Sabtu, 17 September 2011

60. SALIM, MAULA ABU HUDZAIFAH

SALIM, MAULA ABU HUDZAIFAH
SEBAIK-BAIK PEMIKUL AL-QURAN … !
Pada suatu hari Rasulullah saw. berpesan kepada para sha­habatnya, katanya:
“Ambillah olehmu al-Quran itu dari empat orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal … !”
Dulu kita telah mengenal Ibnu Mas’ud, Ubai dan Mu’adz! Maka siapakah kiranya shahabat yang keempat yang dijadikan Rasul sebagai andalan dan tempat bertanya dalam mengajarkan al-Quran … ?
Ia adalah Salim, maula Abu Hudzaifah …. Pada mulanya ia hanyalah seorang budak belian, dan kemudian Islam mem­perbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka, yang sebelum masuk Islam juga adalah seorang bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya ….
Dan tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudara, teman sejawat serta maula ( = hamba yang telah dimerdekakan) bagi orang yang memungutnya sebagai anak tadi, yaitu shahabat yang mulia bernama Abu Hudzaifah bin ‘Utbah. Dan berkat karunia dan ni’mat dari Allah Ta’ala, Salim mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin, yang dipersiapkan baginya oleh keutamaan jiwanya, serta perangai dan ketaqwaannya ….
Shahabat Rasul yang mulia ini disebut “Salim maula Abu Hudzaifah”, ialah karena dulunya ia seorang budak belian dan kemudian dibebaskan! Dan ia beriman kepada Allah dan Rasul­Nya tanpa menunggu lama . .. , dan mengambil tempatnya di antara orang-orang Islam angkatan pertama.
Mengenai Hudzaifah bin ‘Utbah, ia adalah salah seorang yang juga lebih awal dan bersegera masuk Islam dengan me­ninggalkan bapaknya ‘Utbah bin Rabi’ah menelan amarah dan kekeeewaan yang mengeruhkan ketenangan hidupnya, disebab­kan keislaman puteranya itu. Hudzaifah adalah seorang yang terpandang di kalangan kaumnya, sementara bapaknya mempersiapkannya untuk menjadi pemimpin Quraisy ….
Bapak dari Hudzaifah inilah yang setelah terang-terangan masuk Islam mengambil Salim sebagai anak angkat, yakni setelah ia dibebaskannya, hingga mulai saat itu ia dipanggilnya “Salim bin Abi Hudzaifah”. Dan kedua orang itu pun beribadah kepada Allah dengan hati yang tunduk dan terpusat, serta menahan penganiayaan Quraisy dan tipu muslihat mereka dengan hati yang shabar tiada terkira ….
Pada suatu hari turunlah ayat yang membathalkan kebiasaan mengambil anak angkat. Dan setiap anak angkat pun kembali menyandang nama bapaknya yang sesungguhnya, yakni yang telah menyebabkan lahirnya dan mengasuhnya. Umpamanya Zaid bin Haritsah yang diambil oleh Nabi saw. sebagai anak angkat dan dikenal oleh Kaum Muslimin sebagai Zaid bin Mu­hammad saw., kembali menyandang nama bapaknya Haritsah, hingga namanya menjadi Zaid bin Haritsah. Tetapi Salim tidak dikenal siapa bapaknya, maka ia menghubungkan diri kepada orang yang telah membebaskannya hingga dipanggilkan Salim maula Abu Hudzaifah ….
Mungkin ketika menghapus kebiasaan memungut memberi nama anak angkat dengan nama orang yang mengangkatnya, Islam hanya hendak mengatakan kepada Kaum Muslimin: “Janganlah kalian mencari hubungan kekeluargaan dan silatur rahmi dengan orang-orang diluar Islam sehingga persaudaraan kalian lebih kuat dengan sesama Islam sendiri dan se’aqidah yang menjadikan kalian bersaudara . . !”
Hal ini telah difahami sebaik-baiknya oleh Kaum Muslimin angkatan pertama. Tak ada suatu pun yang lebih mereka cintai setelah Allah dan Rasul-Nya, dari saudara-saudara mereka se­Tuhan Allah dan se-Agama Islam ! Dan telah kita saksikan bagai­mana orang-orang Anshar itu menyambut saudara-saudara mereka orang Muhajirin, hingga mereka membagi tempat ke­diaman dan segala yang mereka miliki kepada Muhajirin . . . !
Dan inilah yang kita saksikan terjadi antara Abu Hudzaifah bangsawan Quraisy dengan Salim yang berasal dari budak belian yang tidak diketahui siapa bapaknya itu. Sampai akhir hayat mereka, kedua orang itu lebih dari bersaudara kandung, ketika menemui ajal, mereka meninggal bersama-sama, nyawa melayang bersama nyawa, dan tubuh yang satu terbaring di samping tubuh yang lain – . . !
Itulah dia keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu kebesaran dan keutamaannya …
Salim telah beriman sebenar-benar iman, dan menempuh jalan menuju Ilahi bersama-sama orang-orang yang taqwa dan budiman. Baik bangsa maupun kedudukannya dalam masyarakat tidak menjadi persoalan lagi. Karena berkat ketaqwaan dan keikhlasannya, ia telah meningkat ke taraf yang tinggi dalam kehidupan masyarakat baru yang sengaja hendak di­bangkitkan dan ditegakkan oleh Agama Islam berdasarkan prinsip baru yang adil dan luhur.
Prinsip itu tersimpul dalam ayat mulia berikut ini:
“Sesungguhnya orang yang terrnulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling taqwa
(Q.S. 49 al-Hujurat: 13)
dan menurut Hadits: “Tiada kelebihan bagi seorang bangsa Arab atas selain bangsa Arab kecuali taqwa, dan tidak ada kelebihan bagi seorang keturunan kulit putih atas seorang keturunan hulit hitam kecuali taqwa
Pada masyarakat baru yang maju ini, Abu Hudzaifah merasa dirinya terhormat, bila menjadi wali dari seseorang yang dulunya menjadi budak beliannya. Bahkan dianggapnya suatu kemuliaan bagi keluarganya, mengawinkan Salim dengan kemenakannya Fatimah binti Walid bin ‘Utbah       I
Dan pada masyarakat baru yang maju ini, yang telah meng­hancurkan kefeodalan dan kehidupan berkasta-kasta, serta meng­hapus rasialisme dan diskriminasi, maka dengan kebenaran dan kejujurannya, keimanan dan amal baktinya, Salim menempatkan dirinya selalu dalam barisan pertama.
Benar . .. , ialah yang menjadi imam bagi orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah setiap shalat mereka di mesjid Quba’. Dan ia menjadi andalan tempat bertanya tentang Kitabullah, hingga Nabi menyuruh Kaum Muslimin belajar daripadanya. Ia banyak berbuat kebaikan dan memiliki keunggul­an yang menyebabkan Rasulullah saw. berkata kepadanya:
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam golonganku, seseorang seperti kamu . . . !” Bahkan kawan-kawannya sesama orang beriman menyebutnya:
“Salim salah seorang dari Kaum Shalihin”.
Riwayat hidup Salim seperti riwayat hidup Bilal, riwayat hidup sepuluh shahabat Nabi
ahli ibadah dan riwayat hidup para shahabat lainnya yang sebelum memasuki Islam hidupsebagai budak beliau yang hina dina lagi papa. Diangkat oleh Islam dengan mendapat kesempurnaan petunjuk, sehingga ia menjadi penuntun ummat ke jalan yang benar, menjadi tokoh penentang kedhaliman pula ia adalah kesatria di medan laga. Pada Salim terhimpun keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam Agama Islam. Keutamaan-keutamaan itu berkumpul pada diri dan sekitarnya, sementara keimanannya yang mendalam mengatur semua itu menjadi suatu susunan yang amat indah.
Kelebihannya yang paling menonjol ialah mengemukakan apa yang dianggapnya benar secara terus terang. Ia tidak menutup mulut terhadap suatu kalimat yang seharusnya diucap­kannya, dan ia tak hendak mengkhianati hidupnya dengan ber­diam diri terhadap kesalahan yang menekan jiwanya … !
Setelah kota Mekah dibebaskan oleh Kaum Muslimin, Rasul­ullah mengirimkan beberapa rombongan ke kampung-kampung dan suku-suku Arab sekeliling Mekah, dan menyampaikan kepada penduduknya bahwa Rasulullah saw. sengaja mengirim mereka itu untuk berda’wah bukan untuk berperang. Dan sebagai pemimpin dari salah satu pasukan ialah Khalid bin Walid.
Ketika Khalid sampai di tempat yang dituju, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkannya terpaksa mengunakan senjata dan menumpahkan darah. Sewaktu peristiwa ini sampai kepada Nabi saw., beliau memohon ampun kepada Tuhannya amat lama sekali sambil katanva:
“Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilaku­kan oleh Khalid . . . !”
Juga peristiwa tersebut tak dapat dilupakan oleh Umar, ia pun mengambil perhatian khusus terhadap pribadi Khalid kata­nya:
“Sesungguhnya pedang Khalid terlalu tajam … !”
Dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Khalid ini ikut Salim maula Abu Hudzaifah serta shahabat-shahabat lainnya . . . . Dan demi melihat perbuatan Khalid tadi, Salim menegurnya dengan sengit dan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Sementara Khalid, pahlawan besar di masa jahi­liyah dan di zaman Islam itu, mula-mula diam dan mendengarkan apa yang dikemukakan temannya itu kemudian membela dirinya, akhirnya meningkat menjadi perdebatan yang sengit. Tetapi Salim tetap berpegang pada pendiriannya dan mengemukakan­nya tanpa takut-takut atau bermanis mulut.
Ketika itu la memandang Khalid bukan sebagai salah seorang bangsawan Mekah, dan ia pun tidak merendah diri karena dahulu ia seorang budak belian, tidak . . . ! Karena Islam telah menyamakan mereka! Begitu pula ia tidaklah memandangnya sebagai seorang panglima yang kesalahan-kesalahannya harus dibiarkan begitu saja .. . , tetapi ia memandang Khalid sebagai team dan sekutunya dalam kewajiban dan tanggung jawab … ! Serta ia menentang dan menyalahkan Khalid itu bukanlah karena ambisi atau suatu maksud tertentu, ia hanya melaksana­kan nasihat yang diakui haqnva dalam Islam, dan yang telah lama didengarnya dari Nabi saw. bahwa nasihat itu merupakan teras dan tiang tengah Agama, sabdanya:
“Agama itu ialah nasihat … “Agama itu ialah nasihat. . . Agama itu ialah nasihat …
Dan ketika Rasulullah saw. mendengar perbuatan Khalid bin Walid, beliau bertanya, katanya:
‘Adakah yang menyanggahnya … ?’
Alangkah agungnya pertanyaan itu, dan alangkah meng­harukan . . . !
Dan amarahnya saw. menjadi surut, ketika mereka mengata­kan pada beliau:
“Ada, Salim menegur dan menyanggahnya . . .”
Salim hidup mendampingi Rasulnya dan orang-orang ber­iman. Tidak pernah ketinggalan dalam suatu peperangan mem­pertahankan Agama, dan tak kehilangan gairah dalam suatu ibadah. Sementara persaudaraannya. dengan Abu Hudzaifah, makin hari makin bertambah erat dan kukuh jua!
Saat itu berpulanglah Rasulullah ke rahmatullah. Dan khi­lafat Abu Bakar r.a. menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang murtad. Dan tibalah saatnya pertempuran Yamamah . .. ! Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian terberat bagi Islam … !
Maka berangkatlah Kaum Muslimin untuk berjuang. Tidak ketinggalan Salim bersama Abu Hudzaifah saudara seagama. Di awal peperangan, Kaum Muslimin tidak bermaksud hendak menyerang. Tetapi setiap Mu’min telah merasa bahwa pepe­rangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab bersama!
Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid, Yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan. Kedua saudara Abu Hudzaifah dan Salim berpelukan dan sama berjanji siap mati syahid demi Agama yang haq, yang akan mengantarkan mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat. Lalu kedua saudara itu pun menerjunkan diri ke dalam kancah yang sedang bergejolak … !
Abu Hudzaifah berseru meneriakkan:
“Hai pengikut-pengikut al-Quran … ! Hiasilah al-Quran dengan amal-amal kahan
Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan meng­hunjamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah . . . sementara Salim berseru pula, katanya:
-Amat buruk nasibku sebagai pemikul tanggung jawab al­Quran, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku .. .
“Tidak mungkin demikian, wahai Salim. . Bahkan engkau ada­lah sebaik-baik pemikul al-Quran . . . !”ujar Abu Hudzaifah.
Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pundak orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembali­kan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam ….
Tiba-tiba salah sebuah pedang orang-orang murtad itu me­nebas tangannya hingga putus . – . , tangan yang dipergunakannya untuk memanggul panji Muhajirin, setelah gugur pemanggulnya Yang pertama, ialah Zaid bin Khatthab. Tatkala tangan kanannya itu buntung dan panji itu jatuh segeralah dipungutnya dengan tangan kirinya lalu terus-menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat al-Quran berikut ini:
“Betapa banyaknya Nabi yang bersamanya ikut bertempur pendukung Agama Allah yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka tidak patah semangat disebabkan cobaan’ yang menimpa mereka dalam berjuang di jalan Allah itu, daya juang mereka tidak melemah apalagi menyerah kalah, sedang Allah mengasihi orang-orang yang tabah … !”
(Q.S.
3 Ali Imran:146)
Wahai, suatu semboyan yang maha agung … ! Yakni sem­boyan yang dipilih Salim saat menghadapi ajalnya …
Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbu­nya, hingga pahlawan itu pun rubuhlah . . . . Tetapi ruhnya belum juga keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran itu berakhir dengan terbunuhnya Musailamah si Pembohong dan menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya tentara Muslimin ….
Dan ketika Kaum Muslimin mencari-cari qurban dan syuhada mereka, mereka temukan Salim dalam sekarat maut. Sempat pula ia bertanya pada mereka:
“Bagaimana nasib Abu Hudzaifah …
“Ia telah menemui syahidnya”, ujar mereka.
“Baringkan daku di sampingnya . . . . katanya pula.
“Ini dia di sampingmu, wahai Salim
la telah menemui syahidnya di tempat ini … !”
Mendengar jawaban itu tersungginglah senyumnya yang akhir …. Dan setelah itu ia tidak berbicara lagi ….
Ia telah menemukan bersama saudaranya apa yang mereka dambakan selama ini . . . .
Mereka masuk Islam secara bersama.
Hidup secara bersama – - – -
Dan kemudian mati syahid secara bersama pula …
Persamaan nasib yang amat mengharukan, dan suatu taqdir yang amat indah … !
Maka pergilah menemui Tuhannya seorang tokoh Mu’min meninggalkan nama, mengenai dirinya sewaktu telah tiada lagi, Umar bin Khatthab pernah berkata:
“Seandainya Salim masih hidup, pastilah ia menjadi peng­gantiku nanti . . . !”
http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/10/salim-maula-abu-hudzaifah/

59. AMR BIN ‘ASH

AMR BIN ‘ASH
PEMBEBAS MESIR DARI CENGKERAMAN ROMAWI
Ada tiga orang gembong Quraiay yang amat menyubahkan Rasulullah saw. disebabkan sengitnya perlawanan mereka ter­hadap da’wahnya dan siksaan mereka terhadap shahabatnya. Maka Rasulullah selalu berdoa dan memohon kepada Tuhannya agar menurunkan adzabnya pada mereka. Tiba-tiba sementara ia berdoa dan memohon itu, turunlah wahyu atas kalbunya berupa ayat yang mulia ini: 
“Tak ada sesuatu pun kekuasaanmu mengenai urusan itu, apakah la akan menerima taubat mereka atau akan me­nyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang aniaya … (Q.S. 3 Ali Imran: 128)
Rasulullah memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyu­ruhnya agar menghentikan doa untuk menyiksa mereka serta menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Kemungkin­an, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan mene­rima adzab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat karunia-Nya
Maka ‘Amr bin ‘Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjuki-Nya mereka jalan untuk menganut Islam, dan ‘Amr bin ‘Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani ….
Dan bagaimana pun juga sebagian dari pendiriannya yang arah pandangannya tak dapat kita terima, namun peranannya sebagai seorang shahabat yang mulia, yang telah memberi dan berbuat jasa, berjuang dan berusaha, akan selalu membuka mata dan hati kita terhadap dirinya ….
Dan di sini di bumi Mesir sendiri, orang-orang yang me­mandang Islam itu adalah Agama yang lurus dan mulia, dan melihat pada diri Rasulnya rahmat dan ni’mat serta karunia, serta penyampai kebenaran utama, yang menyeru kepada Allah berdasarkan pemikiran dan mengilhami kehidupan ini dengan sebagian besar dari kebenaran dan ketaqwaan . . . , orang-orang yang beriman itu akan memendam rasa cinta kasih kepada laki-laki, yang oleh taqdir dijadikan alat  alat bagaimanapun untuk memberikan Islam ke haribaan Mesir, dan menyerahkan Mesir ke pangkuan Islam . . . ! Maka alangkah tinggi nilai hadiah itu, dan. alangkah besar jasa Pemberinya … ! Sementara laki-laki yang menjadi taqdir dan dicintai oleh mereka itu, itulah dia ‘Amr bin ‘Ash r.a…………………….
Para muarrikh atau ahli-ahli sejarah biasa menggelari ‘Amr dengan “Penakluk Mesir”. Tetapi, menurut kita gelar ini tidaklah tepat dan bukan pada tempatnya. Mungkin gelar yang paling tepat untuk ‘Amr ini dengan memanggilnya “Pembebas Mesir”.
Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya tiada lain ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menimpakan kepada negeri ini serta rakyatnya perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi ….
Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara per­juangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa …. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari paukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar . . . “, mereka pun dengan ber­duyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengan perantaraannya menemukan kebenaran mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.
Jika demikian halnya, ‘Amr bin ‘Ash bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir! Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma dan peraturan-peraturannya dengan keadilan, serta menempatkan diri dan hakikatnya dalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami . . . !
‘Amr bin ‘Ash r.a., amat berharap sekali akan dapat meng­hindarkan penduduk Mesir dan orang-orang Kopti dari peperang­an, agar pertempuran terbatas antaranya dengan tentara Romawi Saja, yang telah menduduki negeri orang secara tidak Sah, dan mencuri harta penduduk dengan sewenang-wenang ….
Oleh sebab itulah kita dapati ia berbicara ketika itu kepada pemuka-pemuka golongan Nasrani dan uskup-uskup besar mereka, katanya:
“Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw. membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu …. Dan sesungguhnya ia saw. telah menunaikan tugas risalatnya kemudian berpulang setelah meninggalkan kami di jalan lurus terang benderang.
Di antara perintah-perintah yang disampaikannya kepada kami ialah memberikan kemudahan bagi manusia. Maka kami menyeru kalian kepada Islam . . . .
Barang siapa yang memenuhi seruan kami, maka ia termasuk golongan kami, memperoleh hak seperti hak-hak kami dan memikul kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami . . . . Dan barang siapa yang tidak memenuhi seruan kami itu, kami tawarkan membayar pajak, dan kami berikan padanya keamanan serta perlindungan. Dan sesungguhnya Nabi kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tanggung jawab kami untuk mem­bebaskannya dari penjajah, dan diwasiatkannya kepada kami agar berlaku baik terhadap penduduknya, sabdanya:
“Sepeninggalku nanti, Mesir, menjadi kewajiban kalian untuk membebaskannya, maka perlakukanlah penduduk­nya dengan baik, karena mereka masih mempunyai ikatan dan hubungan kekeluargaan dengan kita . . . ! “
Maka jika kalian memenuhi seruan kami ini, hubungan kita semakin kuat dan bertambah erat . – - !”
‘Amr menyudahi ucapannya, dan sebagian uskup dan pen­deta menyerukan:  ”Sesungguhnya hubungan silaturrahmi yang diwasiatkan Nabimu itu adalah suatu pendekatan dengan pan­dangan jauh, yang tak mungkin disuruh hubungkan kecuali oleh Nabi … ! “
Percakapan ini merupakan permulaan yang baik untuk tercapainya Saling pengertian yang diharapkan antara ‘Amr dan orang Kopti penduduk Mesir, walau panglima-panglima Romawi berusaha untuk menggagalkannya ….
‘Amr bin ‘Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. la baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid tidak lama sebelum dibebaskannya kota Mekah ….
Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap ‘Amr yang Sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja . . .. Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlaq mulia di tanah Arab. Maharaja Habsyi itu menanyakan kepada ‘Amr kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-­benar utusan Allah? “Benarkah begitu … ?” tanya ‘Amr kepada Negus. “Benar”, ujar Negus, “Turutlah petunjukku, hai ‘Amr dan ikutilah dia! Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menen­tangnya . . . !”
Secepatnya ‘Amr terjun mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah Robbul’alamin. Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Mekah dengan maksud hendak bai’at kepada Rasulullah
Demi Rasul melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu katanya pada shahabat-shahabatnya:
“Mekah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita . . . . .. Mula-mula tampil Khalid dan mengangkat bai’at. Kemudian majulah ‘Amr dan katanya:
“Wahai Rasulullah . . . ! Aku akan baiat kepada anda, asal Saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu … Maka jawab Rasulullah saw.:  “Hai ‘Amr! Baiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya … !”
‘Amr pun bai’at, dan diletakkannya kecerdikan dan keberanian­nya dalam darma baktinya kepada Agamanya yang baru ….
Tatkala Rasulullah saw. berpindah ke Rafiqul A’la, ‘Amr sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintah Umar, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperang­an-peperangan di Syria, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.
Wahai, kenapa ‘Amr bin ‘Ash tidak menahan ambisi pribadi­nya untuk dapat berkuasa! Seandainya demikian, tentulah ia akan dapat mengatasi dengan mudah sebagian kesulitan yang dialaminya disebabkan ambisinya ini . . . !
Tetapi ambisinya ingin berkuasa ini, sampai suatu batas tertentu, hanyalah merupakan gambaran lahir dari tabiat bathin­nya yang bergejolak dan dipenuhi bakat . . – !
Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi iayarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa . . . ! Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab melihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu katanya:
“Tidak pantas bagi Abu Abdillah akan berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir … !”
Sungguh, sebenarnya ‘Amr atau Abu Abdillah tidak me­ngurangkan haq dirinya ini … ! Bahkan ketika bahaya-bahaya besar datang mengancam Kaum Muslimin, ‘Amr menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan cara seorang amir . . . seorang amir yang cerdik dan licin serta berkemampuan, menyebabkan­nya percaya akan dirinya, serta yakin akan keunggulannya . . . !
Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menye­babkan Umar bin Khatthab, seorang yang terkenal amat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya, menetapkan sebagai gubernur di Palestine dan Yordania, kemudian di Mesir selama. hayatnya Amirul Mu’minin ini ….
Bahkan ketika Amirul Mu’minin mengetahui bahwa ‘Amr, dalam kesenangan hidup telah melampaui batas yang telah digariskannya terhadap para pembesarnya, dengan tujuan agar taraf hidup mereka setingkat atau hampir setingkat dengan taraf hidup umumnya rakyat biasa, maka khalifah tidaklah memecatnya, hanya mengirimkan Muhammad bin Maslamah dan memerintahkannya agar membagi dua semua harta dan barang ‘Amr, lalu meninggalkan untuknya separohnya, sedang yang separuhnya lagi hendaklah dibawanya ke Madinah untuk Baitul mal.
Seandainya Amirul Mu’minin mengetahui bahwa ambisi ‘Amr terhadap kekuasaan sampai menyebabkannya agak lalai terhadap tanggung jawabnya, tentulah jiwanya yang waapada itu tidak akan membiarkannya memegang kekuasaan walau agak sekejap pun. . . !
‘Amr bin ‘Ash r.a. adalah seorang yang berfikiran taiam, cepat tanggap dan berpandangan jauh . . . hingga Amirul Mu’minin Umar, setiap ia melihat seorang yang sedikit akal, dipertepuk­kannya kedua telapak tangannya dengan keras karena herannya, seraya katanya:
“Subhanallah . . . ! Sesungguhnya Pencipta orang ini dan Pencipta ‘Amr bin ‘Ash hanyalah Tuhan Yang Tunggal, keduanya sama benar … !”
Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan ber­kemauan keras ….
Pada beberapa peristiwa dan suasana, keberaniannya itu dihadapinya dengan kelihaiannya, hingga disangka orang ia sebagai pengecut atau penggugup. Padahal itu tiada lain dari tipu mus­lihat yang keistimewaanya yang oleh ‘Amr digunakannya secara tepat dan dengan keeerdikan mengagumkan untuk membebaskan diri­nya dari bahaya yang mengancam … !
Amirul Mu’minin Umar mengenal bakat dan kelebihannya ini sebaik-baiknya, serta menghitungkannya dengan sepatutnya. Oleh sebab itu sewaktu ia dikirimnya ke Syria sebelum pergi ke Mesir, dikatakan orang kepada Umar bahwa tentara Romawi dipimpin oleh Arthabon, maksudnya panglima yang lihai dan gagah berani.
Jawaban Umar ialah:
“Kita hadapkan arthabon Romawi kepada arthabon Arab, dan baiklah kita saksikan nanti bagaimana akhir kesudah­annya . . . !”
Ternyata bahwa pertarungan itu berkesudahan dengan kemenangan mutlak bagi arthabon Arab dan ahli tipu muslihat mereka yang ulung ‘Amr bin ‘Ash, sehingga arthabon Romawi, meninggalkan tentaranya menderita kekalahan dan meluputkan diri ke Mesir . .. , yang tak lama antaranya akan disusul oleh ‘Amr ke negeri itu untuk membiarkan bendera dan panji-panji Islam di angkasanya yang aman damai ….
Tidak sedikit peristiwa, di mana kecerdikan dan kelicinan ‘Amr menonjol dengan gemilang! Dalam hal ini kita tidak me­masukkan perbuatan sehubungan dengan Abu Musa al-Asy’ari pada peristiwa tahkim, yakni ketika kedua mereka menyetujui bahwa masing-masing akan menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka, agar urusan itu dikembalikan kepada Kaum Muslimin untuk mereka musyawarahkan bersama. Ternyata Abu Musa melaksanakan hasil persetujuan tersebut, sementara ‘Amr tidak melaksanakannya ….
Sekiranya kita ingin menyaksikan bagaimana kelicinan serta kesigapan tanggapnya, maka pada peristiwa yang dialaminya bersama komandan benteng Babilon di saat peperangannya dengan orang-orang Romawi di Mesir, atau menurut riwayat­riwayat lain, bersama arthabon Romawi di pertempuran Yarmuk di Syria … !
Yakni ketika ia diundang oleh komandan benteng atau oleh arthabon untuk berunding, dan sementara itu komandan Romawi telah menyuruh beberapa orang anak buahnya untuk menggulingkan batu besar ke atas kepalanya sewaktu ia hendak pulang meninggalkan benteng itu, sementara segala sesuatu dipersiapkan, agar rencana tersebut dapat berjalan lancar dan menghasilkan apa yang dimaksud mereka ….
‘Amr pun berangkat menemui komandan, tanpa sedikit pun menaruh curiga, dan setelah berunding mereka berpisahlah. Tiba-tiba dalam perjalanannya ke luar benteng, terkilaslah olehnya di atas tembok, gerakan yang mencurigakan, hingga membangkitkan gerakan refleknya dengan amat cepatnya, dan dengan tangkas berhasil menghindarkan diri dengan cara yang mengagumkan ….
Dan sekarang ia kembali mendapatkan komandan benteng dengan langkah-langkah yang tepat dan tegap serta kesadaran tinggi yang tak pernah goyah, seolah-olah ia tak dapat dikejutkan oleh sesuatu pun dan tidak dapat dipengaruhi oleh rasa curiga . . . ! Kemudian ia masuk ke dalam, lalu katanya kepada komandan:
“‘Tirnbul dalam hatiku suatu fikiran yang ingin kusampaikan kepada anda sekarang ini    Di pos komandoku sekarang ini sedang menunggu segolongan shahabat Rasul angkatan pertama masuk Islam, yang pendapat mereka biasa didengar oleh Amirul Mu’minin untuk mengambil sesuatu keputusan penting. Bahkan setiap mengirim tentara, mereka selalu diikutsertakan untuk mengawasi tindakan tentara dan langkah-langkah yang mereka ambil. Maka maksudku hendak membawa mereka ke sini agar dapat mendengar dari mulut anda apa yang telah kudengar, hingga mereka memperoleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai urusan kita ini … ! “
Komandan Romawi itu secara bersahaja maklum bahwa karena nasib mujurnya, ‘Amr lolos dari lobang jarum . . . ! Dengan sikap gembira ia menyetujui usul ‘Amr, hingga bila ‘Amr nanti kembali dengan sejumlah besar pimpinan dan panglima Islam pilihan, ia akan dapat menjebak mereka semua, daripada hanya ‘Amr seorang. . ?
Dan secara sembunyi-sembunyi hingga tidak diketahui oleh ‘Amr, dipertahankannyalah untuk tidak mengganggu ‘Amr dan menyiapkan kembali perangkap yang disediakan untuk panglima Islam tadi, guna menghabiasi para pemimpin mereka yang utama ….
Lalu dilepasnya ‘Amr dengan besar hati, dan disalaminya amat hangat sekali …. disambut oleh ahli siasat dan tipu mus­lihat Arab itu dengan tertawa dalam hati . . ..Dan di waktu subuh keesokan harinya, dengan memacu kudanya yang meringkik keras dengan nada bangga dan meng­ejek, ‘Amr kembali memimpin tentaranya menuju benteng. Memang, kuda itu merupakan suatu makhluq lain yang banyak mengetahui kelihaian dan kecerdikan tuannya …
Dan pada tahun ke-43 Hijrah, wafatlah ‘Amr bin ‘Ash di Mesir, sewaktu ia menjadi gubernur di sana . . . . Di saat-saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya, katanya:
“Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka
!Kemudian aku bai’at kepada Rasulullah, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau … !
Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku . . . !
Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga . . . !
Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan memperoleh kekuasaan begitupun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian … !”
Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, katanya:
“Oh Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan … !
Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi per­tolongan … !
Sekiranya daku tidak memperoleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku … !”
Demikianlah ia asyik dalam permohonan dan penghinaan diri hingga akhirnya ruhnya naik ke langit tinggi, di sisi Allah Rabbul­’izzati, sementara akhir ucapan penutup hayatnya, ialah : La ilaha illallah ….
Di pangkuan bumi Mesir, negeri yang diperkenalkannya dengan ajaran Islam itu, bersemayamlah tubuh kasarnya . . . . Dan di atas tanahnya yang keras, majliasnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar, mengadili dan mengendalikan pemerintahan, masih tegak berdiri melalui kurun waktu, di­naungi oleh atap mesjidnya yang telah berusia lanjut “Jami’u ‘Amr”, yakni mesjid yang mula pertama didirikan di Mesir, yang disebut di dalamnya asma Allah Yang Tunggal lagi Esa serta dikumandangkan ke setiap pojoknya dari atas mimbaruya kalimat-kalimat Allah serta pokok-pokok Agama Islam ….
http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/10/amr-bin-ash/

58. THUFEIL BIN ‘AMR AD DAUSI

THUFEIL BIN ‘AMR AD DAUSI
SUATU FITHRAH YANG CERDAS
Di bumi Daus, dari keluarga yang mulia dan terhormat, muncullah tokoh kita ini . . . . la dikaruniai bakat sebagai pe­nyair, hingga nama dan kemahirannya termasyhur di kalangan suku-suku. Di musim ramainya pekan ‘Ukadh, tempat berkumpul dan berhimpunnya manusia, untuk mendengar dan menyaksikan penyair-penyair Arab yang datang berkunjung dari seluruh pelosok serta untuk menonjolkan dan membanggakan penyair masing-masing, maka Thufeil mengambil kedudukannya di barisan terkemuka . . . . Walaupun bukan pada musim ‘Ukadh, ia Sering pula pergi ke Mekah ….
Pada suatu ketika, saat ia berkunjung ke kota suci itu, Rasul­ullah telah mulai melahirkan da’wahnya . . . . Orang-orang Quraisy takut kalau-kalau Thufeil menemuinya dan masuk Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair itu membela Islam, hingga merupakan bencana besar bagi Quraisy dan berhala­ berhala mereka . . . .
Oleh sebab itu mereka menelingkunginya selalu dan menyedia­kan segala kesenangan dan kemewahan untuk melayani dan menerima kedatangannya sebagai tamu, lalu menakut-nakutinya agar tidak berjumpa dengan Rasulullah saw. katanya:  ”Muham­mad memiliki ucapan laksana sihir, hingga dapat mencerai ­beraikan anak dari bapak dan seseorang dari saudaranya, serta seorang suami dari istrinya . .. ! Dan sesungguhnya kami ini cemas terhadap dirimu dan kaummu dari kejahatannya, maka janganlah ia diajak bicara, dan jangan dengarkan apa kata­nya . . . !
Dan marilah kita dengarkan Thufeil menceritakan sendiri kisahnya katanya:  ”Demi Allah, mereka selalu membuntutiku, hingga aku hampir saja membatalkan maksudku untuk me­nemui dan mendengar ucapannya . . . . Dan ketika aku pergi ke Ka’bah, kututup telingaku dengan kapas, agar bila ia berkata, aku tidak mendengar perkataannya . . . . Kiranya ia kudapati sedang shalat dekat Ka’bah, maka aku berdiri di dekatnya, taqdir Allah menghendaki agar aku mendengarkan sebahagian apa yang dibacanya, dan terdengarlah olehku perkataan yang baik. . . .
Lalu kataku kepada diriku: “Wahai malangnya ibuku ke­hilangan daku . . . ! Demi Allah, aku ini seorang yang pandai dan jadi penyair, dan mampu membedakan mana yang baik dari yang buruk! Maka apa salahnya jika aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh laki-laki itu? Jika yang dikemukakannya itu barang baik, dapatlah kuterima, dan seandainya jelek, dapat pula kutinggalkan . . . . Kutunggu sampai ia berpaling hendak pulang ke rumahnya, lalu kuikuti hingga ia masuk rumah, maka kuiringkan dari belakang dan kukatakan kepadanya:  ”Wahai Muhammad! Kaummu telah menceritakan padaku bermacam­-macam, tentang dirimu!
Dan demi Allah, mereka selalu menakut­-nakutiku terhadap urusanmu, hingga kututupi telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataanmu . . . . Tetapi iradat Allah menghendaki agar aku mendengarnya, dan terdengarlah olehku ucapan yang baik, maka kemukakanlah padaku apa yang menjadi urusanmu itu … !”
Rasul pun mengemukakan padaku terperinci tentang Agama Islam dan dibacakannya al-Quran …. Sungguh! Demi Allah, tak pernah kudengar satu ucapan pun yang lebih baik dari itu, atau suatu urusan yang lebih benar dari itu . . . !
Maka masuklah aku ke dalam Islam, dan kuucapkan syahadat yang haq, lalu kataku: “Wahai Rasulullah! Sesungguh­nya aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku, dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, serta akan menyeru mereka kepada Islam. Maka du’akanlah kepada Allah agar aku diberi-Nya suatu tanda yang akan menjadi pembantu bagiku mengenai soal yang kuserukan pada mereka itu. Maka sabda Rasulullah saw. “Ya Allah! Jadikanlah baginya suatu tanda. . .
Dalam kitab suci-Nya Allah Ta’ala telah memuji “orang­-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik di antaranya . . . “. Nah, sekarang kita bertemu dengan salah seorang di antara mereka itu . . . , dan ia merupakan suatu gambaran yang tepat mengenai fithrah yang cerdas . . . !
Demi telinganya mendengar sebagian ayat-ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan Allah atas kalbu hamba­Nya, maka seluruh pendengaran dan seluruh hatinya terbuka selebar-lebaruya, dan diulurkannya tangannya untuk bai’at kepada Rasulnya ….
Dan tidak hanya sampai di sana, tetapi dengan secepatnya dibebaninya dirinya dengan tanggung jawab menyeru kaum dan keluarganya kepada Agama yang haq dan jalan yang lurus ini…
Oleh sebab itu, baru saja ia sampai di rumah dan kampung halamannya Daus, dikemukakannyalah kepada bapaknya ‘Aqidah dan keinginan yang terkandung dalam hatinya, dan diserunya ia kepada Islam, yakni setelah menceritakan perihal Rasul yang menyebarkan Agama itu, tentang kebesaran, kesucian, amanah dan ketulusan serta ketaatannya kepada Allah Robbul­’alamin ….
Dan pada waktu itu juga bapaknya masuk Islam. Lalu ia beralih kepada ibunya, yang juga menganut Islam. Kemudian kepada istrinya yang mengambil tindakan yang serupa. Dan tatkala hatinya menjadi tenteram karena Islam telah meliputi rumahnya, ia pun berpindah tempat kepada kaum keluarga, bahkan kepada seluruh penduduk Daus. Tetapi tak seorang pun di antara .mereka yang memenuhi seruannya memeluk Islam, kecuali Abu Aurairah r.a
Kaumnya itu menghinakan dan memencilkannya, hingga akhirnya hilanglah keshabarannya terhadap mereka. Maka dinaikinya kendaraannya menempuh padang pasir dan kembali kepada Rasulullah saw. mengadukan halnya dan membekali diri dengan ajaran-ajarannya ….
Dan tatkala tibalah ia di Mekah, segeralah ia ke rumah Rasul, dibawa oleh hatinya yang rindu. Katanya kepada Nabi saw.:  ”Wahai Rasulullah . .. ! Saya kelabakan menghadapi riba dan perzinahan yang merajalela di desa Daus . . . ! Maka mohonkanlah kepada Allah agar Ia menghancurkan Daus … !”
Tetapi alangkah terpesonanya Thufeil ketika dilihatnya Rasulullah mengangkatkan kedua tangannya ke langit serta katanya:  ”Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan datang­kanlah mereka ke sini dengan memeluk Islam … !” Lalu sambil berpaling kepada Thufeil, katanya:  ”Kembalilah kamu kepada kaummu, serulah mereka dan bersikap lunak-lembutlah kepada mereka”
Peristiwa yang disaksikannya ini memenuhi jiwa Thufeil dengan keharuan dan mengisi ruhnya dengan kepuasan, lalu dipujinya Allah setinggi-tingginya, yang telah menjadikan Rasul, insan pengasih ini sebagai guru dan pembimbingnya, dan men­jadikan Islam sebagai Agama dan tempat berlindungnya ….
Maka bangkitlah ia pergi kembali ke kampung halaman dan kaumnya. Dan di sana, ia terns mengajak mereka kepada Islam secara lunak lembut sebagai dipesankan oleh Rasulullah saw.
Dalam pada itu, selama tenggang waktu yang dilaluinya di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah telah hijrah ke Madinah, dan telah terjadi perang Badar, Uhud dan Khandak. Tiba-tiba ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, yakni setelah kota itu diserahkan Allah ke tangan Muslimin, satu rombongan besar yang terdiri dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka lalu duduk di hadapannya mengangkat bai’at secara bergantian.
Dan tatkala selesailah peristiwa mereka yang bersejarah dan upacara bai’at yang diberkahi itu, Thufeil pergi duduk seorang diri, merenungkan kembali kenangan-kenangan lama­nya dan mengira-ngirakan langkah yang akan diambilnya untuk masa mendatang . . . .
Maka teringatlah ia akan saat kedatangannya kepada Rasul­ullah memohon agar ia menadahkan tangannya ke langit untuk mengucapkan du’a “Ya Allah, hancurkanlah orang-orang Daus . . . . .., tetapi ternyata Rasulullah menyampaikan per­mohonan lain yang menggugah keharuannya dengan ucapan sebagai berikut: “Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan bawalah mereka ke sini setelah menganut Islam … !”
Sungguh, Allah telah menunjuki orang-orang Daus dan Ia telah mendatangkan mereka sebagai Kaum Muslimin . . . ! Mereka terdiri dari 80 kepala keluarga beserta penghuni rumahnya dan merupakan bagian terbesar dari penduduk, serta meng­ambil kedudukan mereka di barisan suci di belakang Rasulullah al- Amin . . . .
Thufeil melanjutkan usahanya bersama jama’ah yang telah beriman itu. Tatkala tibalah saat pembebasan Mekah ia ikut rombongan yang memasukinya, yang jumlahnya sepuluh ribu orang, yang sekali-kali tidak merasa bangga atau besar kepala, hanya sama-sama menundukkan kening karena hormat dan ta’dhim, mensyukuri ni’mat Allah yang telah membalas usaha mereka dengan kemenangan nyata, dan pembebasan Mekah yang tak usah menunggu lama ….
Thufeil melihat Rasulullah menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah dan membersihkan dengan tangannya kotoran dan najis yang telah lama berkarat. Putera Daus itu teringat akan sebuah berhala milik Amr bin Himamah. Amr ini Sering mem­bawanya memuji berhala itu sewaktu ia menginap di rumahnya sebagai tamunya, hingga ia berlutut di hadapannya dan meren­dahkan diri dan memohon kepadanya … !
Datanglah sudah saatnya bagi Thufeil sekarang ini untuk menghapus dan melebur dosa-dosanya di hari itu. Ketika itu pergilah ia kepada Rasulullah saw. meminta idzin untuk pergi membakar berhala milik Amr bin Humamah tadi, yang biasa disebut “Dzal kaffain”, atau “si Telapak tangan dua”.
Rasulullah memberinya idzin, maka pergilah ia ke tempat berhala itu lalu membakarnya dengan api yang bernyala; setiap api itu surut, dinyalakannya kembali, dan sementara itu mulut­nya asyik berpantun:
“Hai Dzal kaffain, aku ini bukan hambamu, Kami lebih dulu lahir daripadamu!
Nah, terimalah api ini untuk pengisi perutmu!
Demikianlah Thufeil melanjutkan hidupnya bersama Nabi, sahalat di belakangnya dan belajar kepadanya serta berperang dalam rombongannya. Dan ketika Rasulullah naik ke Rafiqul Ala, Thufeil berpendapat bahwa dengan wafatnya Rasulullah itu, tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim belumlah ber­henti, bahkan boleh dikata baru saja mulai!
Ketika pertempuran melawan orang-orang murtad berkobar, Thufeil menyingsingkan lengan bajunya, lalu terjun mengalami pahit getirnya dengan semangat dan kegairahan dari seorang yang rindu menemui syahid . . . . la ikut dalam perang riddah itu, pertempuran demi pertempuran ….
Pada pertempuran Yamamah, ia berangkat bersama Kaum Muslimin dengan membawa puteranya ‘Amr bin Thufeil. Baru saja perang mulai, telah dipesankannya kepada puteranya itu agar berperang mati-matian menghadapi tentara Musailamah si pembohong itu, bahkan walau akan mati syahid sekalipun … ! Dibisikkannya pula kepada puteranya itu bahwa menurut fira­satnya, dalam pertempuran kali ini ia akan menemui ajalnya … !
Setelah itu disiapkannya pedangnya dan diterjuninya pertempuran dengan semangat berqurban dan berani mati … ! Bukan hanya membela nyawanya dengan mata pedangnya …. tetapi pedangnya pun dibelanya dengan nyawanya … !
Hingga ketika ia wafat dan tubuhnya rubuh, pedangnya masih teracung dan siap sedia, untuk ditebaskan oleh tangannya yang sebelah yang tidak mengalami cedera apa-apa   I
Maka dalam pertempuran itu tewaslah Thufeil ad-Dausi r.a. memenuhi syahidnya . . . , dan jasadnya pun rubuh disebab­kan tusukan senjata, sementara sinar matanya seakan hendak memberi isyarat kepada puteranya yang tak kunjung dilihatnya dekat arena  . . Yah, isyarat agar ia waspada dan tidak menyusul dan mengikuti langkahnya ….
Tetapi sungguh, rupanya puteranya itu tak hendak ketinggal­an, lalu menyusul ayahandanya pula, memang tidak pada waktu itu, hanya beberapa lama setelahnya . . . ! Di pertempuran sebagai di Syria, ketika Amr bin Thufeil turut mengambil bagian ebagai pejuang, di sanalah ia menemui apa yang dicitanya
Sementara ia hendak menghembuskan nafasnya yang peng­habisan, diulurkannya tangannya yang kanan dan dibentangkannya telapaknya seakan hendak menjawab dan menyalami tangan seseorang . . . ! Yah, siapa tabu, mungkin waktu itu ia hendak bersalaman dengan ruh bapaknya … !
http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/10/thufeil-bin-amr-ad-dausi/

57. ABU MUSA AL ASY’ARI

ABU MUSA AL ASY’ARI
YANG PENTING KEIKHLASAN …. KEMUDIAN TERJADILAH APA YANG AKAN TERJADI … !
Tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkan­nyalah penduduk lalu berpidato di hadapan mereka, katanya:  ”Sesungguhnya Amirul Mu’minin Umar telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian … !”
Orang-orang sama heran dan bertanya-tanya . . . ! Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang Agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat meng­herankan dan menjadi suatu tanda tanya … !
Maka siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Basri r.a. pernah berkata:  ”Tak seorang pengendara pun yang datang ke Basrah yang lebih berjasa kepada penduduk­nya selain dia … !”
Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa al-Asy­’ari. Ia meninggalkan negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Mekah, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta me­nyuruh berakhlaq mulia.
Di Mekah dihabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah saw. menerima petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasul saw. tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar ….
Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan tibanya Ja’far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar.
Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari limapuluh orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang Agama Islam, serta dua orang saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah.
Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy’ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesama­nya. Dan Sering mereka diambilnya sebagai tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau: — “Orang-orang Asy’ari ini, bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata . . . . Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka. . . !”
Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan Kaum Muslimin dan Mu’minin yang ditaqdirkan memperoleh nasib mujur menjadi shahabat Rasul­ullah dan muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap saat.
Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat­-sifat utama! Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang … ! Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal … ! Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mampu mengerah­kan perhatian kepada kunci dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan: “Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit
Di samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan . . . ! Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu sem­boyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi: — “Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi . . . !”
Dalam arena perjuangan al-Asy’ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah saw. berkata mengenai dirinya: — “Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa . . . !” Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut:  ”Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain… !”
Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan . .. ! Karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah . . . !
Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, al-Asy’ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan. Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang … !
Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-­saat yang diperlukan, mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan . . . . Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu slap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadilah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah memperoleh kemenangan yang gemilang . . . !
Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy’ari mampunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya . . . ! Pada saat itu Amirul Mu’minin Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh ‘Ammar bin Yasir, Barra’ bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja’.
Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat. Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh Kaum Mus­limin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mem­pergunakan akal muslihatnya ….
Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persi membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala.
Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit­-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempur­an kecil pun terjadi.
Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah.
Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu’minin.
Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati . . . . Ia membaca al-Quran dengan suara yang menggetarkan tali hati para pen­dengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda:
“Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud … ! “
Dan setiap Umar r.a. melihatnya, dipanggilnya dan disuruh­nya untuk membacakan Kitahullah:   ”Bangkitkanlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa … !”
Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali jika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi . . . . Adapun peperangan antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya.
Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.
Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu’awiyah.
Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mung­kin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanya­lah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan ….
pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat kita simpulkan sebagai berikut:  Memperhatikan adanya peperangan sesama Kaum Muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini harus diubah dan dirombak dari semula secara keseluruhan . . . !
Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebut­kan oleh dua golongan Kaum Muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Imam Ali meletakkan jabatannya untuk semen­tara waktu, begitu pula Mu’awiyah harus turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari semula kepada Kaum Muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki.
Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya . . . ! Benar bahwa Ali k.w. telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat di­biarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari’at … ! Hanya menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Irak dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecah­an dengan cara baru. Karena pengkhianatan Mu’awiyah sekarang ini telah menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan Saja …
Tetapi kesernuanya itu telah berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan akibat yang lebih parah!
Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian … !
Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim, Imam Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksa­nya untuk memilih Abu Musa al-Asy’ari.
Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada Saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan pepe­rangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim.
Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Imam Ali. Hanya ia tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah dan tipu muslihat. Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya. Karena itu Imam Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan …
Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun mulailah …. Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Imam Ali sedang Amr bin ‘Ash sebagai wakil dari pihak Mu’awiyah. Dan sesung­guhnya ‘Amr bin ‘Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu’a­wiyah.
Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni Asy’ari dan ‘Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang di­lontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah Kaum Muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya Kaum Muslimin yang tidak mencintai, menghormati dan memuliakannya.
Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini, ‘Amr bin ‘Ash pun melihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia bersedia menyerahkan kha­lifah kepada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasul, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan Abdullah bin Umar. . . -
Demikianlah dengan kelicinannya, ‘Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusul­kan Mu’awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin ‘Amr yang memang mampunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah saw.
Kecerdikan ‘Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya ‘Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arah yang lebih aman. Secara tak terduga dinyatakan­nya kepada ‘Amr bahwa pemilihan khalifah itu adalah haq seluruh Kaum Muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa segala urusan mereka hendaklah diperundingkan di antara mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama.
Dan akan kita lihat nanti bagaimana ‘Amr menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu’awiyah … !
Tetapi sebelum itu marilah kita dengar perdebatan yang bersejarah itu yang berlangsung antara Abu Musa dan ‘Amr bin ‘Ash di awal pertemuan mereka, yang kita ambil dari buku “Al-Akhbaruth Thiwal” buah tangan Abu Hanifah ad Dainawari sebagai berikut: — Abu Musa :
+ Hai ‘Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah … ?
Ujar ‘Amr:
-          Apakah itu … ?
+ Kita angkat Abdullah bin Umar. la tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.
Dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Mu’a­wiyah … ?
+ Tak ada tempat Mu’awiyah di sinidan tak ada haknya …!
Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya         ?
+ Benar!
Maka Mu’awiyah adalah wali dan penuntut darahnya, sedang kedudukan atau asal-usulnya di kalangan bangsa Quraisy sebagai telah anda ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti kenapa ia diangkat untuk jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka anda dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wali darah Utsman, sedang Allah Ta’ala berfirman: “Barang siapa yang di­bunuh secara aniaya, maka Kami berikan kekuasaan kepada walinya .. . !” Di samping itu ia adalah saudara Ummu. Habibah, istri Nabi saw. juga salah seorang dari shahabatnya.
+ Takutilah Allah hai ‘Amr!
Mengenai kemuliaan Mu’awiyah yang kamu katakan itu, seandainya, khilafat dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu’awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib .. . ? Adapun katamu. bahwa Mu’awiyah wali Utsman, maka lebih utamalah daripadanya, putera, Utsman sendiri ‘Amr bin Utsman . . . ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khat­thab dengan mengangkat puteranya Abdullah si Kyai itu. . . !
Kalau begitu apa halangannya bila anda mengangkat puteraku. Abdullah yang
memiliki keutamaan dan ke­shalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan
Nabi?
+ Puteramu memang seorang yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke Lumpur peperangan
ini! Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putera dari orang baik. . . , yaitu Abdullah
bin Umar … !
Wahai Abu Musa! Urusan ini tidak cocok baginya, karena pekerjaan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan . . . !
+ Keterlaluan engkau wahai ‘Amr! Kaum Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka berpanahan dan bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan mereka itu kepada fitnah …
—  Jadi bagaimana pendapat anda . . . ?
+ Pendapatku, kita tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka — Ali dan Mu’awiyah — dan kita serahkan kepada ‘ permusyawaratan Kaum Muslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
—  Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia … !
Percakapan ini merubah sama sekali akan bentuk gambaran yang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa al-Asy’ari, setiap kita teringat akan peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali akan dapat dikatakan lengah atau lalai. Bahkan dalam soal jawab ini kepintarannya lebih menonjol dari kecerdik­an ‘Amr bin ‘Ash yang terkenal licin dan lihai itu … !
Maka tatkala ‘Amr hendak memaksa Abu Musa untuk me­nerima Mu’awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsa­wanannya dalam suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wali dari Utsman, datanglah jawaban dari Abu Musa, suatu jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang:  Seandainya khilafat itu berdasarkan kebangsawanan, maka Abrahah bin Shabbah seorang keturunan raja-raja, lebih utama dari Mu’awiyah . . . ! Dan jika berdasarkan sebagai wali dari darah Utsman dan pem­bela haknya, maka putera Utsman r.a. sendiri lebih utama men­jadi wali dari Mu’awiyah … !
Setelah perundingan ini, kasus tahkim berlangsung menem­puh jalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab ‘Amr bin ‘Ash seorang diri …. Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan kepada ummat, yang akan memutuskan dan memilih khalifah mereka. Dan ‘Amr telah menyetujui dan mengakui usahanya dengan pendapat ini ….
