Sabtu, 27 Februari 2016

Ayat-ayat Cinta 2 (Resensi)



Kalo ada orang yang bertanya, “Bagaimana penilaian terhadap novel Ayat-ayat Cinta 2?”

Saya akan jawab luar biasa. Novel penuh berisi pesan, pemikiran, fakta, cerita dan romantisme.

Habiburrahman El-Shirazy begitu pandai membaca fakta yang menimpa diri kaum muslimin saat ini. Dia juga begitu pandai mengemas cerita untuk menunjukkan bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan kaum muslimin.

Fahri, tokoh utama dalam novel ini tinggal di kota Edinburgh, Skotlandia. Dia tinggal di lingkungan yang majemuk. Ada Keira dan Jason; tetangganya yang amat membenci Islam. Kakak beradik ini amat membenci Islam, karena ayah mereka merupakan salah satu korban ledakan bom di stasiun kereta api bawah tanah. Berita yang beredar, pelaku ledakan adalah dari kalangan kaum muslimin.

Seringkali Fahri dan supirnya Paman Hulusi menemukan tulisan yang mencoreng kaca mobil Fahri. Seperti tulisan Islam=Satanic, Muslim=Monster.

Tapi apa yang dilakukan Fahri? Apakah Fahri marah-marah, melaporkan Keira dan Jason pada polisi? Karena bila hal ini dilaporkan ke polisi, Fahri punya bukti kuat hasil rekaman CCTV.

Fahri sebagai pengusaha butik, restoran dan minimarket juga punya rekaman CCTV tentang ulah Jason yang mencuri beberapa batang coklat. Hal ini sudah seringkali dilakukan oleh Jason.

Fahri memaafkan ini semua. Fahri mengajak Jason untuk bersahabat, bahkan menyekolahkannya sekolah bola. Hingga Jason menjadi pemain sepakbola professional.

Demikian pula, dengan sikap Fahri terhadap Keira. Keira yang memiliki bakat bermain biola, disekolahkan sekolah biola. Pengajarnya adalah pemain biola professional. Pesan Fahri pada pengajarnya agar Keira bisa menjadi juara biola tingkat international. Pengajarnya pun menyanggupinya.

Karena Fahri membantu Keira secara diam-diam, Keira tidak merasakan langsung kebaikan Fahri. Dia masih menganggap Fahri adalah ‘musuhnya’. Ini menjadi pergolakan batin bagi Fahri yang telah membantu Keira, tapi diperlakukan tidak adil.

Berbeda dengan bantuan Fahri yang diberikan kepada Jason. Semuanya dilakukan secara langsung dan terang-terangan. Jason merasakan langsung kebaikan dan ketulusan Fahri. Hingga Jason berniat untuk masuk Islam.

Nenek Catarina yang beragama Yahudi juga mendapat perlakuan ‘istimewa’ dari Fahri. Rumah nenek Catarina direbut oleh anak tirinya yang memang memiliki surat wasiat yang sah atas kepemilikan rumah itu. Nenek Catarina diminta untuk tinggal di panti asuhan oleh Baruch, anak tirinya itu. Tapi Fahri menampung nenek Catarina di rumahnya dan melayaninya layaknya terhadap orang tuanya.

Rumah nenek Catarina dijual oleh Baruch kepada seorang pembeli. Lalu Fahri mendatangi pembeli itu untuk membeli rumah itu kembali. Dia siap membayar dengan harga yang lebih. Rumah itu berhasil kembali ke nenek Catarina.

Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin benar-benar ditunjukkan oleh Fahri dalam aktivitas sehari-harinya.

Fahri yang bergelar Doktor dan mengajar di University Of Edinburgh, juga memiliki lingkungan akedemis. Lingkungan akedemis yang didominasi oleh non muslim, membuat Fahri harus pandai menjelaskan tentang Islam dengan sebenar-benarnya, dengan argument yang tajam.

Bahkan Fahri ikut sebuah forum debat di sebuah forum international yang bergengsi. Fahri dapat membantah dua orang lawan debatnya dengan argumen-argumen yang mematahkan.

Pengetahuan penulis tentang kebobrokan paham komunis dibahas di sini. Kesesatan pemahaman bahwa semua agama adalah sama, dikupas tuntas di sini juga. Kedudukan permasalahan Palestina juga didudukkan oleh penulis pada posisinya.

Di dalam novel ini, Fahri bertemu dengan salah seorang sahabatnya sewaktu di Kairo. Karena sama-sama lulusan Al-Azhar, maka pembicaraan mereka berdua penuh dengan makna. Terkadang terjadi perdebatan diantara mereka. Perdebatan diantara keduanya terlihat sengit dengan masing-masing argument yang mereka punyai.

Satu yang mengganggu pikiran saya. Fahri sebagai seorang hafidz Quran, pengetahuannya tentang Islam begitu teramat luas. Jenjang pendidikannya yang tinggi. Tapi mengapa dia mengizinkan Aisyah, isterinya untuk pergi ke Palestina tanpa didampingi seorang mahram pun? Hingga akhirnya Aisyah hilang di Palestina.

Namun kejanggalan yang terakhir ini, tidak menghilangkan kekaguman saya pada novel ini. Pesan, makna dan pemikiran dikemas dalam cerita, sehingga terasa ringan untuk dikunyah dan ditelan. Novel yang ada di tangan saya, sudah cetakan kelima, Desember 2015. Selamat membaca.

sumber image: http://www.harnas.co/

     

Sabtu, 22 Maret 2014

DENDANG SEORANG PENGANGGURAN (SERIAL UTARI)

   “Kenapa Pak? Kok makannya seperti ogah-ogahan?” Tanya bu Minah
        Tiba-tiba raut muka pak Udin nampak sendu.
        “Iya pak, makannya kok seperti itu. Enak loh masakan ibu,” Utari kembali menimpali perkataan ibunya.
        “Iya benar nak, masakan ibumu ini memang enak. Tapi bapak malu nak, untuk memakannya. Seharusnya makanan ini ada lewat hasil keringat bapak. Tapi ini lewat hasil kerja ibumu.” Jelas pak Udin
        Sejak pabrik tempat pak Udin gulung tikar, otomatis pak Udin tidak lagi bekerja. Dia kembali berstatus sebagai pengangguran.
        “Yah…jangan begitu pak…ini khan rezeki kita semua dan itu berarti milik kita semua. Jadi bapak juga berhak untuk memakannya,” bu Minah mencoba menjelaskan kepada suaminya yang kini menjadi lebih sensi.
***

        Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, bu Minah nampak masih sibuk mencuci di kamar mandinya yang sederhana.
        “Sini bu, bapak bantuin..” tawar pak Udin
        “Gak usah pak. Bapak istirahat aja, besok kan mau cari kerjaan
        “Tapi kan ibu udah dari pagi kerja terus. Masak, mencuci pakaian kita, bersih-bersih rumah, sekarang mencuci pakaian tetangga kita.”
        “Yah begitu lah pak resiko menjadi buruh cuci.”
        “Iya tapi kan bapak dari tadi pagi, gak kerja apa-apa. Masa pekerjaan rumah ibu yang kerjakan dan mencari nafkah juga ibu yang kerjakan, sedangkan bapak nganggur tidak berbuat apa-apa?” wajah sendu pak Udin yang setengah memohon nampaknya berhasil meluluhkan hati bu Minah.
        Bu Minah pun mengizinkan suaminya untuk membantu. Pak Udin senang sekali diizinkan untuk membantu. Tugasnya adalah memeras cucian.
        Nampak wajah pak Udin lebih cerah. Mungkin dia merasa bahwa dirinya mulai ada artinya lagi dalam keluarganya.

***

        “Bu ada uang dua puluh ribu gak?” tanya pak Udin
        “Buat apa pak? Buat ongkos? Bukannya bapak rencananya hari ini mau istirahat cari kerjaan?” tanya balik Bu Minah
        “Iya tadinya sih. Tapi bapak jadi teringat, sekarang khan hari Jumat.”
        “Trus?”
        “Kalau bapak shalat Jumat di dekat-dekat rumah kita, bapak nanti akan ketemu dengan tetangga-tetangga dan mereka akan bertanya, “Kok gak kerja pak Udin?”
        Bu Minah nampak sedikit menarik nafas. Kok jalan pikirannya seperti itu yah? Perasaan bapak sejak menjadi pengangguran begitu amat sensi.
TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH

HARAPAN PADA ALLAH DI SAAT GENTING

Muhammad bin Al-Hasan bin Al-Madzfar bercerita, “Suatu hari, saya datang ke sebuah pertemuan. Saat itu, kekuasaan berada di tangan Nazuk. Seorang menteri mengeluarkan sekelompok orang yang diputuskan dijatuhi hukuman mati. Masyarakat menonton proses hukuman mati itu, tanpa dapat berbuat apa-apa, walau hanya sekedar mengajukan pendapat. Satu persatu terdakwa dijatuhi hukuman mati.
        Kemudian seorang anak muda dihadirkan. Saya melihat pemuda itu tersenyum ketika berada di hadapan menteri.
        Saya bertanya, “Wahai anak muda! Engkau nampaknya seorang pemberani. Karena saya melihat engkau tertawa di saat seharusnya engkau menangis. Apakah ada yang kau inginkan di saat-saat terakhir ini?”
        Pemuda itu menjawab, “Ya saya ingin kepala domba panas dan kertas timah.”
        Saya minta pada tuan rumah untuk menunda pelaksanaan hukuman mati atas pemuda itu, hingga selasai menyantap apa saja yang diinginkannya. Saya terus meminta pada tuan rumah agar permintaan pemuda itu dikabulkan. Akhirnya permintaan saya ditanggapi oleh menteri. Dia menertawakan saya. Dia berkata, “Apakah masih ada sesuatu yang bermanfaat padahal sebentar lagi dia akan dihukum mati?”
        Menteri itu kembali berkata, “Cepat cari orang yang dapat membawa kepala domba panas dan kertas timah!”
        Tak lama kemudian pesanan datang dan dihidangkan dihadapan pemuda itu.
        Pemuda itu duduk dan makan tanpa peduli dengan kondisi sekitarnya. Di saat sedang makan itu, proses hukuman mati tetap berlangsung. Algojo memenggal satu persatu leher para terdakwa.
        Saya bertanya pada si pemuda, “Wahai anak muda! Saya melihatmu makan dengan tenang, tanpa banyak berpikir.”
        Pemuda itu lalu mengambil sebatang rumput kering. Dia mengangkat tangannya dan melempar rumput itu. Pemuda itu tertawa dan berkata, “Setelah rumput dilemparkan dan jatuh ke tanah, maka dalam perjalanan rumput jatuh ke tanah, di sana ada 100 harapan yang akan datang.”
        Masyarakat yang menyaksikan berkata, “Bertepatan usainya ucapan pemuda itu, terdengar teriakan yang nyaring terdengar.” Ada yang mengatakan, “Nazuk telah dibunuh!”
        Semua orang menyerang para penjaga. Mereka mendobrak pintu tahanan hingga hancur dan semua tahanan langsung keluar melarikan diri.
        Saya pergi meninggalkan pemuda itu. Saya pulang dengan mengendarai unta tunggangan saya. Berjalan melintasi jembatan menuju rumah.
        Di tengah perjalanan, saya berhenti. Saya merasa ada seseorang yang menggenggam tangan saya dengan kuat. Dia berkata, “Prasangka kita pada Allah lebih indah dari prasangkamu. Engkau telah menyaksikan Allah Yang Maha Lembut bertindak.”
        Ternyata yang berbicara adalah pemuda tadi. Saya mengucapkan selamat padanya, karena berhasil lolos dari maut. Dia mengucapkan terima kasih pada saya atas apa yang telah saya lakukan. Itulah akhir pertemuan kami. (dikutip dari buku Hakadza Hazamuu Al-Ya'sa karya Salwa Al-'Adidhaan)
        Begitulah prasangka baik pemuda tadi pada Allah bahkan di saat-saat genting sekalipun. Demikianlah harapan yang tinggi pada Allah.
        Di saat-saat genting seperti itu, si pemuda masih dapat berpikiran jernih. Di saat orang mungkin menyalahkan Allah, tapi lain dengan si pemuda di atas. Karena dia tahu bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui bahkan hingga daun yang gugur saja Allah tahu, Allah tahu semua yang basah dan kering di bumi ini.
        Pemuda itu juga tahu bahwa Allah Maha Kuasa dan mampu menolong hamba-Nya siapa saja yang dikehendaki. Allah pernah menolong Rasulullah di saat genting, yaitu ketika berhijrah. Burung dara dikirim ke gua Tsur dan bertelur di mulut gua di saat kafir Quraisy sudah sampai di mulut gua dan seterusnya.
        Pemuda itu juga tahu bahwa Allah mampu menolong nabi Ibrahim ketika dibakar, nabi Musa dengan tongkatnya dapat membelah laut.
        Jika permasalahan yang kita hadapi tidak serumit, tak se pelik dan tidak segenting pemuda di atas, tentu Allah lebih mampu untuk menolong kita. Yang terpenting mari kita berprasangka baik kepada Allah. Mari gantungkan harapan kita kepada Allah setinggi-tingginya.
       Wallahu 'alam
TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH

BUKAN MEMBERI NASIHAT SAJA

Suatu ketika Ibnus Samak bertemu dengan khalifah Harun Ar-Rasyid. Khalifah berkata padanya, “Berilah nasihat pada saya.” Pada saat itu, di tangan khalifah terdapat segelas air. Ibnu As-Samak berkata, “Wahai Amirul Mu’minin! Jika minuman itu tidak ada padamu, apakah engkau bersedia menebusnya dengan semua harta milikmu?” Khalifah menjawab, “Ya benar.” Ibnu As-Samak kembali bertanya, “Wahai Amirul Mu’min! Jika engkau telah minum air ini, namun engkau dilarang untuk keluar (untuk buang air), apakah engkau bersedia menebusnya dengan semua harta milikmu?” Khalifah Harun Ar-Rasyid menjawab, “Ya saya bersedia.” Ibnu As-Samak berkata padanya, “Harta itu tidak ada nilainya sama sekali. Dia tidak sebanding dengan air minum dan buang air.” (Al-Mustathraf/ juz 2/293)

        Khalifah Harun Ar-Rasyid meminta nasihat. Meminta nasihat  bukan merupakan  perbuatan yang hina atau merendahkan diri. Bahkan itu merupakan perbuatan yang terpuji. Bukanllah Allah berfirman, “Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran  dan saling menasehati untuk bersabar.” (QS Al-Ashr (103))
        Dalam ayat di atas dikatakan ‘saling menasehati’. Seorang ulama tidak saja memberi nasehat, tapi dia juga perlu meminta nasihat. Karena perbuatan meminta nasihat bukan perbuatan yang hina. Tapi merupakan perbuatan yang mulia.
        Harun Ar-Rasyid adalah seorang khalifah. Namun dia tidak malu untuk meminta nasihat. Abu Bakar Shiddieq ra merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw yang dijamin masuk surga, namun dia tidak malu untuk meminta nasihat.
        Usai pengangkatan Abu Bakar ra menjadi khalifah, beliau berpidato, “Saya bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Jika saya salah, tolong luruskan saya. Jika saya benar, bantu dan dukunglah  saya.”
        Saling menasehati di masa kejayaan Islam merupakan hal yang biasa. Karena dengan saling menasehati, kita akan menjadi orang yang beruntung.

TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH

KETERBATASAN DALAM MEMBACA AL-QURAN

   Empat tahun yang lalu, saya menghadiri acara launching sebuah situs. Acara ini dimeriahkan oleh Ummi Maktum Voice; sebuah grup vokal dari Bandung yang hanya terdiri dari dua orang saja. Kang Yayan dan kang Soleh; keduanya penyandang tuna netra.
Sebelum bernyanyi, kang Soleh menyampaikan beberapa patah kata. Diantaranya beliau mengenalkan al-Quran berhuruf Braille. Beliau menjelaskan bahwa 30 juz Al-Qur’an Braille sama dengan 30 kali lipat ½ rim kertas.
        Harga 1 juz Al-Qur'an Braille relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan harga Al-Qur'an yang biasa kita gunakan.
        Kang Sholeh berkata, "Melihat kemudahan yang ada pada Al-Qur'an yang biasa bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian gunakan, 'sungguh terlalu' (dengan gaya ucapan Rhoma Irama) bila masih ada orang normal (dapat melihat) yang tidak dapat membaca Al-Qur'an."
        Begitulah kesulitan yang dirasakan para penyandang tuna netra dalam membaca Al-Quran.
        Malam ini (12 Agustus 2012), saya menyaksikan di salah satu TV swasta, ustadz Yusuf Mansur memperkenalkan seorang anak idiot bernama Rendi. Rendi tidak dapat berdiri secara normal, tubuhnya condong selalu ke belakang.
        Namun ada satu yang membuat para hadirin di Bogor, tempat diadakannya acara merasa terkagum-kagum. Para pembaca tulisan ini, bila melihat tayangan tadi, juga akan ikut berdecak kagum.
        Kagum pada kesungguhannya dalam membaca Al-Quran. Perlu diketahui untuk membaca Ta’awudz saja (‘Audzu billahi minasy syaithaanir Rajiim), Rendi perlu perjuangan super ekstra dan cukup memakan waktu yang lama. Tidak seperti kita yang hanya dalam hitungan detik dapat usai membacanya.
        Selanjutnya ustadz Yusuf Mansur memandu Rendi untuk membaca surat Al-Wa’qiah. Walau Rendi kembali terbata-bata dan bahkan tidak jelas dalam pengucapannya, namun dia dengan penuh perjuangan mengikuti tuntunan ustadz Yusuf dalam membaca ayat dari surat Al-Waqi’ah. Usai ayat pertama, ustadz Yusuf Mansur kembali memandu ayat kedua hingga ayat keempat.
        Subhanallah...Rendi berhasil membaca empat ayat. Kata Yusuf Mansur, “Untuk membacanya ini, Rendi perlu mengerahkan seluruh syaraf yang ada di dirinya.”
        Yang lebih mengagumkan lagi, Rendi bercita-cita ingin menjadi penghafal Al-Quran.  
        Moga kisah kang Soleh dan Rendi dapat menggugah kita semua. Aaamiin.

TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH