Kamis, 30 Juni 2011

Al-Muqaddasi

Al-Muqaddasi, 'Penggambar' Dunia
Thursday, 02 October 2008 00:01 WIB
Gambaran detil mengenai sebuah negeri atau wilayah begitu penting bagi manusia saat peralatan komunikasi belum secanggih sekarang. Dan, Al-Muqaddasi, cendekiawan Muslim pada awal abad ini, menjadi tokoh yang banyak disebut dalam penyebaran informasi mengenai banyak negara ini. Dialah pionir dalam melukiskan dan memberikan gambaran secara mendetail mengenai tempat yang pernah ia kunjungi. Tak hanya terkait keadaan geografis. Ia juga menulis mengenai adat istiadat, aktivitas perdagangan, maupun mata uang yang berlaku di sebuah negara. Ahsan al-Taqasim fi Ma'rifat al-Aqalim (The Best Divisions for Knowledge of the Regions), merupakan kumpulan tulisannya. Dari hasil perjalanannya ke berbagai negara, karya tulis tersebut diterbitkan pada 985 M. Pada awal paruh abad kesembilan belas orientalis dari Jerman, Aloys Sprenger, membawa manuskrip dari karya Al-Muqaddasi. Rupanya, karya ini telah menyedot perhatian ilmuwan Barat. Mereka melontarkan pujian atasnya. Bahkan mereka pun menyatakan bahwa Ahsan al-Taqasim fi Ma'rifat al-Aqalim mencerminkan kepiawaian dan kecerdasan seorang ahli geografi. Dan kemampuan Muqaddasi itu, diklaim tak tertandingi sepanjang masa. Pandangannya masih terkait dengan aspek-aspek metode geografis pada masa sekarang. Misalnya, mengenai penggunaan peta. Ini terbukti sangat berguna dalam kehidupan modern sekarang. Al-Muqaddasi memang seorang ahli geografi yang mumpuni. Ia mencurahkan tenaga dan masa hidupnya untuk mengembangkan kemampuannya. Pria kelahiran Al-Quds, Jerussalem pada 946 ini, tak hanya mengandalkan kemampuan diri. Ia tak pernah mengabaikan kekuatan yang menguasai dirinya. Allah Swt. Untuk menjaga ketajaman ingatannya, ia selalu berinteraksi dengan Tuhannya. Tak heran jika mendapatkan gelar sebagai saintis yang sesungguhnya. Ia melancong ke berbagai wilayah untuk melakukan observasi, penelitian, pengumpulan data. Kemudian menuliskannya dalam sebuah karya. Pada sisi lain, muncul pandangan bahwa ia adalah agen pemerintahan Fatimiyah di Mesir memang tak dapat ditepiskan. Namun apapun alasanya, ia adalah orang yang memiliki kemampuan dan kecerdasan. Untuk melukiskan sebuah wilayah, ia membagi pekerjaanya menjadi dua bagian. Pertama melakukan pengamatan dan mendeskripsikan setiap tempat di wilayah ia amati. Biasanya, ia memfokuskan diri pada pusat kegiatan masyarakat di sebuah wilayah. Objek pengamatan yang tak luput adalah populasi, keberagaman etnik, kelompok sosial, mata pencaharian, sumber daya mineral, peninggalan arkeologi, maupun mata uang yang digunakan. Pendekatan ini, oleh banyak ilmuwan sangat berbeda dengan para pendahulunya. Karena pendekatan yang dilakukannya mencakup hal yang lebih luas. Ia tak hanya merangkum beragam letak geografis dalam alam pikirannya. Namun ia pun, berkeinginan menyuguhkan penjelasan mengenai dasar-dasar dan fungsi masyarakat Islam dari sebuah wilayah yang ia kunjungi. Misalnya, dalam mengatasi berbagai hambatan alam. Pada akhirnya, mendorong masyarakat melakukan inovasi. Ia menceritakan secara detil mengenai pengelolaan air dan teknologi hidrolik. Teknologi ini berguna bagi masyarakat Mesir kala itu, untuk mengelola air dan menjamin berjalannya sistem pertanian. Di Biyar, yang terdapat di wilayah Al-Daylam, Mesir, ia mencatat adanya kelangkaan air. Dan mencatat bahwa air tersebut didistribusikan dengan menggunakan water clock. Ini adalah satu-satunya cara untuk mengalirkan air. Ia pun mencatat di Ahwaz, sebuah tempat di Khuzistan, terdapat roda air yang disebut dengan na'ura, yang sangat berguna untuk mengalirkan air ke kanal. Masalah fiskal, keuangan, dan mata uang serta fluktuasi yang terjadi juga menjadi perhatian Al-Muqaddasi. Pada saat mengunjungi Maghrib, Baghdad, Irak ia menyatakan bahwa semua provinsi di daerah tersebut hingga yang berbatasan dengan Damaskus menggunakan dinar. Ada pula rub yang bernilai seperempat dinar. Dirham juga digunakan sebagai alat tukar menukar di sana. Setengah dirham dinamai dengan Qirat. Terdapat pula Khurnaba yang bernilai seperempat, seperdelapan, seperenambelas bagian.Pergantian dari satu mata uang ke mata uang lainnya juga menjadi perhatian lainnya. Ia bahkan mampu menggali berapa besarnya pendapatan di suatu wilayah yang ia kunjungi. Kala ia mengunjungi Provinsi Yaman, ia mencatat bahwa wilayah Hadramaut memiliki pendapatan sebesar seratus ribu dinar. Al-Yaman serta Al-Bayrayn masing-masing memiliki pendapatan enam ratus riby dinar dan lima ratus ribu dinar. Ia bahkan memberikan gambaran secara detail baik nama, luas wilayah dan perbandingan dengan wilayah lainnya. Dalam karyanya, ia pun menyuguhkan sejarah mengenai tempat yang ia kunjungi. Kondisi masyarakat Islam urban, evolusinya, keberagaman, dan kompleksitasnya merupakan daya tarik bagi Al-Muqaddasi untuk menuliskannya. Hal ini memberikan gambaran yang begitu nyata bagi para pembaca karyanya. Tak heran jika kemudian A Miquel, sejarawan dari Prancis, merangkum karya Muqaddasi tersebut. Menurutnya Al-Muqaddasi dapat membedakan antara kota kecil dan besar melalui keberadaan masjid besar dan mimbarnya. Terkait dengan hal ini, Miquel menyatakan bahwa Al-Muqaddasi mempelajari keadaan setiap kota yang ia lalui, misalnya keadaan masyarakat maupun jarak di antara kota tersebut, akeses keluar masuk, lokasinya berdasarkan topografi. Juga mengenai pasar, pasang surutnya, dan perdagangan di kota tersebut dengan kota lainnya. Berapa besar pendapatan dan bagaimana pula pendapatan tersebut didistrbusikan. Dengan pertimbangan hubungan antara topografi dan ekspansi urban atau masyarakat kota, ia mencatat bahwa di tempat seperti Arab Saudi, laut yang ada di sana menjadi daya tarik bagi kedatangan banyak orang ke sana. Membuka batas antara laut hingga menimbulkan perdagangan. Al-Muqaddasi mencatat pula, kata A Miquel, bahwa Nabi Muhammad pada masa sebelumnya telah membuka pasar yang menghubungkan antara Adan dan Mina. Al-Muqaddasi telah memberikan sumbangsih bagi dunia Islam. Kemampuannya, juga telah diakui oleh para ilmuwan dunia. Bahwa ia telah memantik perkembangan geografi di dunia barat. Selama 20 tahun ia habiskan waktunya untuk melancong dan menuliskannya dalam sebuah karya. Ia menghembuskan nafas terakhir di kota kelahirannya, beberapa tahun setelah Ahsan Al-Taqasim fi Ma'rifat Al-Qalim diterbitkan. ( fer )
Redaktur:
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/08/10/02/7573-al-muqaddasi-penggambar-dunia
sumber image:http://fsig-geo.blogspot.com/2011/05/al-muqaddasi.html

Ibn Haitham

Ibn Haitham
Wednesday, 10 September 2008 03:23 WIB
Islam sering kali mendapat stigma sebagai agama yang terbelakang. Padahal, kontribusi ilmuwan Islam bagi dunia ilmu pengetahuan tidak lah sedikit. Ibn Haitham contohnya. Sejarah optik mencatat, dialah bapak ilmu optik yang mengurai bagaimana kerja mata 'mencerna' penampakan suatu obyek. Nama lengkap ilmuwan ini Abu Al Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham.

Publik Barat mengenalnya sebagai Alhazen. Dia lahir di Basrah pada tahun 965 Masehi. Awal pendidikan didaparkan di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di kota kelahirannya itu. Namun ia tidak sreg dengan kehidupan birokrat. Ia pun memutuskan keluar untuk kemudian merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan, ia mengasah otaknya dengan beragam ilmu. Kecintaannya kepada ilmu membawanya berhijrah ke Mesir. Di negeri ini, ia melakukan penelitian mengenai aliran dan saluran Sungai Nil serta menyalin buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang tambahan dalam meneruskan pendidikannya di Universitas al-Azhar. Belajar yang dilakukannya secara otodidak justru membuatnya menjadi seorang yang mahir dalam bidang ilmu pengetahuan, ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Tulisannya mengenai mata, telah menjadi salah satu rujukan penting dalam bidang penelitian sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai pengobatan mata telah menjadi asas bagi kajian dunia modern mengenai pengobatan mata. enelitiannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains Barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler menciptakan mikroskop serta teleskop. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya.

Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antaranya adalah Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana. Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk timur. Warna merah pada senja akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Dalam kajiannya, beliau juga berjaya menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.

Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar dan dari situ tercetuslah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para saintis di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemukan prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan bernama Tricella mengetahui hal tersebut 500 tahun kemudian. Ibnu Haitham juga telah menengarai perihal gaya gravitasi bumi sebelum Issac Newton mengetahuinya. Selain itu, teori Ibnu Haitham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung secara teratur telah memberikan ilham kepada ilmuwan Barat untuk menghasilkan tayangan gambar.

Teorinya telah membawa kepada penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan pada para penonton sebagaimana yang dapat kita tonton pada masa kini. Selain sains, Ibnu Haitham juga banyak menulis mengenai filsafat, logika, metafisika, dan persoalan yang berkaitan dengan keagamaan. Beliau turut menulis ulasan dan ringkasan terhadap karya-karya sarjana terdahulu. Penulisan filsafatnya banyak tertumpu kepada aspek kebenaran dalam masalah yang menjadi pertikaian. Padanya pertikaian mengenai sesuatu perkara bermula dari pendekatan yang digunakan dalam mengenalinya. Dia juga berpendapat bahwa kebenaran hanyalah satu. Oleh sebab itu semua dakwaan kebenaran wajar diragukan dalam menilai semua pandangan yang ada.

Pandangannya mengenai filsafat amat menarik untuk dikaji hingga saat ini. Bagi Ibnu Haitham, filsafat tidak dapat dipisahkan dari ilmu matematika, sains, dan ketuhanan. Ketiga bidang dan cabang ilmu ini harus dikuasai. Dan untuk menguasainya seseorang perlu menggunakan waktu mudanya dengan sepenuhnya. Apabila umur makin meningkat, kekuatan fisikal dan mental akan turut mengalami kemerosotan. Ibnu Haitham membuktikan dirinya begitu bergairah mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Banyak buku yang dihasilkannya dan masih menjadi rujukan hingga saat ini.

Di antara buku-bukunya itu adalah Al'Jami' fi Usul al'Hisab yang mengandung teori-teori ilmu matemetika dan matemetika penganalisaan; Kitab al-Tahlil wa al'Tarkib mengenai ilmu geometri; Kitab Tahlil ai'masa'il al 'Adadiyah tentang aljabar; Maqalah fi Istikhraj Simat al'Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat; Maqalah fima Tad'u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak; dan Risalah fi Sina'at al-Syi'r mengenai teknik penulisan puisi. Walaupun menjadi orang terkenal di zamannya, namun Ibnu Haitham tetap hidup dalam kesederhanaan. Ia dikenal sebagai orang yang miskin materi tapi kaya ilmu pengetahuan. ( yus/berbagai sumber )
Redaktur:
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/08/09/10/6665-ibn-haitham
sumber imagehttp://ilalangkota.blogspot.com/2011/05/selagi-usia-masih-ada-ibnu-haitham.html

Ibn Haitham
Kajian sainsnya digunakan oleh Barat
Islam sering kali diberikan gambaran sebagai agama yang rnundur lagi memundurkan. Islam juga dikatakan tidak menggalakkan umatnya menuntut dan menguasai pelbagai
lapangan ilmu. Kenyataan dan gambaran yang diberikan itu bukan sahaja tidak benar tetapi bertentangan dengan hakikat sejarah yang sebenarnya.
Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan ramai golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam bidang falsafah, sains, politik, kesusasteraan, kemasyarakatan, agama, perubatan, dan sebagainya. Salah satu ciri yang dapat diperhatikan pada para tokoh ilmuwan Islam ialah mereka tidak sekadar dapat menguasai ilmu tersebut pada usia yang muda, malah dalam masa yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara serentak.
Walaupun tokoh itu lebih dikenali dalam bidang sains dan perubatan tetapi dia juga memiliki kemahiran yang tinggi dalam bidang agama, falsafah, dan se umpamanya. Salah seorang daripada tokoh tersebut ialah Ibnu Haitham atau nama sebenarnya Abu All Muhammad al-Hassan
ibnu al-Haitham.
Dalam kalangan cerdik pandai di Barat, beliau dikenali dengan nama Alhazen. Ibnu Haitham dilahirkan di Basrah pada tahun 354H bersamaan dengan 965 Masihi. Beliau memulakan pendidikan awalnya di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di bandar kelahirannya.
Setelah beberapa lama berkhidmat dengan pihak pemerintah di sana, beliau mengambil keputusan merantau ke Ahwaz dan Baghdad.
Di perantauan beliau telah melanjutkan pengajian dan menumpukan perhatian pada penulisan. Kecintaannya kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir.
Semasa di sana beliau telah mengambil kesempatan melakukan beberapa kerja penyelidikan mengenai aliran dan saliran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematik dan falak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan wang saraan dalam tempoh pengajiannya di Universiti al-Azhar.
Hasil daripada usaha itu, beliau telah menjadi seo­rang yang amat mahir dalam bidang sains, falak, mate­matik, geometri, perubatan, dan falsafah. Tulisannya mengenai mata, telah menjadi salah satu rujukan yang penting dalam bidang pengajian sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai perubatan mata telah menjadi asas kepada pengajian perubatan moden mengenai mata.
Ibnu Haitham merupakan ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler mencipta mikroskop serta teleskop. Beliau merupakan orang pertama yang menulis dan menemui pelbagai data penting mengenai cahaya.
Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, antaranya ialah Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahaskan mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang bayang dan gerhana.
Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula apabila mata­hari berada di garis 19 darjah di ufuk timur. Warna merah pada senja pula akan hilang apabila mata­hari berada di garis 19 darjah ufuk barat. Dalam kajiannya, beliau juga telah berjaya menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Ibnu Haitham juga turut melakukan percubaan terhadap kaca yang dibakar dan dari situ terhasillah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para saintis di Itali untuk menghasilkan kanta pembesar yang pertama di dunia.
Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemui prinsip isi padu udara sebelum seorang saintis yang bernama Trricella mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian. Ibnu Haitham juga telah menemui kewujudan tarikan graviti sebelum Issaac Newton mengetahuinya.
Selain itu, teori Ibnu Hai­tham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur telah memberikan ilham kepada saintis barat untuk menghasilkan wayang gambar. Teori beliau telah membawa kepada penemuan filem yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita tontoni pada masa kini.
Selain sains, Ibnu Haitham juga banyak menulis mengenai falsafah, logik, metafizik, dan persoalan yang berkaitan dengan keagamaan.
Beliau turut menulis ulasan dan ringkasan terhadap karya-karya sarjana terdahulu. Penulisan falsafahnya banyak tertumpu kepada aspek kebenaran dalam masalah yang menjadi pertikaian. Padanya pertikaian dan pertelingkahan mengenai sesuatu perkara berpunca daripada pendekatan yang digunakan dalam mengenalinya.
Beliau juga berpendapat bahawa kebenaran hanyalah satu. Oleh sebab itu semua dakwaan kebenaran wajar diragui dalam menilai semuapandangan yang sedia ada. Jadi, pandangannya mengenai falsafah amat menarik untuk disoroti.
Bagi Ibnu Haitham, falsafah tidak boleh dipisahkan daripada matematik, sains, dan ketuhanan. Ketiga-tiga bidang dan cabang ilmu ini harus dikuasai dan untuk menguasainya seseorang itu perlu menggunakan waktu mudanya dengan sepenuhnya. Apabila umur semakin meningkat, kekuatan fizikal dan mental akan turut mengalami kemerosotan.
Ibnu Haitham membuktikan pandangannya apabila beliau begitu ghairah mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Sehingga kini beliau berjaya menghasilkan banyak buku dan makalah. Antara buku
karyanya termasuk:
1. Al’Jami’ fi Usul al’Hisab yang mengandungi teori-teori ilmu metametik dan metametik penganalisaannya;
2. Kitab al-Tahlil wa al’Tarkib mengenai ilmu geometri;
3. Kitab Tahlil ai’masa^il al ‘Adadiyah tentang algebra;
4. Maqalah fi Istikhraj Simat al’Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat bagi segenap rantau;
5. M.aqalah fima Tad’u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum dan  syarak
6. Risalah fi Sina’at al-Syi’r mengenai teknik penulisan puisi. Sumbangan Ibnu Haitham kepada ilmu sains dan falsafah amat banyak. Kerana itulah Ibnu Haitham dikenali sebagai seorang yang miskin dari segi material tetapi kaya dengan ilmu pengetahuan. Beberapa pandangan dan pendapatnya masih relevan sehingga ke hari ini.
Walau bagaimanapun sebahagian karyanya lagi telah “dicuri” dan “diceduk” oleh ilmuwan Barat tanpa memberikan penghargaan yang sewajarnya kepada beliau. Sesungguhnya barat patut berterima kasih kepada Ibnu Haitham dan para sarjana Islam kerana tanpa mereka kemungkinan dunia Eropah masih diselubungi dengan kegelapan.
Kajian Ibnu Haitham telah menyediakan landasan kepada perkembangan ilmu sains dan pada masa yang sama tulisannya mengenai falsafah telah membuktikan keaslian pemikiran sarjana Islam dalam bidang ilmu tersebut yang tidak lagi dibelenggu oleh pemikiran falsafah Yunani.

Sejarah Para Khalifah: Sultan Ahmad II, Kenangan Pahit di Slankamen

Sejarah Para Khalifah: Sultan Ahmad II, Kenangan Pahit di Slankamen
Kamis, 30 Juni 2011 07:30 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Ahmad II (1643-1695) adalah Sultan Turki Utsmani dari 1691 hingga 1695. Ahmad II adalah putra Sultan Ibrahim I dan menggantikan saudaranya, Sultan Sulaiman II.

Tindakan Ahmad II yang banyak diingat adalah pengangkatan Musthafa Kuberyalali sebagai raja muda. Hanya beberapa pekan setelah kenaikannya, kesultanan Utsmani mendapat kekalahan besar dari Austira di bawah Ludwig Wilhelm dari Baden dalam pertempuran Slankamen. Pasukan Utsmani dipukul mundur ke Hungaria.

Selama empat tahun masa pemerintahannya, bencana demi bencana terus melanda negerinya. Dan pada 1695 Ahmad II meninggal, lelah akibat penyakit dan kedukaan.

Pada masa pemerintahannya inilah, Perdana Menteri Musthafa Kuberyalali, seorang yang telah banyak berjuang demi pemerintahan Utsmani meninggal dunia. Dia digantikan oleh Perdana Menteri Ji Ali Pasya Ariji, sosok yang dikenal memiliki kepribadian lemah. Saat itu, Venezia telah menduduki beberapa kepulauan Ijih.

Pemerintahan Sultan Ahmad II tidak berlangsung lama. Dia meninggal pada 1106 H/1695 M. Peperangan yang terjadi di masa pemerintahannya tak lebih dari pertempuran-pertempuran kecil. Setelah meninggal, dia digantikan oleh keponakannya, Musthafa II, putra Muhammad IV.



Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/30/lnkaof-sejarah-para-khalifah-sultan-ahmad-ii-kenangan-pahit-di-slankamen
sumber image:http://history.wisc.edu/sommerville/351/351images/AhmedII.jpg

Sejarah Para Khalifah: Sulaiman II, Berbuat Baik pada Non-Muslim

Sejarah Para Khalifah: Sulaiman II, Berbuat Baik pada Non-Muslim
Wednesday, 29 June 2011 07:56 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Sulaiman II (1642-1691) adalah Sultan Turki Utsmani dari 1687 hingga 1691. Adik Muhammad IV ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di kafes (sangkar), sejenis tahanan mewah buat pangeran di Istana Topkapi—yang dirancang untuk memastikan takkan ada pemberontakan.

Saat mendekati kenaikan tahta usai terdepaknya sang kakak pada 1687, Sulaiman II mengira para delegasi datang untuk membunuhnya. Dan satu-satunya cara memengaruhinya agar ia bisa keluar dari istananya adalah dengan menganugerahi pedang khalifah secara seremonial.

Sulit mengendalikan diri, Sulaiman II membuat pilihan cerdas dengan mengangkat Ahmad Faizil Koprulu sebagai Raja Muda. Di bawah kepemimpinan Koprulu, Turki menghambat gerak laju Austria ke Serbia dan membasmi pemberontakan di Bulgaria. Selama gerakan pengambil-alihan Hongaria Timur, Koprulu dikalahkan dan gugur di tangan Ludwig Wilhelm dari Baden di Szlankamen pada 1690. Sulaiman sendiri mangkat setahun kemudian.

Sementara itu, pemerintahan Utsmani terus merosot ketika Sulaiman II berkuasa, dan musuh-musuhnya bertambah ganas. Austria sering merampas posisi-posisi penting di beberapa kota, di antaranya Belgrade pada 1099 H. Sebagaimana Venezia juga menduduki pantai-pantai Dalmasia dan pantai-pantai wilayah timur Laut Adriatik dan beberapa tempat di Yunani. Kekalahan terus-menerus menimpa pemerintahan Utsmani.

Pada masa kekuasaan Sulaiman II, orang-orang Kristen diberi kebebasan untuk membangun gereja di Istanbul maupun di tempat-tempat di mana gereja dirobohkan sebelumnya. Hal ini dijalankan oleh Perdana Menteri Musthafa bin Muhammad Kuberyalali. Ia mengikuti jejak ayahnya dalam menjalankan kekuasaannya. Dia juga akan memberikan sanksi yang sangat keras kepada siapa saja yang melakukan tindakan tidak senonoh terhadap orang-orang Kristen saat mereka melakukan acara-acara ritual keagamaan.

Ini merupakan kesaksian dari pemeluk Kristen atas nilai-nilai toleransi Islam yang telah memberikan rasa aman pada semua manusia dalam hal agama, kehormatan, harta dan darah mereka saat berada dalam lindungan Islam. Perdana Menteri Musthafa gugur di medan perang saat sedang membela agama Allah dalam peperangan melawan orang-orang Yahudi pada 1102 H.

Sultan Sulaiman II wafat pada 26 Ramadhan 1102 H/23 Juni 1691 M, tanpa meninggalkan seorang keturunan sama sekali. Saat meninggalnya, ia hampir berusia 50 tahun. Ia memerintah selama tiga tahun delapan bulan. Sulaiman II dikebumikan di tempat pemakaman kakaknya, Sultan Sulaiman I. Setelah meninggal, ia digantikan oleh saudaranya, Sultan Ahmad II.


Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/29/lnj1ah-sejarah-para-khalifah-sulaiman-ii-berbuat-baik-pada-nonmuslim

sumber image:http://history.wisc.edu/sommerville/351/351images/SulaimanII.jpg

Selasa, 28 Juni 2011

Sejarah Para Khalifah: Sultan Muhammad IV, Berkuasa di Tengah Prahara

Sejarah Para Khalifah: Sultan Muhammad IV, Berkuasa di Tengah Prahara
Selasa, 28 Juni 2011 20:20 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Muhammad IV lahir pada 2 Januari 1642 dan mangkat pada 1693. Ia berkuasa sejak 1648 hingga 1687. Ia adalah putra Sultan Ibrahim I dan permaisurinya Turhan Hadice.

Muhammad IV menerima jabatan sebagai sultan saat umurnya baru lima tahun. Orang-orang Eropa melihat, kini tiba saatnya untuk memporak-porandakan Kerajaan Utsmani. Oleh sebab itu, Eropa membentuk satu aliansi yang terdiri dari Austria, Polska (Polandia), Venezia, pendeta-pendeta Malta, Paus dan Rusia, yang mereka sebut sebagai "Aliansi Kudus".

Serangan kaum Salibis pun mulai masuk pemerintahan Utsmani. Saat itu, Allah SWT berkenan menjadikan keluarga Perdana Menteri Kuberyalali sebagai golongan yang banyak membantu membendung serangan-serangan musuh dan berhasil menguatkan posisi pemerintahan Utsmani. Kuberyalali meninggal pada 1661 M, setelah berhasil mengembalikan wibawa Daulah Utsmaniyah.

Sistem yang dijalankan Kuberyalali dilanjutkan oleh anaknya, Ahmad Kuberyalali, yang menolak tegas perdamaian dengan Austria dan Venezia. Dia bergerak memimpin pasukan Utsmani untuk memerangi Austria. Pada 1074 H, dia berhasil menaklukkan sebuah benteng terbesar yang ada di Austria; benteng Nuhezel di sebelah timur Wina pada 25 Shafar 1074 H/28 September 1663 M.

Pada masa perdana menteri ini, Prancis berusaha mendekati wilayah Daulah Ustmaniyah dan memperbaharui hak-hak istimewanya, namun ia menolak tegas. Prancis pun mengancam di mana Louis XIV, Raja Prancis, mengirim duta besarnya yang dibarengi dengan sejumlah armada perang.

Namun apa yang dilakukan Raja Louis XIV sama sekali tidak mengendurkan semangat juangnya. Malah pendirian perdana menteri itu kian kokoh. "Sesungguhnya keistimewaan itu adalah pemberian dan bukan kesepakatan yang wajib dilaksanakan," ujarnya.

Akibat semangat baja ini, Prancis menarik semua tekanannya dan mempergunakan taktik dan strategi lunak, serta taat pada pemerintahan Utsmani. Sehingga pemerintah Ustmani memperbaharui perjanjian lama dan mengembalikannya untuk memberikan perlindungan pada Baitul Maqdis pada 1084 H.

Dengan wafatnya Perdana Menteri Ahmad Kuberyalali, melemahlah tatanan pemerintahan Utsmani. Austria segera menyerang Hungaria dan mengambil alih benteng Nuhezel dan kota Pets, juga kota Budha. Prancis melakukan penyerangan ke wilayah Baghdad. Pada yang sama, kapal-kapal Venezia menyerang pantai-pantai Morah dan Yunani serta menduduki Athena dan Kuranata pada 1097 H dan beberapa kota lain.

Sejarah menyebutkan, para ulama dan pemuka-pemuka pemerintahan sepakat menurunkan Sultan Muhammad IV dari singgasananya. Ia pun diturunkan pada 1099 H dan digantikan oleh saudaranya, Sulaiman II.





Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/28/lni52u-sejarah-para-khalifah-sultan-muhammad-iv-berkuasa-di-tengah-prahara

sumber image:http://history.wisc.edu/sommerville/351/351images/MehmedIV.jpg

Senin, 27 Juni 2011

Sejarah Para Khalifah: Ibrahim I, Sultan yang Mencintai Rakyat

Sejarah Para Khalifah: Ibrahim I, Sultan yang Mencintai Rakyat
Senin, 27 Juni 2011 06:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Ibrahim I adalah Sultan Turki Utsmani dari 1640 hingga 1648. Dia menjadi sultan setelah saudaranya, Murad IV, tidak meninggalkan seorang pun anak laki-laki sebagai penerus tahta. Saat Sultan Murad IV meninggal, tidak seorang pun keturunan Ali Utsmani yang masih hidup, kecuali Ibrahim yang dipenjara selama pemerintahannya.

Tatkala saudaranya meninggal, para pembesar kerajaan segera mendatanginya ke penjara untuk memberitahukan kematian saudaranya, Sultan Murad IV. Tatkala mereka menemuinya, ia menyangka bahwa mereka datang untuk membunuhnya. Dia ketakutan dan tidak percaya dengan berita yang mereka bawa. Oleh sebab itu, ia tidak membukakan pintu penjara. Akhirnya para pembesar membongkar paksa pintu penjara dan menyatakan ucapan selamat kepadanya.

Ibrahim I masih mengira bahwa mereka sedang berusaha memperdayainya untuk mengorek isi hatinya. Maka dia pun menolak tawaran untuk berkuasa dan mengatakan lebih senang hidup sendirian di balik jeruji daripada menerima kerajaan dunia. Tatkala mereka tidak berdaya meyakinkannya, ibunya mendatanginya dengan membawa jenazah saudaranya.

Saat itulah dia duduk di tahta kesultanan dan memerintahkan agar jenazah saudaranya dikuburkan dengan prosesi yang megah. Di depan jenazah Sultan Murad IV, ada tiga kuda yang paling baik yang pernah ditungganginya saat berperang di Baghdad. Setelah itu, Ibrahim berangkat ke Masjid Jami' Abu Ayyub Al-Anshari dan di sanalah ia disandangi pedang, dan yang hadir membaiatnya sebagai khalifah.

Ketika naik ke singgasana dia berujar, "Ya Allah, perbaiki keadaan rakyat hamba selama pemerintahan hamba. Dan jadikanlah kami saling mencintai satu sama lain."

Kondisi dalam negeri relatif stabil setelah Sultan Murad IV, saudaranya, melakukan sejumlah perbaikan ke dalam, terutama terhadap militer. Maka Sultan Ibrahim memfokuskan diri pada perbaikan ekonomi dan menegakkan undang-undang perpajakan dengan asas-asas yang baru.

Pada masa pemerintahannya, Perdana Menteri Musthafa Pasya berhasil menghentikan campur tangan perempuan dalam masalah-masalah kesultanan dan berhasil menumpas para pembesar kerajaan yang melakukan perusakan.

Ada yang mengatakan, Khalifah Ibrahim I menderita penyakit mental, bahkan gila. Mungkin karena menderita kelabilan mental (neurasthenia), dan juga tertekan setelah kematian saudaranya.




Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/26/lnelgl-sejarah-para-khalifah-ibrahim-i-sultan-yang-mencintai-rakyat

sumber image:http://history.wisc.edu/sommerville/351/351images/IbrahimI.jpg

Sejarah Para Khalifah: Murad IV, Pendiri Kedua Daulah Utsmaniyah

Sejarah Para Khalifah: Murad IV, Pendiri Kedua Daulah Utsmaniyah
Minggu, 26 Juni 2011 16:52 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Murad Ahmad atau Murad IV adalah Sultan Turki Utsmani yang memerintah dari 10 September 1623 hingga 9 Februari 1640. Ia terkenl karena perbaikan otoritas negara dan kebrutalan metodenya. Ia anak Sultan Ahmad I dan Kosem yang berdarah Yunani.

Naik tahta melalui sebuah konspirasi, ia menggantikan pamannya, Mustafa I, pada usia 11 tahun. Di masa yang lama, ia berada dalam kendali kerabat-kerabatnya. Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya sebaga sultan, ibundanya (Valide Sultane) Kosem, memegang kekuasaan. Negaranya jatuh dalam anarki; serangan Safawid terhadap khilafah yang begitu cepat, pegolakan di Turki Utara dan serbuan Yeniceri ke istana pada 1631 yang membunuh wazir agung.

Murad IV yang takut akan nasib kakaknya, Utsman II, memutuskan untuk menuntut kekuasaannya. Ia mengeluarkan perintah untuk membunuh saudaranya, Beyazid, pada 1635, diikuti oleh eksekusi terhadap dua saudaranya setahun kemudian.

Ia mencoba memberantas korupsi yang telah berkembang semasa pemerintahan sultan terdahulu. Terhadap hal ini ia mengubah sejumlah kebijakan, seperti membatasi pengeluaran tak berguna. Ia juga melarang alkohol, kopi dan tembakau. Ia memerintahkan hukuman mati bagi mereka yang melanggar aturan ini.

Ia akan meronda di jalanan dan kedai seluruh Istanbul dengan berpakaian seperti rakyat biasa di malam hari, menyaksikan penegakan hukuman ini. Jika saat meronda ia menyaksikan prajurit merokok atau mabuk-mabukan, ia akan membunuhnya di tempat. Konon ia sendiri seorang peminum alkohol, walaupun melarangnya.

Secara militer, pemerintahan Murad IV terkenal akan perang terhadap Persia di mana pasukan Turki menaklukan Azerbaijan dan Tabriz. Baghdad takluk pada 1638, setelah mengepungnya. Perjanjian perdamaian ditandatangani pada 1639 (Perjanjian Kasr-i-Shirin) sebelum kematiannya.

Murad IV memerintahkan serbuan terhadap Mesopotamia dan terbukti menjadi panglima perang yang sangat handal. Selama gerakannya ke wilayah itu, ia meredam semua pemberontakan di Anatolia. Akibatnya, banyak nama tempat sekitar yang dinamai menurut namanya.

Sultan Murad IV menderita sakit parah pada 1640. Sakitnya ini sangat mengkhawatirkan dan dikhawatirkan akan membawa kematian. Namun ia berhasil sembuh dari penyakitnya. Setelah itu, ia sakit kembali dan meninggal pada Februari 1640 karena penyakit tulang. Sultan Murad IV memerintah selama 16 tahun 11 bulan.

Saat dia memerintah, kas negara dalam keadaan penuh. Sultan Murad IV dikenal sebagai sosok yang cerdas, pemberani dan memiliki pandangan yang tajam. Dia mampu menumpas kerusakan hingga ke akar-akarnya dan membasmi para pelakunya. Dia diberi gelar sebagai Pendiri Kedua Pemerintahan Utsmani, karena telah berhasil membangkitkannya setelah kejatuhannya. Ia juga berhasil memperbaiki kondisi keuangan.

Sebelum mangkat, ia memerintahkan hukuman mati terhadap adiknya, Ibrahim, yang berarti akan memangkas garis keturunan Turki Utsmani, namun perintah itu tidak dilaksanakan. Ibrahim sendiri adalah satu-satunya lelaki di keluarga kesultanan bila Murad IV meninggal.


Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/26/lne638-sejarah-para-khalifah-murad-iv-pendiri-kedua-daulah-utsmaniyah

sumber image:http://history.wisc.edu/sommerville/351/351images/MuradIV.jpg

Minggu, 26 Juni 2011

SYAHIDNYA ALI RA

Ali r.a. keluar membangunkan kaum Muslim untuk melaksanakan shalat Shubuh lalu masuk masjid. Tiba-tiba ia menemukan Abdullah bin Maljam sedang telungkup dengan menyembunyikan pedang di bawah perutnya. Lalu Ali r.a. menendang kakinya dan berkata, “Jangan tidur telungkup karena itu adalah cara tidur penghuni neraka.” Mulailah Ali r.a. melaksanakan shalat, tiba-tiba musuh Allah Swt itu melompat dan mengayunkan pedangnya ke pelipis Ali hingga terbelah. Ali berkata, “Allahu Akbar, hanya bagi Allah Swt-lah segala sesuatu,” lalu ia tersungkur ke tanah, darah mengalir deras ke janggutnya. Dia dibawa ke rumahnya dan seluruh kaum Muslim menangis; laki-laki, perempuan, pemuda, dan orang tua. Mereka menangisi pahlawan perang itu.
Bangkit seorang nenek sambil menangis sebagai pertanda kepedihan dan kesedihannya seraya melantunkan satu bait syair:
“Ketika Kharijah menggantikan kematian Amru, andai saja kematian Ali dapat diganti oleh siapa saja.”
Ia bermaksud, andai saja kematian Ali, seperti pada hari ia meninggalkan Amru bin Ash, sehingga Kharijah (pemimpin pengawal) yang terbunuh. Sedangkan Amru selamat, padahal dia adalah tujuan pembunuhan itu. Andai saja kondisi Ali seperti Amru bn. Ash dan kematian menimpa orang lain.

ALI RA DAN PERANG TABUK


Rasulullah Saw keluar ke Tabuk dan meninggalkan Ali r.a. di Madinah. Beliau meninggalkannya karena ia berani dan pahlawan perang. Kehormatan itu takkan terjaga kecuali dengan orang seperti Ali. Beliau membiarkannya di Madinah untuk menjaga semua yang beliau tinggalkan. Maka datanglah kaum munafik kepada Ali r.a., seraya berkata, “Hai Ali, sesungguhnya Rasulullah Saw menganggapmu sebagai beban. Kau merupakan bebannya. Sehingga dia meninggalkanmu di Madinah dan dia pergi ke Tabuk,” Subhanallah! Muhammad Saw menganggap Ali sebagai beban! Maka Ali r.a. bersegera menyusul Rasulullah Saw. ketika beliau masih berada di jalan menuju Tabuk. Ali menceritakan pada Rasulullah Saw tentang ucapan orang munafik padanya, maka Rasulullah Saw tertawa dan bersabda, “Hai Ali, tidakkah kau rela bersamaku seperti halnya Harun dan Musa, hanya saja tak ada Nabi setelahku.” Diriwayatkan oleh Muslim (4/2404) dan di dalamnya tidak terdapat kisah orang munafik. Alur ini dikisahkan oleh al-Haitsami di Majma’ az-Zawaid (9/114) dan berkata: “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan dua sanad di antara keduanya terdapat Maimun Abu Abdullah al-Bashriy, Ibnu Habban mempercayainya tapi Jamaah melemahkannya, sedangkan sisa perawi adalah shahih.” Dan sabdanya: “Tidakkah kau rela...dst.” Diriwayatkan oleh Bukhari (4/208).

Ini adalah kabar baik lain dan kedudukan besar yang diberikan kepada Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu ia dan Rasulullah Saw bagaikan Harun as dan Musa as.

ALI RA DAN PERANG KHAIBAR

Rasulullah Saw mengepung kaum Yahudi di Khaibar sebelum mereka menyerangnya dengan kekuatan. Yahudi adalah musuh Allah Swt, karena mereka telah mencaci Allah Swt, membunuh para Nabi, menyimpangkan firman Allah Swt, dan mengganti syariat-syariat Allah Swt. Tapi sekarang kita lihat mereka duduk di meja perundingan, berdiskusi tentang masa depan umat Islam!!
Nabi Saw mengepung mereka dan berusaha untuk memasuki kota Khaibar namun agak kesulitan. Beliau mengutus Abu Bakar r.a., tapi ia tidak mampu. Beliau mengutus Umar r.a., tapi beliau juga tidak sanggup . Orang-orang direlung keresahan yang berkepanjangan. Pada pertengahan suatu malam Rasulullah Saw bangkit bersabda,
“Akan aku berikan bendera ini besok kepada seseorang yang mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya, serta Allah Swt dan Rasul-Nya mencintainya, dengannya Allah Swt akan memberikan kemenangan.” Malam itu orang-orang saling bertanya-tanya, siapakah di antara mereka yang besok akan diberi bendera. Ketika pagi menyingsing, bersegera mereka ke Rasulullah Saw. Semuanya berharap dialah yang akan diberi bendera, lalu bersabda Rasulullah Saw, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?” mereka menjawab, “Dia sakit mata wahai Rasulullah Saw.” beliau bersabda, “Panggil dan bawa dia kemari.” Ketika Ali datang, beliau menyembur kedua matanya dan mendoakannya hingga sembuh, seakan-akan matanya tak pernah sakit. Lalu beliau memberikan bendera itu padanya. Ali ra berkata, “Wahai Rasulullah Saw, apakah aku menyerang mereka hingga mereka menjadi seperti kita?” beliau bersabda, “Tembuslah dengan perlahan, hingga jika kau telah sampai di tengah-tengah mereka, berdoalah untuk mereka dan katakan pada mereka apa-apa hak Allah Swt yang diwajibkan bagi mereka. Demi Allah, kalau Allah Swt memberikan petunjuk kepada satu orang saja lebih baik bagimu daripada seekor unta merah (unta termahal).”( Diriwayatkan oleh Bukhari (4/207).)
Ali r.a. maju membawa bendera, dia berdiri di pagar para 'saudara monyet dan babi' seraya menyeru mereka pada kebenaran dan keadilan. “Hai manusia, dengarlah, perhatikan, bangunlah,” tetapi karena mereka itu adalah 'monyet' yang tidak paham walaupun ia melihat isyarat dan ucapanmu, juga 'babi' yang tertutup mata hatinya hingga tidak mendengar dan memperhatikan sedikitpun.
  Ketika Ali r.a. melihat bahwa perundingan itu tidak bermanfaat dan tidak menghasilkan jalan keluar, dia mempunyai cara lain yaitu dengan memanggil salah satu pahlawan mereka untuk bertanding di hadapan khalayak ramai. Maka turunlah Marhab seorang Yahudi yang pemberani seraya berkata,
“Khaibar telah tahu bahwa aku ini Marhab.
Penghunus pedang dan pahlawan berpeng alaman.
Jika peperangan tiba ia berkobar-kobar.”
Ali bin Abi Thalib r.a. juga turun seraya mengulang-ulang kata,
“Akulah yang ibuku juluki yang gesit.
Bagai singa hutan yang buruk rupa.
Aku menimbang mereka dengan pedang bagai timbangan besar.”
Ash-Shiddiq r.a. mengalah kepada Ali bin Abi Thalib r.a. untuk melawan Marhab seorang Yahudi itu, dan Ali r.a. akhirnya membunuhnya. Diriwayatkan bahwa Ali r.a. membelah Yahudi itu menjadi dua. Dengan demikian Ali r.a. menaklukkan Khaibar sebagaimana yang Rasulullah Saw kabarkan, “Akan aku berikan bendera ini besok kepada seseorang yang mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya serta Allah Swt dan Rasul-Nya mencintainya, Allah Swt akan memberikan kemenangan melalui dirinya.”
Mengapa kita sekarang berbicara tentang Ali r.a.? Mengapa hari ini kita mengkhususkan Ali bin Abi Thalib?
Hari ini kita berbicara tentang Ali bin Abi Thalib r.a. karena dialah pahlawan perjuangan itu. Sedangkan kita perlu berjuang, namun tak mampu berjuang. Kita umat Islam yang membiarkan pucuk pimpinan diserahkan pada orang lain. Umat yang telah kehilangan kemuliaannya, karena tak lagi memiliki pahlawan perjuangan.
Umat yang keputusannya ada di tangan orang lain karena ia tak mampu melawan.
Ali bn. Abu Thalib adalah seorang pemberani. Ketika perang Khaibar, beliau berhadapan dengan Marhab, seorang Yahudi Khaibar. Yahudi ini terkenal sebagai seorang pemberani dan dia menggertak Ali bahwa dirinya adalah seorang pemberani yang sudah terkenal di Khaibar. Bagaimana dengan sikap Ali? Ternyata Ali tetap maju menghadapi Marhab, Yahudi Khaibar.
Bagaimana sikap kaum muslimin di dunia menghadapi Israel (alias Yahudi) yang saat ini masih menjajah Palestina? Apakah kaum muslimin tetap maju menghadapi Israel, walaupun Israel didukung oleh negara adi daya? Jawabnya, memang benar ada sebagian kaum muslimin berani berjuang menghadapi Israel Laknatullah, mereka tidak takut pada Israel dan negara-negara pendukungnya. Yang mereka takutkan hanyalah Allah. Namun, sayang sekali masih ada sebagian kaum muslimin yang enggan, tidak berani menghadapi Israel. Mereka telah terkena oleh penyakit Wahn, cinta dunia serta takut mati. Bagaimana agar penyakit Wahn ini dapat lenyap? Jawabnya hanya satu yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi yang dari yang lain, sebagaimana sahabat Ali bn. Abu Thalib.

ALI RA DAN PERANG JAMAL

Ali r.a. adalah pahlawan perang. Melaluinya Rasulullah Saw memberi pelajaran kepada musuh-musuh Allah Swt. Pada perang Badar, sebelum pertempuran dimulai, Rasulullah Saw memanggil para pahlawan Muslim untuk menantang pejuang kafir. Beliau menyeru, “Di manakah Ali bin Abi Thalib?” Ali menjawab, “Ini aku wahai Rasulullah Saw.” Keluarlah ia melawan Walid bin ‘Utbah. Ali berhasil menang dan membunuhnya.
Hal ini berulang kembali kepada Ali r.a. di perang Ahzab, pada saat itu Rasulullah Saw terkepung oleh kaum musyrik Arab, Yahudi, kaum-kaum pengkhianat, Nasrani, dan kaum munafik. Datanglah pahlawan kaum kafir bernama Amru bin Wud menantang kaum Muslim untuk bertanding, seraya berkata, “Hai kaum Muslim, siapa yang mau bertanding?” Mereka pun terdiam.
Amru bn. Wud kembali sesumbar, "Siapakah yang berani bertarung denganku disaksikan khalayak ramai?" Tak seorang pun yang maju. Akan tetapi Ali r.a. tidak terima dengan keadaan itu, dia berkata, “Saya Rasulullah Saw.” Dia terima tantangan itu, ruhnya (nyawa) selalu berada di telapak tangannya. Dia siap menyerahkan nyawanya demi menolong agama dan meninggikan kalimat tauhid.
Tuhanku, ruh kami di telapak tangan kami demi memohon balasan dan pahala-Mu.
Rasulullah Saw bersabda, “Dia itu Amru bin Wud!!” Ali r.a. menjawab, “Walaupun dia Amru bin Wud.” Maka Ali turun dan menghadapi musuh Islam itu. Pedang saling berkelebat, debu beterbangan, dan Rasulullah Saw senantiasa berdoa kepada Allah Swt demi kemenangan Ali. Setelah debu itu sedikit demi sedikit tersingkap, tiba-tiba Ali berdiri di atas dada Amru dan memotong lehernya. Pedangnya meneteskan darah. Maka Rasulullah Saw bertakbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Kaum muslimin pun bertakbir menyambutnya, dialah pahlawan perang itu.
 

Jumat, 24 Juni 2011

Sains Islam: Perkembangan Farmakologi di Era Khilafah

Sains Islam: Perkembangan Farmakologi di Era Khilafah
Thursday, 23 June 2011 20:43 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, ''Setiap penyakit pasti ada obatnya.'' Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan menciptakan beragam obat-obatan. Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmakologi dan farmasi.

Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmakologi dan farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah.

Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah De Materia Medica karya Dioscorides. Selain itu para sarjana dan ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur Jauh.

Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmakologi. ''Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,'' papar Turner.

Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmakologi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sirup dan julep.

Pada awalnya, farmasi dan farmakologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Dalam praktiknya, farmakologi dan farmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam.

Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para sarjana dan ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam.

Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad - kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah - namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.

Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.

Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib - semacam badan pengawas obat-obatan - mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.

Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia.

Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam.

Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa yang menguasai farmasi dari aneka risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana dan ilmuwan Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat.

Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. "Hal itu tecermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalan pendidikan kesehatan saat ini," papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti di era keemasan?


Redaktur: cr01
Sumber: Forum Kafilah Cinta
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/23/ln8wsi-perkembangan-farmakologi-di-era-khilafah

Kamis, 23 Juni 2011

UMAR RA TURUN KE LAPANGAN


UMAR RA TURUN KE LAPANGAN

Suatu ketika Umar berjalan di keremangan malam. Ia mendapati seorang wanita tua sedang menghibur anak-anaknya yang menangis di dalam sebuah gubuk. Tampak di dekatnya sebuah panci terisi air yang dimasak di atas tungku. Umar berjingkat mendekati pintu gubuk dan menyapa ibu tua itu.
"Apa yang membuat anak-anakamu menangis, wahai hamba Allah?" Tanya Umar menyelidik.
"Mereka menangis karena lapar," jawab wanita tua itu. "Lantas, apa yang engkau masak di atas tungku ini?" Lanjut Umar.
Dengan sedih wanita itu berkata, "Aku memasak air untuk menghibur mereka bahwa ada sesuatu yang aku masak hingga mereka tertidur."
Melihat kenyataan dan mendengar penjelasan wanita tua itu, Umar menangis sedih. Ia kemudian pergi ke Dâr as-Shadaqah (lembaga Baitul Mâl), mengambil bahan-bahan makanan seperti gandum, minyak, mentega, kurma, pakaian, dan uang yang dimasukkan ke dalam sebuah karung.
Selanjutnya, Umar menyuruh petugas Dâr as-Shadaqah, Aslam untuk menaikkan karung berisi makanan dan pakaian itu ke punggungnya. Aslam menawarkan agar dirinya yang membawa barang-barang itu, namun ditolak oleh Umar.
Ia berkata, "Tidak, wahai Aslam. Akulah yang harus membawanya sendiri, karena aku sendiri yang akan dimintai pertanggungjawaban nanti di akhirat."
Umar membawa sendiri bahan-bahan makanan, pakaian dan uang itu ke gubuk wanita tua tadi. Ia isi panci kosong dengan gandum dicampur dengan sedikit minyak dan kurma. Ia mengaduk sendiri adonan makanan itu dengan tangannya, dan meniup perapian di tungku.
Aslam menuturkan, "Dapat aku lihat asap yang mengepul dari sela-sela jenggot Umar. Hingga kemudian makanan itu matang, dan Umar sendiri pula yang menghidangkannya hingga mereka semua kenyang."
Wahai para penguasa di seantaro jagat raya ini. Belumkah saatnya kalian untuk sadar. Bangkit, berkeliling, memperhatikan keadaan rakyat kalian. Masihkah kepentingan pribadi dan keluarga kalian di atas kepentingan rakyat? Tidakkah hati dan nurani kalian terketuk melihat mereka yang tidak memiliki rumah, jika hujan, kehujanan, jika malam, kedinginan? Mungkin kalian pernah merasa lapar, namun pernahkah kalian merasa kelaparan? Tidak takutkah kalian pada pertanggung jawaban di hadapan Allah, Penguasa di hari kiamat? (arnab) (dikutip dari buku Al-Misk wal ’anbar fii khitabil Minbar, karya ’Aidh Al-Qarni)


UMAR RA DAN UNTA SHADAQAH


UMAR RA DAN UNTA SHADAQAH

    Ibnu Qudhamah menceritakan pembantu Utsman bin Affan ra., dia berkata, "Pada suatu ketika saya bersama Utsman bin Affan berada di daerah 'Aliyah –suatu daerah di kota Madinah-. Saat itu, sedang musim panas. Panas sedang terik-teriknya. Tiba-tiba Utsman ra. melihat seorang pria sedang menggiring 2 ekor unta. Jika ingin dibuat perumpamaan tanah yang dipijak pada saat itu bagaikan kasur yang amat panas. Kemudian Utsman berkata, "Alangkah baiknya, jika pria itu berdiam di rumah, di kota Madinah. Sehingga dia akan merasakan kesejukan dan kenyamanan. Kemudian pembantu Utsman itu mendekati pria tersebut. Utsman bertanya, "Siapa pria itu?"
    Saya menjawab, "Dia adalah seorang pria yang mukanya tertutup sedang menggiring 2 ekor unta."
    Kemudian pembantu itu mendekati pria tersebut dan berkata, "Lihat!. Dia Umar bin Al-Khaththab ra. saya berkata, "Wahai Amirul Mukminin!"
    Utsman bangkit dan mengeluarkan kepalanya dari balik pintu. Beliau bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau harus keluar di saat panas terik seperti ini?"
    Umar berkata, "Dua ekor unta ini terlepas. Unta-unta ini termasuk unta shadaqah. Saya ingin mengembalikan keduanya ke dalam kandang.
    Umar melanjutkan, "Saya takut kelak Allah akan menanyakan kedua ekor unta ini."
    Utsman berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Apakah tidak lebih baik engkau membasuh badanmu dengan air dan berteduh di sini."
    Umar ra. menjawab, "Siapkanlah naungan untukmu (di hari kiamat, pentj)."
    Utsman berkata kembali, "Kami akan membantumu. Kami mempunyai orang yang dapat membantumu (menggantikan posisi Umar ra dalam mengurus kedua ekor unta itu, pentj).
    Umar kembali menjawab, "Siapkanlah naungan untukmu (di hari kiamat, pentj)."
    Umar terus berlalu. Utsman ra berkata, "Barangsiapa ingin melihat orang yang kuat dan dapat dipercaya, maka lihatlah pada Umar." (*Lihat tarikh Ad-Dimasyq karya Ibnu 'Asakir, lihat pula Al-Umm karya Imam Asy-Syafi'I, lihat juga buku Ar-Riqqah wa Al-Buka karya Ibnu Qudamah).
    Komentar penulis, "Itulah Umar bin Al-Khaththab, dia adalah seorang Amirul Mukminin. Seorang diri menggiring dua ekor unta pada saat musim panas. Beliau bermaksud mengembalikan kedua ekor unta itu ke dalam kandangnya. Beliau melakukan hal itu, karena takut Allah akan menanyakannya kelak. Dia merupakan seorang pemimpin yang kuat dan dapat dipercaya.
    Kisah kehidupan Amirul Mukminin Umar bin Al-khaththab seperti ini amatlah banyak. (arnab) (dikutip dari terjemahan buku 150 Kisah Orang-Orang Shalih Dan Zuhud Jilid 3 Oleh; Mansur Abdul Hakim)


KENYANGKAN PERUT RAKYAT


KENYANGKAN PERUT RAKYAT

    Suatu ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan di masa pemerintahan Umar bin Al-Khaththab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Dengan senang hati, gubernur menerimanya seraya bertanya, “Apa nama makanan ini?”
    “Namanya habish, terbuat dari minyak samin dan kurma,“ jawab salah seorang dari mereka.
    Sang gubernur segera mencicipi makanan itu. Sejenak kemudian bibirnya menyunggingkan senyum. “Subhanallah! Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan ini kita kirim ke Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab di Madinah, ia akan senang,” ujar Utbah. Kemudian, ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat makanan tersebut dengan kadar yang diupayakan lebih enak.
    Setelah makanan tersedia, sang gubernur memerintahkan anak buahnya untuk berangkat ke Madinah dan membawa habish untuk khalifah Umar bin Al-Khaththab ra.. Dua utusan segera berangkat ke Madinah. Mereka menyerahkan makanan khas Azerbaijan itu pada Umar bin Al-Khaththab. Sang khalifah segera membuka dan mencicipinya.
    “Makanan apa ini?” tanya Umar
    “Makanan ini namanya habish. Makanan paling lezat di Azerbaijan,” jawab salah seorang utusan.
    “Apakah seluruh rakyat Azerbaijan dapat menikmati makanan ini,” tanya Umar lagi.
    “Tidak. Tidak semua bisa menikmatinya,” jawab utusan itu gugup
    Wajah sang khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memerintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negrinya. Kepada gubernurnya ia menulis surat, “........Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu.”
    Kisah yang diabadikan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Manaqib Amirul Mukminin ini, memberikan pelajaran yang teramat berharga bagi umat Islam, khususnya para pemimpin.
    Umar bin Al-Khaththab telah memberikan pelajaran teramat berarti. Pemimpin harus memikirkan rakyat sebelum dirinya sendiri. Dalam kesempatan lain, Umar pernah menyatakan, “Saya orang pertama yang merasakan lapar kalau rakyat kelaparan dan orang terakhir yang merasakan kenyang kalau mereka kenyang.” (arnab) (dikutip dari buku BELAJAR DARI DUA UMAR, Kenyangkan Perut Rakyat oleh; Hepi Andi Bastoni)


KEADILAN KHALIFAH UMAR RA.


KEADILAN KHALIFAH UMAR RA.

'Amr bin 'آsh diberi kepercayaan untuk menjadi Gubernur Mesir pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Suatu ketika seorang penduduk Mesir datang mengutarakan permasalahannya kepada Umar. Ia mengadu, "Wahai Amirul Mukminin! Saya berlindung padamu dari kezhaliman!"
"Ya, Engkau telah berlindung pada tempat berlindung yang tepat. Utarakan pengaduanmu!" jawab Umar.
"Aku bersaing dengan anak 'Amr bin 'آsh, Gubernur Mesir, dan aku menang. Lalu ia memukulku dengan cambuk dan berkata, "Berani-beraninya kamu mengalahkanku. Aku ini anak pejabat!"
Mengapa seorang anak pejabat memukul saingannya, apakah karena dia kalah? Inikah cara Islam? Inikah suara keadilan yang turun dari atas singgasana tujuh langit? Inikah nilai "Iyyâka na'budu wa-iyyâka nasta'în, (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan)," (QS. Al-Fâtihah [1]: 5).
Menerima pengaduan itu Umar bin Khattab memanggil 'Amr bin 'آsh dan agar membawa serta anaknya. Setelah mereka datang, Umar memanggil orang Mesir tersebut dan menyuruhnya untuk memukul anak 'Amr dengan cambuk, sebagaimana telah dilakukan kepadanya. Orang Mesir itupun memukuli anak 'Amr dengan cambuk, anak seorang pejabat tinggi Mesir, sebagai balasan atas apa yang dilakukan kepadanya.
Menurut Anas, orang Mesir itu benar-benar memukuli anak 'Amr, dan hanya berhenti setelah kami menahannya. Lalu Umar berkata kepada 'Amr, "Sejak kapan engkau merendahkan, memperbudak dan menjajah manusia. Bukankah mereka dilahirkan sama dalam keadaan bebas dan merdeka!?"
'Amr menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak mengetahuinya, dan dia tidak mengadukannya kepadaku."
Itulah keadilan Umar bin Khattab, dengan ucapannya yang terus mengiang di telinga kita, "Sejak kapan ada perbudakkan manusia. Bukankah mereka dilahirkan sama dalam keadaan bebas dan merdeka!?" Islam tidak mengenal diskriminasi, represi, teror, pemaksaan, penindasan, dan sejenisnya.
Begitulah Umar, dia tidak pandang bulu terhadap siapapun. Dalam benaknya keadilan harus ditegakkan pada siapapun. Baginya, mereka yang bersalah, harus dihukum, meskipun seorang gubernur. Inilah sosok yang mengikuti junjungannya, Muhammad Rasulullah. Bukankah Rasulullah juga bersikap demikian. Beliau Saw akan menjatuhkan sanksi hukuman bagi Fatimah, putrinya, jika memang terbukti bersalah. Jika kita memang benar-benar umat Muhammad Saw, maka sudah selayaknya kita juga bersikap sama seperti yang telah dilakukan oleh Umar r.a. (arnab) (dikutip dari buku Al-Misk wal ’anbar fii khitabil Minbar, karya ’Aidh Al-Qarni)


GUBERNUR PILIHAN KHALIFAH UMAR RA.


GUBERNUR PILIHAN KHALIFAH UMAR RA.
    Dari Khalid bin Ma'dan, dia berkata, "Umar bin Al-Khaththab ra mengangkat seorang gubernur untuk kami, yaitu menjadi gubernur di kota Himsha. Gubernur itu bernama Sa'id bin 'Amir bin Hadzim Al-Jamhi. Ketika Umar bin Khaththab datang ke kota Himsha, dia bertanya, "Wahai penduduk Himsha! Bagaimana penilaian kalian terhadap gubernur Himsha ini?"    Mereka mengadukan beberapa hal kepada Umar bin Khaththab. Mereka berkata, "Kami mengadukan empat perkara. Pertama, dia tidak menemui kami hingga tengah hari."    Umar berkata, "Aneh." Dan beliau bertanya lagi, "Apa lagi?"    Mereka menceritakan lagi, "Dia tidak mau bertemu dengan seorangpun di malam hari."    Umar berkata, "Aneh." Dan beliau bertanya lagi, "Apa lagi?"    Mereka melanjutkan pengaduannya, "Di dalam sebulan, ada 1 hari dia tidak keluar menemui kami."    Umar berkata, "Aneh." Dan beliau bertanya lagi, "Apa lagi?"    Mereka melanjutkan pengaduannya, "Beberapa hari dia terserang epilepsi."    Khalid bin Ma'dan berkata, "Umar ra. mempertemukan mereka dengan Sa'id bin Amir. Umar ra. berkata, "Ya Allah! Janganlah engkau menerima alasanku hari ini. Apa yang kalian tadi adukan tentang gubernur kalian?"    Mereka menjawab, "Beliau tidak menemui kami hingga tengah hari."    Sa'id menjawab, "Demi Allah! Sebenarnya saya tidak senang mengatakan hal ini. Keluarga saya tidak mempunyai seorang pembantu. Saya mengadon sendiri adonan. Menunggu hingga matang. Sehingga saya membuat roti dengan tangan saya sendiri. Setelah itu saya berwudhu' dan keluar menemui mereka." (*Dia melakukan hal itu. Padahal dia adalah seorang gubernur wilayah. Yaitu gubernur wilayah Himsha)    Umar bertanya kembali, "Apa lagi yang akan kalian adukan tentang gubernur kalian?"    Mereka menjawab, "Beliau tidak mau bertemu dengan siapapun juga di malam hari    Sa'id menjawab, "Sebenarnya saya tidak senang mengatakan hal ini. Saya jadikan siang hari untuk mereka. Malam hari saya khususkan untuk Allah swt."Umar bertanya kembali, "Apa lagi yang akan kalian adukan tentang gubernur kalian?"Mereka menjelaskan, "Dalam sebulan, ada satu hari dia tidak keluar menemui kami."Sa'id menjawab, "Saya tidak mempunyai seorang pembantu yang dapat mencuci baju saya. Saya tidak mempunyai baju pengganti. Saya menunggu hingga pakaian menjadi kering. Kemudian saya setrika. Sehingga saya baru dapat keluar di penghujung siang."Umar bertanya kembali, "Apa lagi yang akan kalian adukan tentang gubernur kalian?"Mereka menjawab, "Beberapa hari dia terserang epilepsi."Sa'id menjelaskan, "Saya menyaksikan kematian Khubaib Al-Anshari di Mekkah. Kemudian orang-orang Quraisy memotong dagingnya dan membawanya untuk dipanggang di atas kayu bakar. Orang-orang Quraisy berkata, "Apa engkau senang bila Muhammad berada di posisimu?"Sa'id meneruskan penjelasannya, "Demi Allah! Saya tidak suka berada di tengah-tengah keluargaku, sedangkan Muhammad tertusuk duri. Kemudian ada orang yang berteriak, "Wahai Muhammad! Saya tidak ingat saat itu, di saat saya tidak menolongnya, kecuali saya berkeyakinan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa saya selamanya. Ketika mengingat itulah saya terserang epilepsi."Umar berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan saya firasat yang benar. Kemudian beliau ra mengirimkan uang sebesar 1000 dinar untuk Sa'id bin Amir dan berpesan, "Gunakanlah uang itu untuk urusanmu."Setelah menerima uang itu, istri Sa'id berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah membuat kita kaya, lantaran pengabdianmu."Sa'id berkata pada istrinya, "Apakah engkau mau aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih berharga dari ini? Kita berikan kepada orang yang lebih membutuhkan daripada kita.Kemudian beliau memanggil seorang pria kepercayaannya dan masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan beliau. Beliau berkata padanya, "Pergilah ke rumah janda keluarga fulan, pergi ke rumah anak yatim keluarga fulan, ke rumah orang miskin keluarga fulan dan ke rumah orang yang terkena musibah dari keluarga fulan. Sedangkan sisanya berikan kepada Dzahibah.Sa'id berkata istrinya, "Belanjakanlah ini. Kemudian dia kembali bekerja."Istri Sa'id berkata padanya, "Apakah tidak lebih baik, kita membeli seorang pembantu? Kalau tidak, apa gunanya uang ini?"Sa'id menjawab, "Nanti akan datang kepadamu seseorang yang membutuhkannya."
Komentar penulis, "Demikianlah contoh seorang sahabat Rasulullah, Sa'id bin 'Amir. Dia memberikan contoh, teladan untuk penguasa muslim yang adil. Tidak perlu heran. Karena khalifah Umar bin Al-Khaththab menjadi teladannya. Umar memberi contoh bagaimana seorang penguasa mendengarkan keluhan warga negaranya. Beliau ra mendengarkan keluhan penduduk Himsha. Dia mengadili penguasa kota Himsha. Inilah Islam. (arnab) (dikutip dari terjemahan buku 150 Kisah Orang-orang Shalih dan Zuhud Jilid 3 oleh Mansur Abdul Hakim)

KHALIFAH UMAR DAN SEORANG PENGEMBARA


Khalifah Umar Dan Seorang Pengembara

    Amirul Mukminin Umar bn. Al-Khaththab ra keluar pada suatu malam, untuk menginspeksi keadaan rakyatnya di kota Madinah dan sekitarnya. Sampailah beliau di suatu tempat. Di sana, beliau menemukan sebuah tenda. Nampak oleh beliau ada seorang pria yang duduk termenung. Beliau mendengar suara rintihan seorang wanita yang berasal dari dalam tenda. Tidak jelas apa penyebab rintihan itu.
    Umar mendekati pria itu dan mengucapkan salam padanya. Pria itu menjawab salam tersebut. Dia tidak mengenal Umar bn. Al-Khaththab.
    Umar bertanya, "Siapa anda dan dari mana anda berasal?"
    Pria itu menjawab dengan nada yang sangat sedih, "Saya adalah seorang pria penduduk Arab Badui (pedalaman). Saya datang ke kota Madinah ini, untuk mengambil pemberian Amirul Mukminin Umar bn. Al-Khaththab. Saya mengambil pemberian itu, karena keutamaan beliau yang sudah terkenal. Karena saya mendengar bahwa beliau senantiasa memberi ke seluruh manusia."
    Umar masih mendengar suara rintihan wanita itu, beliau bertanya, "Suara apa itu? Suara yang sangat menyayat hati. Dan saya pernah mendengar suara seperti ini di rumah. Mohon beritahu saya, wahai fulan –semoga Allah memberimu rahmat-.
    Pria itu menjawab, "Wahai saudaraku! Pergilah! Urus masalahmu sendiri –semoga Allah memberimu rahmat-. Tinggalkanlah saya!
    Umar kembali berkata, "Ini merupakan urusan saya. Tidakkah Allah memberimu petunjuk?"
    Akhirnya, pria itu menjelaskan dengan sedih hati, "Wanita itu adalah istri saya. Waktunya untuk melahirkan, nampaknya datang malam ini."
    Umar kembali bertanya, "Apakah ada seorang wanita yang dapat membantunya?"
    "Tak ada seorangpun wanita yang dapat membantunya. Kami sampai di sini pada malam hari. Di tempat ini, hanya kami berdua saja," ujar pria itu.
    Mendengar jawaban itu, Umar segera bergegas lari menuju rumahnya. Beliau membangunkan istrinya Ummu Kultsum bt. Ali, beliau berkata padanya, "Wahai istriku! Apakah engkau mau memperoleh pahala yang Allah akan berikan padamu?
    "Perbuatan apa itu, wahai Amirul Mukminin?", tanyanya
    "Ada seorang wanita dari badui yang sudah waktunya untuk melahirkan. Dia adalah orang asing disini, tak seorang pun sanak saudaranya yang ada di sini", jelas Umar ra.
    Ummu Kultsum menjawabnya dengan tegas, "Baik. Saya akan menolongnya, jika anda menghendaki dan mengizinkan saya untuk keluar."
    "Saya senang sekali, jika engkau dapat menolongnya. Cepatlah! Persiapkan segala sesuatu yang dapat berguna untuk menolongnya dan mempermudah persalinannya. Jangan lupa bawa beberapa potongan kain dan minyak serta kebutuhan lain yang diperlukan," jelas Umar
    Istri beliau mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk persalinan. Umar ra berkata, "Wahai istriku! Siapkan untuk saya, panci, minyak goreng dan biji-bijian."
    Ummu Kultsum segera memberikan semua yang diminta oleh suaminya. Amirul Mukminin membawa panci, minyak samin dan biji-bijian. Seolah-olah beliau seorang kuli pasar yang membawa berbagai macam bawaan. Sedangkan Ummu Kultsum berjalan di belakang suaminya, sambil membawa berbagai macam kebutuhan. Hingga akhirnya mereka berdua sampai di tenda yang dituju. Umar berkata pada istrinya, "Masuklah dan bantu persalinan wanita itu!"
    Umar mendekati suami wanita itu. Beliau mempersiapkan panci untuk membuat makanan dan berkata padanya, "Tolong kamu nyalakan api!"
    Pria itu mempersiapkan api dan selanjutnya Umar mulai membuat makanan. Beliau menunggunya hingga masak. Menjelang pagi, lahirlah anak itu, Ummu Kultsum pun berteriak kegirangan, "Wahai Amirul Mukminin, anaknya telah lahir!"
    Betapa terkejutnya pria itu, tatkala mendengar kata 'Amirul Mukminin'. Rasa takut dan khawatir mulai menyelimutinya. Apakah masuk akal, seorang Amirul Mukminin berada di hadapannya sedang memasak makanan. Beliau juga membawa panci, minyak samin dan biji-bijian untuknya!!
    Pria itu menghampiri Umar sambil memohon ampun, "Janganlah anda menghukum saya, wahai Amirul Mukminin!"
    Namun, Umar tidak marah. Dia berusaha untuk menenangkan pria itu dan berkata padanya, "Duduklah! Janganlah anda merasa sungkan dan berat hati, karena perkara ini."
    Pria itu kembali menjadi tenang dan berterima kasih atas perlakuannya ini.
    Umar meletakkan makanan yang dibuatnya ke dalam piring. Kemudian dia letakkan di depan pintu tenda. Beliau panggil istrinya agar mengambil piring itu dan beliau memintanya untuk menyuapkan kepada wanita tersebut.
    Setelah Umar dan istrinya merasa yakin akan kondisi wanita dan anaknya yang baru lahir itu, mereka berdua memohon diri. Umar berkata pada pria itu, "Jika pagi telah tiba, datanglah ke Madinah. Nanti saya akan memberikan sesuatu pada anda, insya Allah.
    Pada hari berikutnya, pria itu pergi menuju Madinah. Dia menemui Amirul Mukminin Umar ra. Selanjutnya beliau memberikan bekal kepada pria itu. Pria itu pulang ke keluarganya dengan rasa gembira. Ia bergembira dengan semua yang dilihat dan didengarnya serta yang dia peroleh dari baitul mal.  (arnab) (dikutip dari terjemahan 150 Kisah Orang-Orang Shalih Dan Zuhud Jilid 2 Oleh Mansur Abdul Hakim)


UMAR RA DAN SEORANG PEREMPUAN DARI QURAISY


UMAR RA DAN SEORANG PEREMPUAN DARI QURAISY

    Umar bin Al-Khaththab ra. –pada saat itu beliau sedang menjadi Khalifah- berdiri dan menyeru kaum muslimin. Beliau ra. menyerukan agar biaya mahar tidak terlalu mahar. Kemudian beliau ra. memberikan batasan besarnya biaya mahar. Beliau ra. berkata, "Janganlah kalian membayar mahar lebih dari 40 Uqiah. Walaupun wanita yang kalian nikahi adalah gadis yang berada dalam kesengsaraan. Saya tetap tidak akan memberi tambahan, walaupun berasal dari baitul mal."
    Dari barisan wanita, muncul seorang wanita dan berkata, "Wahai Umar! Apa ini?"
    Umar ra. bertanya, "Memangnya kenapa?"
    Karena Allah swt berfirman, "Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?" (QS An-Nisaa' (4):20).
    Mendengar penjelasan ini, Umar berkata, "Wanita ini benar dan saya yang salah." (* Tafsir Ibnu Katsir)
    Di dalam riwayat yang lain, Umar ra. berkata, "………Saya tidak mengerti bila seorang pria memberikan mahar pernikahannya lebih dari 400 dirham."
    Kemudian beliau ra. turun dari mimbar dan dihadang oleh seorang wanita dari suku Quraisy lalu berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Engkau telah melarang umat manusia untuk memberikan mahar pernikahan lebih dari 400 dirham?!"
    Beliau menjawab, "Benar!"
    Wanita itu kembali bertanya, "Apakah engkau tidak mendengar sebuah ayat Al-Quran yang membahas tentang hal ini?"
    Umar ra. menjawab, "Ayat yang mana?"
    Wanita menjelaskan, "Saya mendengar sebuah ayat yang artinya, "sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak." (QS An-Nisaa' (4):20).
    Mendengar penjelasan ini, Umar ra. langsung berdoa, "Ya Allah ampunilah saya. Ternyata seluruh masyarakat lebih paham dari Umar."
    Kemudian beliau ra. kembali naik ke atas mimbar dan berkata, "Wahai manusia! Tadi saya telah melarang kalian untuk memberikan mahar pernikahan lebih dari 400 dirham. Ternyata saya salah. Oleh karena itu barangsiapa ingin memberikah mahar pernikahan lebih dari jumlah tersebut, maka lakukanlah." (*Tafsir Ibnu Katsir)
Demikianlah ilmu Umar bin Al-Khaththab ra. Padahal beliau adalah khalifah, namun dia mau kembali kepada kebanaran. Kisah ini merupakan pelajaran untuk seluruh ulama, penguasa dan masyarakat umum.(arnab) (dikutip dari terjemahan 150 Kisah Orang-orang Shalih dan Zuhud jilid 3 oleh Mansur Abdul Hakim)



TURUNNYA AYAT PERSIS SEPERTI UCAPAN UMAR RA.


TURUNNYA AYAT PERSIS SEPERTI UCAPAN UMAR RA.

    Barangkali hal terpenting yang perlu kita perhatikan dalam kehidupan Umar bin Khaththab ra. adalah kecintaan, keterikatan yang kuat dari beliau terhadap Allah Swt. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian/ketepatan ucapan beliau dengan firman Allah Swt. Jika Umar mengucapkan sepatah kata, maka Allah menurunkan ayat dengan bentuk persis seperti yang diucapkan oleh Umar.
    a. Pada suatu ketika, Umar berkata kepada Rasulullah di saat berada di Masjidil Haram, Mekkah, “Bukankah ini makam Ibrahim? Tidakkah kita jadikan sebagian dari makam Ibrahim ini sebagai mushalla (tempat shalat)?”
    Kemudian turunlah ayat dengan bentuk yang persis dengan yang diucapkan oleh Umar bin Al-Khaththab ra. Ayat itu berbunyi, “Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (QS Al-Baqarah (2):125)
    Ini bukan hanya kesesuaian semata. Namun turunnya ayat ini menunjukkan dikabulkannya permintaan Umar.  Ini juga menunjukkan kecintaan Allah terhadap Umar dan juga membuktikan kebenaran cinta Umar terhadap Allah Swt.
    b.  Di dalam surat Al-Waqi’ah terdapat ayat yang artinya sebagai berikut, “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu,” (QS Al-Waqi’ah (56):10-13). Mendengar ayat ini Umar ra. -yang termasuk golongan orang-orang yang terdahulu dalam masalah keimanan- merasa senang. Namun setelah itu, Umar menangis. Beliau menangisi orang-orang beriman yang datang di masa-masa mendatang. Mereka tidak disebut dalam ayat sebagai orang-orang yang juga memperoleh surga. Setelah itu, turunlah ayat kepada Rasulullah yang berbunyi,  “dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.” (QS Al-Waqi’ah (56):14)
    Begitulah Umar bin Khaththab ra.. Beliau berbicara dengan lisan yang penuh hikmah, firasat dan perasaan yang benar. (diterjemahkan dari buku Allah Kaifa Nuhibbuhu? Limâdza nuhibbuhu? Hal nuhibbuhu haqqan?, karya Muhammad Ahmad Ghanayim) (arnab)



UMAR RA JUGA MANUSIA


UMAR RA JUGA MANUSIA

Dari Ibnu Syihab, dia berkata, “Anas telah mengabarkan kepadaku, dia berkata, “Ketika Rasulullah Saw wafat, seluruh kaum muslimin bersedih dan menangis. Di masjid, Umar berdiri sambil menyampaikan sebuah khutbah, “Saya tidak ingin mendengar seorang pun yang mengatakan bahwa Muhammad telah tiada. Demi Allah! Saya akan memotong tangan dan kaki orang-orang yang menduga kuat bahwa Rasulullah telah tiada.”
Dari Abu Salmah dari Abdullah bin Abbas berkata, “Abu Bakar keluar dan Umar ra masih menyeru kaum muslimin. Abu Bakar ra. berkata, “Duduk! Wahai Umar! Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah tiada. Barangsiapa menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak pernah mati. Allah berfirman, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran (3):144) (dikutip dari buku Manaqib Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab ra hal. 54-55, oleh; Ali Muhammad Umar)
Begitulah Umar, dia tetap saja seorang manusia dan bisa melakukan kesalahan.
Amirul Mukminin Umar bn. Al-Khaththab ra. bertemu dengan seorang sahabat Hudzaifah bn. Yaman. Beliau bertanya pada Hudzaifah, "Bagaimana kabar anda pagi ini?"
    Hudzaifah menjawab, "Pagi ini, saya mencintai fitnah, membenci yang hak, melakukan shalat (ushalli) tanpa wudhu' dan di bumi, saya mempunyai sesuatu, sedangkan Allah di langit tidak memilikinya."
    Mendengar ucapan Hudzaifah ini, Umar bn. Khaththab marah sekali. Pada saat itu, Ali bn. Abu Thalib masuk dan berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Dari wajahmu, nampaknya engkau sedang marah. Ada apa ya Amirul Mukminin?"
    Umar ra. menjelaskan ucapan yang baru saja dikatakan oleh Hudzaifah bn. Yaman ra. Ali berkata, "Dia benar, wahai Amirul Mukminin. Dia mengatakan bahwa dirinya menyukai fitnah. Yang dimaksud fitnah di sini adalah harta dan anak-anak. Karena Allah swt berfirman, "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)." (QS At-Taghaabun (64):15). Dia juga mengatakan bahwa dirinya membenci yang hak. Yang dimaksud hak di sini adalah kematian. Dia juga yushalli (melakukan shalat) tanpa wudhu. Yang dimaksud yushalli di sini bukannya melakukan shalat, namun bershalawat. Sehingga benar jika dia mengatakan bahwa dia bershalawat terhadap Rasulullah saw setiap waktu tanpa perlu melakukan wudhu terlebih dahulu. Adapun yang dimaksud dengan dia di bumi memiliki sesuatu, sedangkan Allah tidak. Maksud ucapannya ini adalah dia mempunyai istri dan anak. Sedangkan Allah tidak memiliki istri dan anak."
    Mendengar penjelasan ini, Umar berkata, "Engkau benar! Wahai Abu Al-Hasan!. Saya telah melakukan kekeliruan pada Hudzaifah."
    Begitulah Umar, dia tetap saja seorang manusia dan dia bisa saja tidak memahami maksud dari sahabat Hudzaifah. (arnab) (dikutip dari terjemahan 150 Kisah Orang-orang Shalih dan Zuhud jilid 2 oleh; Mansur Abdul Hakim)

