Tidak ingat pasti kejadiannya kapan. Yang jelas kejadiannya di hari
Sabtu atau Minggu, bukan Sabtu atau Minggu kemarin. Tapi Sabtu atau
Minggu kemarinnya lagi. Ya, ban belakang motor saya bocor.
“Gak ada pakunya bang,” jelas si abang bengkel.
Perjalanan menuju rumah salah seorang kerabat untuk buka bersama pun dilanjutkan.
Seminggu kemudian tepatnya Sabtu kemarin, ban belakang dengan letak yang sama, kembali bocor.
Saya
jelaskan bahwa ban ini baru beberapa hari yang lalu ditambal. Saya juga
jelaskan bahwa tidak ada paku, beling atau benda-benda tajam sejenisnya
yang menjadi penyebab bocornya ban.
Saya sebenarnya tidak
ingin menceritakan ini semua. Karena khawatir dianggap
menjelek-jelekkan penambal ban sebelumnya. Juga dikhawatirkan malah
memancing penambal ban ini untuk menjelek-jelekkan penambal ban
‘saingannya’. Tapi Alhamdulillah kekhawatiran ini tidak terjadi.
Pembambal ban itu cuma menanggapi dengan ucapannya, “Iya, nanti saya coba periksa,”
“Gak ada paku, beling atau atau benda tajam lainnya pak,”
Penambal ban menawarkan saya untuk ganti ban dalam. Karena menurutnya lubang ban sudah parah dan tidak baik untuk ditambal lagi.
Saya pun menyetujuinya.
Keesokkan harinya, dalam perjalanan ke kantor, ban kembali cari ‘ribut’. Bocor lagi.
Saya ceritakan bahwa sudah dua kali bocor di tempat yang sama. Terakhir malah harus ganti ban dalam.
Penambal
ban langsung memeriksa bentuk bocornya ban. “Kalo model sobekannya
seperti ini, berarti penyebab bocor ban motor ini adalah silet,” jelas
si penambal ban.
Penambal ban kembali mengamati ban yang
bocor. Tidak lama kemudian, posisi silet itu ditemukan. Potongan silet
itu ‘tertanam’ di dalam ban luar.
Saya kagum dengan
penambal ban ini. Berbeda dengan dua penambal sebelumnya. Mereka tidak
berhasil menemukan penyebab bocornya ban. Sedangkan penambal ban ini,
dengan waktu yang relatif singkat dapat menemukan potongan silet
penyebab kebocoran ban.
Memang berbeda orang yang punya pengetahuan dengan yang tidak.
Derajat
orang yang berilmu lebih tinggi dari yang tidak berilmu, juga
diceritakan oleh Mas Herry Nurdi, mantan pimred majalan Sabili.
Dalam sebuah buku karyanya, Mas Herry pernah bercerita. Dia naik becak di suatu daerah (saya lupa nama daerahnya).
Tukang becak itu bercerita bahwa Kyai besar di daerah itu adalah sahabatnya dulu satu sekolah.
Mendengar
cerita itu terbayang oleh Mas Herry siapa Kyai besar yang disegani di
daerah itu dan dia melihat kepada tukang becak itu.
Dengan
tanpa bermaksud merendahkan si abang becak, dalam tulisan itu, mas
Herry membahas memang benar bahwa orang yang berilmu lebih tinggi
derajatnya dari yang tidak berilmu.
Pengetahuan penambal
ban yang sudah berwawasan meninggikan derajatnya dibandingkan 2 penambal
ban sebelumnya. Bahkan pengetahuannya membuat dia ‘lebih’ dibandingkan
orang-orang awam yang tidak mengerti hal-hal terkait ban.
Boleh
jadi si tukang becak dulunya sewaktu satu sekolah lebih pintar dari
Kyai terkenal di daerah itu. Tapi begitu si tukang becak tidak terus
belajar, sementara Kyai itu terus menuntut ilmu, maka terlihatlah
perbedaannya dengan jelas.
Maha Benar Allah dalam
firman-Nya, “…Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…”
(Al-Mujaadalah: 11)
Dalam ayat yang lain, ““Katakanlah,
‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?’” (QS. Az-Zumar: 9)
TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN
FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar