dengan harta benda dunia dan kehidupan yang penuh dengan onak dan duri ini …. Di waktu ia diharus­kan melaksanakan pemerintahan dan pemimpin, maka keduduk­annya yang tinggi itu hanya semakin menambah sifat wara’ dari orang suci ini, dengan perkembangan, pertumbuhan dan kecemerlangan ….
Ketika ia menjabat sebagai gubernur di Horns itu ia telah menggariskan tugas kewajiban seorang kepala pemerintahan Islam dalam kata-kata yang selalu diutarakannya dalam meng­gembleng Kaum Muslimin dari atas mimbar. Kata-kata itu demikian bunyinya:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Islam mempunyai dinding teguh dan pintu yang kukuh . . . . Dinding Islam itu ialah keadilan . . . sedang pintunya ialah kebenaran . . . . Maka apabila dinding itu telah dirobohkan, dan pintunya didobrak orang, Islam pun akan dapat dikalahkan. Islam akan senan­tiasa kuat selama pemerintahannya kuat. Kekuatan peme­rintah tidak terletak dalam angkatan perang, atau keperkasa­an angkatan kepulisian . . . . Tetapi dalam realita pelaksana, melaksanakan segala ketentuan dengan jujur dan benar disertai menegakkan keadilan . . !”
Dan sekarang dalam kita melepas Umeir dan menghor­matinya dengan penuh kebesaran dan hati yang khusyu’, marilah kita menundukkan kepala dan kening kita: —
Bagi sebaik-baik guru, yaitu Nabi Muhammad  .
Bagi ikutan orang-orang taqwa, yakni Nabi Muhammad
Bagi pembawa rahmat Allah yang dilimpahkan kepada umat manusia sepanjang hayatnya
. Semoga shalawat dan salam-Nya terlimpah kepadanya – . – - Begitu pun ucapan selamat dan berkah-Nya . . . . Semoga ter­limpah pula salam atas keluarganya yang suci . .. . Begitupun terlimpah atas para shahabatnya yang terpuji …
sumber http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/02/umeir-bin-saad/

29. KHUBAIB BIN ‘ADI

KHUBAIB BIN ‘ADI
PAHLAWAN YANG SYAHID DI KAYU SALIB
Dan kini ….
Lapangkanlah jalan kepada pahlawan ini, wahai para shahabat …. Mari kemari, dari segenap penjuru dan tempat …. Datang­lah ke sini, secara mudah atau bersusah payah …. Kemarilah bergegas dengan menundukkan hati . . . . Menghadaplah untuk mendapatkan pelajaran dalam berkurban yang tak ada tandingan­nya …. Mungkin anda sekalian akan berkata: “Apakah semua yang telah anda ceritakan kepada kami dulu bukan merupakan pelajaran-pelajaran tentang pengurbanan yang jarang tanding­annya?”
Benar . . . , semuanya pelajaran, dan kehebatannya tak ada tandingan dan imbangannya …. Tapi kini kalian berada di muka seorang maha guru baru dalam mata pelajaran seni berqurban Seorang guru, seandainya anda ketinggalan menghadiri kuliahnya, anda akan kehilangan banyak kebaikan-kebaikan yang tidak terkira . . . . Mari bersama kami, wahai penganut aqidah dari setiap ummat dan tempat. Mari bersama kami, wahai pengagum ketinggian dari segala masa dan zaman . . . . Kamu juga, wahai orang-orang yang telah sarat oleh beban penipuan diri dan berprasangka buruk terhadap Agama dan iman . . . .
Marilah datang dengan kebanggaan palsumu itu . . . . Marilah, dan perhatikanlah bagaimana Agama Allah itu telah membentuk dan menempa tokoh-tokoh terkemuka …. Marilah perhatikan oleh kalian! Kemuliaan yang tiada tara … kegagahan sikap,
ketetapan pendirian, keteguhan hati . . . kepantang munduran … pengurbanan dan kecintaan yang tak ada duanya . . . Ring­kasnya, kebesaran yang luar biasa dan mengagumkan, yang telah dikalungkan oleh keimanan yang sempurna ke leher pemiliknya yang tulus ikhlas Tampakkah oleh anda sekalian tubuh yang diaalib itu . ? Nah, inilah dia judul pelajaran kita hari ini, wahai semua anak manusia! Benar . . . tubuh yang diaalib di hadapan kalian itulah sekarang yang jadi judul dan mata pelajaran, dan jadi contoh teladan dan sekaligus guru. Namanya Khubaib bin ‘Adi. Hafalkan benar dengan baik nama yang mulia ini!
Hafalkan dan dengungkan serta lagukanlah namanya, karena ia jadi kebanggaan dari setiap manusia, setiap agama, dari setiap aliran dan dari setiap bangsa di setiap zaman … !
Ia seorang yang cukup dikenal di Madinah dan termasuk shahabat Anshar. Ia Sering bolak-balik kepada Rasulullah saw. sejak beliau hijrah kepada mereka, lalu beriman kepada Rabbul  Alamin. Seorang yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman teguh dan berhati mulia. Ia adalah sebagai yang dilukiakan oleh Hassan bin Tsabit, penyair Ialam sebagai berikut:
“Seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras orang-orang Anshar. Seorang yang lapang dada namun tegas dan keras tak dapat ditawar-tawar”.
Sewaktu bendera perang Badar dikibarkan orang, terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang pahlawan gagah perkasa yang tiada lain dari Khubaib bin ‘Adi ini. Salah seorang di antara orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya di perang Badar ini dan tewas di ujung pedangnya, ialah seorang pemimpin Quraiay yang bernama al-Harits bin ‘Amir bin Naufal. Setelah pertempuran selesai dan siaa-siaa pasukan Quraiay yang kalah kembali ke Mekah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan bapak mereka. Mereka menghafalkan dengan baik nama orang Ialam yang telah menewaskan ayah mereka dalam pertempuran itu ialah Khubaib bin ‘Adi … !
Orang-orang Ialam telah kembali ke Madinah dari perang Badar. Mereka meneruskan pembinaan masyarakat mereka yang baru  . . . Adapun Khubaib, ia adalah seorang yang taat ber­ibadah, dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang ‘abid dan kerinduan seorang ‘asyik …. Demikianlah ia beribadat menghadap Allah dengan sepenuh hatinya . . . berdiri shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang serta memahasucikan Allah pagi dan petang ….
Pada suatu hari Rasulullah saw. bermaksud hendak menye­lidiki rahasia orang-orang Quraiay, hingga dapat mengetahui ke mana tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk suatu peperangan yang baru …. Untuk itu beliau pilih sepuluh orang dari para shahabatnya, termasuklah di antaranya Khubaib dan sebagai pemimpin mereka diangkat oleh Nabi, ‘Ashim bin Tsabit.
Pasukan penyelidik ini pun berangkatlah ke tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Mekah. Rupanya gerakan mereka tercium oleh orang-orang dari kampung Hudzail yang didiami oleh suku Bani Haiyan, orang-orang ini segera berangkat dengan seratus orang pemanah mahir, menyusul orang­-orang Ialam dan mengikuti jejak mereka dari belakang ….
Pasukan bani Haiyan hampir Saja kehilangan jejak, kalau tidaklah salah seorang mereka melihat biji kurma berjatuhan di atas pasir . . . . Biji-biji itu dipungut oleh sebagian di antara orang-orang ini, lalu mengamatinya berdasarkan firasat yang tajam yang biasa dimiliki oleh bangsa Arab, lalu berseru kepada teman-teman mereka: “Biji-biji itu berasal dari Yatsrib … nama lain dari Madinah … Ayuh, kita ikuti, hingga dapat kita ketahui di mana mereka berada … !
Dengan petunjuk biji-biji kurma yang berceceran di tanah, mereka terus berjalan, hingga akhirnya mereka melihat dari jauh rombongan Kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari itu …. ‘Ashim, pemimpin penyelidik merasa bahwa mereka sedang dikejar musuh, lalu diperintahkannya kawan-kawannya untuk menaiki suatu puncak bukit yang tinggi . . .. Para pemanah musuh yang seratus orang itu pun dekatlah sudah. Mereka mengelilingi Kaum Muslimin lalu mengepung mereka dengan ketat. . . .
Para pengepung meminta agar Kaum Muslimin menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya. Ke­sepuluh orang ini menoleh kepada pemimpin mereka ‘Achim bin Tsabit al-Anshan r.a. Rupanya ia menyatakan: “Adapun aku, demi Allah aku tak akan turun, mengemia perlindungan orang musyrik . . . ! Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu . . .!”
Dan segeralah para pemanah yang seratus orang itu meng­hujani mereka dengan anak panah …. Pernimpin mereka ‘Achim beserta tujuh orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugurlah sebagai syahid. Mereka meminta agar yang lain turun dan tetap akan dijamin keselamatannya sebagai dijanjikan. Maka turunlah ketiga orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang shahabatnya . . .
Para pemanah mendekati Khubaib dan salah seorang temannya, mereka menguraikan tali-temali mereka dan mengikat keduanya. Teman mereka yang ketiga melihat hal ini sebagai awal pengkhianatan janji, lalu ia memutuskan mati secara nekad sebagaimana dilakukan ‘Achim dan teman-temannya, maka gugurlah ia pula menemui syahid seperti yang diinginkannya ….
Dan demikianlah, kedelapan orang yang terbilang di antara orang-orang Mu’min yang paling tebal keimanannya, paling teguh menepati janji dan paling setia melaksanakan tugas kewajibannya terhadap Allah dan Rasul, telah menunaikan darma bakti mereka sampai mati ….
Khubaib dan seorang temannya yang seorang lagi Zaid, berusaha melepaskan tali ikatan mereka, tapi tidak berhasil karena buhulnya yang sangat erat. Keduanya dibawa oleh para pemanah durhaka itu ke Mekah. Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga orang banyak …. Keluarga Harits bin ‘Amin yang tewas di perang Badar, cepat mengingat nama ini dengan baik, suatu nama yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli Khubaib sebagai budak . . . untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari pen­duduk Mekah lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di perang Badar. Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan ditimpakan kepada Khubaib untuk memuaskan dendam kemarahan mereka, bukan saja terhadapnya tetapi juga terhadap seluruh Kaum Muslimin! Dan sementara itu, golongan musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib, Zaid bin Ditsinnah, yaitu dengan menyula atau menusuknya dari dubur hingga tembus ke bagian atas badannya ….
Khubaib telah menyerahkan dirinya sepenuhnya, menyerah­kan hatinya, pendeknya semua urusan dan akhir hidupnya kepada Allah Rabbul’alamin. Dihadapkannya perhatiannya kepada beribadat dengan jiwa yang teguh, keberanian yang tangguh disertai sakinah atau ketenteraman yang telah dilimpah­kan Allah kepada yang dapat menghancurkan batu karang dan melebur ketakutan. Allah selalu besertanya sementara ia senantiasa beserta Allah . . . . Kekuasaan Allah menyertainya, seakan-akan jari-jemari kekuasaan itu membalut dadanya hingga terasa sejuk dingin ….
Pada suatu kali salah seorang puteri Harits datang menjenguk ke tempat tahanan Khubaib yang ada di sekitar rumahnya, tiba-tiba ia meninggalkan tempat itu sambil berteriak, memanggil dan mengajak orang Mekah menyaksikan keajaiban, katanya: “Demi Allah saya melihat Khubaib menggenggam setangkai besar anggur sambil memakannya . . . sedang ia terikat teguh pada besi … padahal di Mekah tak ada sebiji anggur pun …. Saya kira itu adalah rizqi yang diberikan Allah kepada Khubaib.
Benarlah Itu adalah rizqi yang diberikan Allah kepada hambanya yang shaleh, sebagaimana dahulu pernah diberikan­Nya seperti itu kepada Maryam anak ‘Imran, yaitu di saat:
“Setiap kali Zakaria masuk ke dalam mihrabnya, dan ditemukannya rizqi di dekat Maryam …. Katanya: Dari mana datangnya makanan ini hai Maryam? Jawabnya: Ia datang dari Allah, sesungguhnya Allah memberi rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tidak terhingga …. (Q.S. 3 Ali Imran: 37)
Orang-orang musyrik menyampaikan berita kepada Khubaib tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami shahabat dan saudaranya Zaid bin Ditsinnah. r.a. Mereka mengira dengan itu dapat merusakkan urat sarafnya, serta membayangkan dan merasakan derita dan siksa yang membawa kematian kawannya itu. Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah merang­kulnya dengan menurunkan sakinah dan rahmat-Nya …. Terus mereka menguji keimanannya dan membujuknya dengan janji pembebasan seandainya ia man mengingkari Muhammad dan sebelum itu Tuhannya yang telah diimaninya …. Tetapi usaha mereka tak ubahnya seperti hendak mencopot matahari dengan memanahnya…! Benar, keimanan Khubaib tak ubah bagai matahari, baik tentang kuatnya, jauhnya maupun tentang panas­nya dan cahayanya . .. ! Ia akan bercahaya bagi orang-orang yang mencari cahayanya dan ia akan padam menggelap bagi orang yang menghendakinya gelap. Adapun orang yang meng­hampirinya dan menentangnya maka ia akan terbakar dan hangus.
Dan tatkala mereka telah berputus asa dari apa yang mereka harapkan, mereka seretlah pahlawan ini ke tempat kematiannya … mereka bawa ke suatu tempat yang bernama Tan’im, dan di sanalah ia menemui ajalnya ….
Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib minta idzin kepada mereka untuk shalat dua rakaat. Mereka mengidzinkan­nya, dan menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar ­menawar dalam dirinya untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agama­nya . . . . Khubaib pun shalatlah dua rakaat dengan khusu’, tenang, dan hati yang pasrah . . . . Dan melimpahlah ke dalam rongga jiwanya, lemak manianya iman . . . maka ia menyatakan cintanya kiranya ia terus shalat, terus shalat dan shalat lagi ….Tetapi kemudian ia berpaling ke arah algojonya, lalu katanya kepada mereka: “Demi Allah, kalau bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niacaya akan kulanjutkan lagi shalatku … !”
Kemudian diangkatnya kedua pangkal lengannya ke arah langit lalu. mohonnya: “Ya Allah, susutkanlah bilangan mereka … musnahkan mereka sampai binasa … !” Kemudian diamat-­amatinya wajah mereka, disertai suatu keteguhan tekad lalu berpantun:
Mati bagiku tak menjadi masalah ….
Asalkan ada dalam ridla dan rahmat Allah Dengan jalan apapun kematian itu terjadi… . Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi Ku berserah menyerah kepada-Nya . .  . Sesuai dengan taqdir dan kehendak-Nya Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah …. pada setiap sobekan daging dan tetesan darah.
Dan mungkin inilah peristiwa pertama dalam sejarah bangsa Arab, di mana mereka menyalib seorang laki-laki, kemudian membunuhnya di atas salib … !
Mereka telah menyiapkan pelepah-pelepah tamar untuk membuat sebuah salib besar, lalu. menyandarkan Khubaib di atasnya, dengan mengikat teguh setiap bagian ujung tubuhnya
Orang-orang musyrik itu jadi buas dengan melakukan segala kekejaman yang menaikkan bulu. roma. Para pemanah bergantian melepaskan panah-panah mereka.
Kekejaman yang di luar batas ini sengaja dilakukan secara perlahan-lahan terhadap pahlawan yang tidak berdaya karena tersalib …. Tapi ia tak memicingkan matanya, dan tak pernah kehilangan sakinah yang mena’ajubkan itu yang telah memberi cahaya kepada wajahnya. Anak-anak panah bertancapan ke tubuhnya dan pedang-pedang menyayat-nyayat dagingnya. Di kala itu salah seorang pemimpin Quraiay mendekatinya sambil berkata: “Sukakah engkau, Muhammad menggantikanmu, dan engkau sehat wal’afiat bersama keluargamu?” Tenaga Khu­baib pulih kembali, dengan suara laksana angin kencang ia, berseru kepada para pembunuhnya: “Demi Allah tak sudi aku bersama anak istriku selamat meni’mati kesenangan dunia, sedang Rasulullah kena musibah walau oleh sepotong duri … ! ” Kalimat dan kata-kata hebat yang menggugah ini pulalah yang telah diucapkan oleh teman seperjuangannya Zaid bin Ditsinnah sewaktu mereka hendak membunuhnya . . .. Kata-kata yang mempesona itu yang telah diucapkan oleh Zaid kemarin, dan diulangi oleh Khubaib sekarang . . . yang menyebabkan Abu Sofyan, yang waktu itu belum lagi masuk Ialam mempertepukkan kedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya itu: “Demi Allah, belum pernah kulihat manusia yang lebih men­cintai manusia lain, seperti halnya shahabat-shahabat Muhammad terhadap Muhammad.. .
Kata-kata Khubaib ini bagaikan aba-aba yang memberi keleluasaan bagi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk mencapai sasarannya di tubuh pahlawan ini, yang menyakitinya dengan segala kekejaman dan kebuasan . . . . Dekat ke tempat kejadian ini telah berterbangan burung-burung bangkai dan burung-burung buas lainnya, seolah-olah sedang menunggu selesainya para pembantai pulang meninggalkan tempat itu, hingga dapat mendekat dan mengerubungi tubuh yang sudah menjadi mayat itu sebagai santapan istimewa – . . . Tetapi kemu­dian burung-burung tersebut berbunyi bersahut-sahutan lalu berkumpul dan saling mendekatkan paruhnya seakan-akan mereka sedang berbisik dan berbicara perlahan-lahan serta saling bertukar kata dan buah fikiran. Dan tiba-tiba mereka beterbang­an membelah angkasa, dan pergi menjauh .. . . jauh … jauh sekali . . . . Seolah-olah burung ini dengan perasaan dan nalurinya tercium akan jasad seorang yang shaleh yang berdekat diri kepada Allah dan menyebarkan baunya yang harum dari tubuh yang tersalib itu, maka mereka segan dan malu akan menghampiri dan menyakitinya . . . !
Demikianlah burung-burung itu berlalu terbang berbondong-bondonm melintasi angkasa dan menahan diri dari kerakusannya ….
Orang-orang musyrik telah kembali ke Mekah, ke sarang kedengkian, setelah meluapkan dendam kesumat dan permusuh­an. Dan tinggallah tubuh yang syahid itu dijaga oleh sekelompok para algojo bersenjata tombak dan pedang.
Dan Khubaib, ketika mereka menaruhnya di atas pelepah kurma yang mereka jadikan sebagai kayu salib tempat mereka mengikatkannya, telah menghadapkan mukanya ke arah langit sambil berdoa kepada Tuhannya Yang Maha Besar, Katanya: “Ya Allah kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami … !”
Doanya itu diperkenankan oleh Allah …. Sewaktu Rasul di Madinah, tiba-tiba ia diliputi suatu perasaan yang kuat, mem­beritahukan bahwa para shahabatnya dalam bahaya . . . dan terbayanglah kepadanya tubuh salah seorang mereka sedang tergantung di awang-awang ….
Dengan segera beliau saw. memerintahkan shahabatnya Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam . . . , yang segera menunggang kuda mereka dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk Allah sampailah mereka ke tempat yang di­maksud. Maka mereka turunkanlah mayat shahabat mereka Khubaib, sementara tempat suci di bumi telah menunggunya untuk memeluk dan menutupinya dengan tanah yang lembab penuh berkah ….
Tak ada yang mengetahui sampai sekarang di mana sesung­guhnya makam Khubaib. Mungkin itu lebih pantas dan utama untuknya, sehingga senantiasalah ia menjadi kenangan dalam hati nurani kehidupan, sebagai seorang pahlawan yang mati syahid di atas kayu salib …
sumberhttp://edywitanto.wordpress.com/2010/12/02/khubaib-bin-adi/