   

   


UMAR RA TAKUT AKAN DOSANYA


Pada hari sakaratul mautnya yaitu pada hari dibunuhnya, Umar ra, beliau tidak menangisi anak-anak, harta dan kedudukannya. Beliau hanya menangisi dosa-dosa dan kesalahannya.
Malu kalau Tuhan melihatku telah meninggalkan persahabatan dan pengagunganku pada-Mu.
Dia pun berkata, “Andaikan saja ibuku tidak melahirkanku.”
Di saat sedang menangisi dosanya itu, darah beliau terus mengalir.
Para sahabat bertanya, “Ada apa denganmu?”
Beliau menjawab, “Dosa-dosa dan kesalahanku, andaikan saja ibuku tidak melahirkanku, andaikan saja aku sebuah pohon yang kokoh, andaikan saja aku tidak duduk sebagai Khalifah, andaikan saja aku tidak mengetahui kehidupan ini.”
Seperti yang telah diketahui, sebelum memeluk Islam  Umar ra., adalah seorang yang amat memusuhi Islam. Di masa jahiliyyah, dia pernah membunuh anak perempuannya dan gemar meminum minuman keras. Tetapi begitu memeluk Islam, dia merupakan sosok orang yang selalu berada di depan membela Islam. Orang yang jujur, tegas dalam kebenaran, amanah, bertakwa, pemberani serta sifat-sifat mukmin lainnya.
Lain lagi ketika Umar ra. menjabat sebagai khalifah. Jasa dan perhatian beliau ra. terhadap rakyatnya amat besar. Berbagai riwayat banyak mengharumi buku-buku sejarah Islam.
Jika kita mencoba membandingkan catatan hitam Umar ra. sebelum Islam dan prestasi gemilang beliau ra. setelah memeluk Islam, tentu kita akan sepakat bahwa jasa dan ganjaran yang diperoleh Umar tentu lebih banyak dibandingkan dosanya. Tetapi, Umar bukanlah tipe seperti itu. Dia tidak sombong, berbangga diri atau merasa puas dengan amal shalih yang telah dilakukannya. Selama hayat masih dikandung badan, dia akan terus berbuat yang terbaik untuk Islam dan umat. Dia sadar bahwa dirinya bukanlah nabi yang ma'shum, yang bersih dari dosa. Oleh karenanya, dia khawatir diantara perbuatannya terdapat dosa yang tidak disadarinya. (arnab) (dikutip dari buku Al-Misk wal ’anbar fii khitabil Minbar, karya ’Aidh Al-Qarni)





NASEHAT WANITA TUA KEPADA KHALIFAH UMAR RA


.  Sikap para Khalifah di masa lampau sangat halus dan bijaksana. Mereka bahkan sering tidak berani melawan kata-kata salah seorang rakyatnya, asalkan kata-kata itu mengandung kebenaran. Mereka amat menyadari posisinya, yaitu selaku pelaksana hukum Islam di tengah-tengah masyarakat, di samping sebagai pelayan bagi seluruh rakyatnya. Itulah paling tidak yang ditunjukkan oleh Umar bin Khaththab ra.
    Sewaktu khalifah Umar bin Khaththab keluar dari masjid bersama-sama dengan seorang hamba yang bernama Jarud di tengah jalam mereka bertemu dengan seorang wanita tua. Wanita itu menyapa Amirul Mukminin Umar bin Khahththab, “Umar, tunggu sebentar. Aku ingin berbicara denganmu.”
    Umar berhenti, dan wanita tua itu pun mendekat, seraya berkata, “Aku masih ingat, dahulu engkau dipanggil dengan nama Umair. Aku sering melihatmu di pasar Ukadz, bermain dan bergulat bersama anak-anak sebayamu. Sekarang, engkau berganti nama menjadi Umar. Bahkan lebih dari itu, engkau kini sudah digelari Amirul Mukminin. Sungguh indah sebutan nama itu, tetapi apakah engkau tahu makna dibalik gelar tersebut? Ketahuilah, wahai Umar, orang yang takut mati tentu akan menyia-nyiakan usianya untuk beramal kebaikan.”
    Umar menundukkan kepalanya, mendengarkan nasihat dari wanita tua itu, tak ubahnya seperti seorang anak kecil yang dengan hormat menyimak di depan ibunya. Namun, sebelum mereka berpisah, Jarud sempat memarahi wanita itu dengan mengatakan, “Anda sungguh tidak sopan berbicara dengan orang yang dihormati oleh kawan dan lawan. Apakah Anda tidak tahu bahwa beliau adalah Amirul Mukminin?”
    Namun, Umar malah menegur Jarud, “Janganlah engkau berkata kasar terhadap wanita itu. Tahukah engakau, siapakah dia? Dia adalah Khaulah binti Hakim. Seorang wanita yang pengaduannya telah didengar oleh Allah Swt, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Al-Mujadalah (58):1)
    Kalau Allah sudah berkenaan menerima pengaduannya, sudah tentu Umar lebih patut mendengar dan menerima pengaduannya.”(arnab) (dikutip dari majalah Al-Wa’ie Tahun 1. 1-31Januari 2001)

   

KETAKWAAN UMAR RA.

 Kalian tentunya telah mengetahui siapa Umar r.a.. Beliau adalah orang yang paling takut kepada Allah Swt, meskipun demikian beliau selalu jujur kepada Allah Swt, kepada manusia, dan kepada dirinya sendiri. Beliau shalat di waktu malam, puasa di waktu siang, berlaku adil terhadap bawahannya, zuhud di dunia, sering menangis dan berkata, “Seandainya aku sebuah pohon yang kokoh.”
Suatu hari Rasulullah Saw -secara rahasia- memberitahukan kepada Hudzaifah r.a. nama-nama orang munafik yang tidak masuk surga. Lalu Umar r.a. datang sambil menangis dan berkata kepada Hudzaifah r.a., “Wahai Hudzaifah, demi Allah aku bertanya padamu; apakah Rasulullah Saw menyebut namaku di antara daftar nama orang-orang munafik?”
Laa ilaaha illallah!! Jikalau Umar ra bukan seorang yang mukmin, maka siapakah yang mukmin!! Jika beliau bukan orang yang jujur, maka siapa lagi yang dapat dikatakan jujur!! Jika beliau bukan orang yang ikhlas, maka siapakah yang dapat dikatakan sebagai orang ikhlas?! Laa ilaaha illallah beliau menginfakkan segala miliknya demi meninggikan kalimat Laa ilaaha illallah dan menangisi dirinya karena takut menjadi orang munafik!! (arnab) (dikutip dari buku Al-Misk wal ’anbar fii khitabil Minbar, karya ’Aidh Al-Qarni)




KEIMANAN UMAR RA PADA SABDA RASULULLAH SAW

  Imam Muslim di dalam shahihnya meriwayatkan sebuah hadits dari Asir bin Jabir, dia berkata, "Ketika para penguasa penduduk Yaman datang mengunjungi Umar bin Al-Khaththab ra. Beliau ra bertanya, "Apakah diantara kalian terdapat seseorang yang bernama 'Uwais bin Amir?"
    Kemudian Umar dipertemukan dengan Uwais. Beliau ra bertanya, "Apakah anda yang bernama Uwais bin Amir?"
    Uwais menjawab, "Benar."
    Umar kembali bertanya, "Apakah anda berasal dari Murad dan Qarni."
    Uwais menjawab, "Benar."
    "Apakah engkau orang yang pernah menderita penyakit kusta. Kemudian anda sembuh dari penyakit itu, kecuali bagian kecil," tanya Umar kembali.
    "Ya, benar," jawab Uwais singkat.
    Umar bin Al-Khaththab ra berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Suatu zaman, Uwais bin Amir bersama rombongannya dari Yaman akan datang menemui kalian. Dia berasal dari Murad dan Qarni. Dia pernah menderita penyakit kusta. Dan penyakitnya telah sembuh dan hanya tertinggal sedikit. Dia berbuat baik kepada ibunya. Andaikan dia bersumpah atas nama Allah (berdoa, pentj), maka akan terkabulkan. Jika memungkinkan, mintalah agar dia memohonkan ampunan dosamu."
    Kemudian Uwais memohonkan ampun dosa Umar bin Al-Khaththab ra. Umar ra bertanya kepadanya, "Anda hendak pergi ke mana?"
    Uwais menjawab, "Kufah."
    Umar bertanya, "Apakah perlu saya perlu menulis surat kepada gubernur Kufah? (untuk memberinya sebuah jabatan, pentj)."
    Uwais menjawab, "Saya lebih senang hidup dengan orang-orang miskin."
    Setahun kemudian, pada musim haji Umar ra. bertemu dengan salah seorang pria terhormat yang berasal kaumnya Uwais. Umar bertanya padanya tentang Uwais. Pria itu menjawab, "Dia hidup dengan sederhana, bahkan dapat dikatakan hidup dengan sangat sederhana."
    Komentar penulis, "Kisah ini menggambarkan tentang seorang hamba yang shalih. Dia tidak senang diistimewakan oleh orang yang lain. Ibadah yang dilakukannya untuk Allah swt dan dengan bantuan Allah swt. Dia tidak melakukan ibadah untuk tujuan ketenaran, bukan pula untuk memperoleh dunia. Tidak pernah terlintas dalam benaknya keinginan untuk memperoleh perhiasan atau harta yang banyak. Yang diinginkannya adalah mempunyai hubungan yang kuat dengan Allah. Selalu berada di dalam ketaatan, perlindungan dan ridha-Nya. Uwais bin Al-Qarni tidak dapat ikut serta berperang dengan Rasulullah saw, karena ingin berbuat baik dengan ibunya. Ibunya sangat membutuhkannya, sehingga dia harus menemaninya. Rasulullah saw mengetahui hal itu. Beliau saw memujinya dan berwasiat kepada para sahabatnya agar kelak mencarinya. Jika mereka telah menemukan, mintalah padanya agar mau memohonkan ampun kepada Allah swt atas dosa-dosa mereka. Hal itu merupakan pahala untuknya dan ampun yang selalu dicari oleh orang yang gemar memperoleh ampunan. Orang yang gemar mencari itu, diantaranya adalah Umar bin Al-Khaththab ra. Tidaklah aneh hal ini terjadi pada diri Umar ra. (dikutip dari terjemahan 150 Kisah Orang-Orang Shalih dan Zuhud jilid 3 oleh; Mansur Abdul Hakim)

ANTUSIAS UMAR RA. DALAM MENUNTUT ILMU

Di dalam shahih Bukhari terdapat riwayat dari Umar bin Khathab r.a., dia berkata, "Saya dan tetanggaku -yang berasal dari Anshar yang masuk kabilah Banu Umayyah dekat dekat kota Madinah- saling bergantian belajar pada Rasulullah. Sehari dia yang belajar dan keesokkan harinya giliranku yang belajar. Jika saya belajar, maka saya menemuinya untuk memberitahu wahyu dan pelajaran yang diberikan Rasulullah pada hari itu. Jika dia yang belajar, maka dia melakukan hal yang sama pula.” (dikutip dari buku Hadza Huwa Zauji oleh; 'Isham Muhammad Asy-syarief)