Bagi Abu Musa tidak terpikir bahwa dalam suasana genting yang mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan mala petaka besar ini, ‘Amr masih akan bersiasat anggar lidah, bagaimana juga fanatiknya kepada Mu’awiyah . . . ! Ibnu Abbas telah memperingatkannya ketika ia kembali kepada mereka menyam­paikan apa yang telah disetujui, jangan-jangan ‘Amr akan bersilat lidah, katanya:
“Demi Allah, saya khawatir ‘Amr akan menipu anda! Jika telah tercapai persetujuan mengenai sesuatu antara anda berdua, maka silakanlah dulu ia berbicara, kemudian baru anda di belakangnya … ! “
Tetapi sebagai dikatakan tadi, melihat suasana demikian gawat dan penting, Abu Musa tak menduga ‘Amr akan main-main, hingga ia merasa yakin bahwa ‘Amr akan memenuhi apa yang telah mereka setujui bersama.
Keesokan harinya, kedua mereka pun bertemu muka . . . , Abu Musa mewakili pihak Imam Ali dan ‘Amr bin ‘Ash mewakili pihak Mu’awiyah.
Abu Musa mempersilakan ‘Amr untuk bicara, ia menolak, katanya:
“Tak mungkin aku akan berbicara lebih dulu dari anda … ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu hijrah dan lebih tua … !”
Maka tampillah Abu Musa, lalu menghadap ke arah khalayak dari kedua belah pihak yang sedang duduk menunggu dengan berdebar, seraya katanya:
“Wahai saudara sekalian! Kami telah meninjau sedalam-­dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat mengikat tali kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu’awiyah, dan menyerah­kannya kepada permusyawaratan ummat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah . . . . Dan sekarang, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka . . . . Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian . . . !”
Sekarang tiba giliran ‘Amr untuk memaklumkan penurunan Mu’awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ali, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin. ‘Amr menaiki mimbar, lalu katanya:
“Wahai saudara sekalian! Abu Musa telah mengatakan apa yang telah sama kalian dengar, dan ia telah menanggalkan shahabatnya dari jabatannya . . . ! Ketahuilah, bahwa saya juga telah menanggalkan shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan shahabat­ku Mu’awiyah, karena ia adalah wali dari Amirul Mu’minin Utsman dan penuntut darahnya serta manusia yang lebih berhak dengan jabatannya ini … !”
Abu Musa tak tahan menghadapi kejadian yang tidak di­sangka-sangka itu. Ia mengeluarkan kata-kata sengit dan keras sebagai tamparan kepada ‘Amr. Kemudian ia kembali kepada sikap mengasingkan diri . . . , diayunnya langkah menuju Mekah … , di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana …
Abu Musa r.a. adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah saw. juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya ….
Sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, ia diangkatnya ber­sama Mu’adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persi dan Romawi.
Di masa Umar, Amirul Mu’minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah.
Abu Musa termasuk ahli al-Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang mem­berikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:
“Ikutilah al-Quran . . . dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran … !”
Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan shaum padanya, katanya:
“Semoga rasa hawa di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti … !”
Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang menyam­but . . . . Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah ar-Rahman. Kahmat yang selalu diulang-ulang, dan menjadi buah bibirnya, sepanjang hayatnya yang diliputi keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi berlalu ….
Kalimat-kalimat itu ialah:
“Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari Mu lah kumohon heselamatan
“.
http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/10/abu-musa-al-asyari/

56. SUHEIL BIN ‘AMAR

SUHEIL BIN ‘AMAR
DARI KUMPULAN ORANG YANG DIBEBASKAN, MASUK GOLONGAN PARA PAHLAWAN
Tatkala ia jatuh menjadi tawanan Muslimin di perang Badar, Umar bin Khatthab r.a. mendekati Rasulullah saw. katanya:  ”Wahai Rasulullah . . . , biarkan saya cabut dua buah gigi muka Suheil bin ‘Amar hingga ia tidak dapat berpidato men­jelekkan anda lagi setelah hari ini . . . !”
Ujar Rasulullah saw.:  ”Jangan wahai Umar! Saya tak hendak merusak tubuh seseorang, karena nanti Allah akan merusak tubuhku, walaupun saya ini seorang Nabi … !” Kemu­dian Rasulullah menarik Umar ke dekatnya, lalu katanya:  ”Hai Umar! Mudah-mudahan esok, pendirian Suheil akan berubah menjadi seperti yang kamu sukai . . . !”
Hari-hari pun berlalu, hari berganti hari dan nubuwat Rasulullah muncul menjadi kenyataan . . . . Dan Suheil bin ‘Amar seorang ahli pidato Quraisy yang terbesar, beralih menjadi seorang ahli pidato ulung di antara ahli-ahli pidato Islam . . , serta dari seorang musyrik yang fanatik berbalik menjadi seorang Mu’min yang taat, yang kedua matanya tak pernah kering dari menangis disebabkan takutnya kepada Allah . .. ! Dan salah seorang pemuka Quraisy serta panglima tentaranya berganti haluan menjadi prajurit yang tangguh di jalan Islam . . . , seorang prajurit yang telah berjanji terhadap dirinya akan selalu ikut berjihad dan berperang, sampai ia mati dalam peperangan itu, dengan harapan Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah diperbuatnya . – - !
Nah, siapakah dia orang musyrik berkepala batu yang kemu­dian menjadi seorang Muslim yang bertaqwa dan menemui syahidnya itu . . . ? Itulah dia Suheil bin ‘Amar . . . ! Salah seorang pemimpin Quraisy yang terkemuka dan cerdik pandai­nya yang dapat dibanggakan           Dan dialah yang diutus oleh kaum Quraisy untuk meyakinkan Nabi agar membatalkan rencananya memasuki Mekah waktu periatiwa Hudaibiyah … !
Di akhir tahun keenam Hijrah, Rasulullah saw. bersama para shahabatnya pergi ke Mekah dengan tujuan berziarah ke Baitullah dan melakukan ‘umrah  jadi bukan dengan maksud hendak berperang, tanpa mengadakan persiapan untuk pepe­rangan.
Keberangkatan mereka ini segera diketahui oleh Quraisy, hingga mereka pergi menghadang mereka hendak menghalangi Muslimin mencapai tujuan mereka. Suasana pun menjadi tegang dan hati Kaum Muslimin berdebar-debar. Rasulullah berkata kepada para shahabatnya: — “Jika pada waktu ini Quraisy mengajak kita untuk mengambil langkah ke arah dihubungkan­nya tali silaturahmi, pastilah kukabulkan … !”
Quraisy pun mengirim utusan demi utusan kepada Nabi saw. Semua mereka diberinya keterangan bahwa kedatangannya bukanlah untuk berperang, tetapi hanyalah untuk mengunjungi Baitullah al-Haram dan menjunjung tinggi upacara-upacara kebesarannya.
Dan setiap utusan itu kembali, Quraisy mengirim lagi utusan yang lebih bijak dan lebih diaegani, hingga sampai kepada ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, seorang yang lebih tepat untuk diaerahi tugas seperti ini. Menutut anggapan Quraisy ia akan mampu meyakinkan Rasulullah untuk kembali pulang.
Tetapi tak lama antaranya ‘Urwah telah berada di hadapan mereka, katanya:
“Hai manalah rekan-rekanku kaum Quraisy . . . ! Saya sudah pernah berkunjung kepada Kaisar, kepada Kisra dan kepada Negus di iatana mereka masing-masing …. Dan sungguh demi Allah, tak seorang raja pun saya lihat yang dihormati oleh rakyat­nya, seperti halnya Muhammad oleh Para shahabatnya . . . ! Dan sungguh, sekelilingnya saya dapati suatu kaum yang sekali-­kali takkan rela membiarkannya dapat cedera . . . ! Nah, per­timbangkanlah apa yang hendak tuan lakukan masak-masak … ! “
Saat itu orang-orang Quraisy pun merasa yakin bahwa usaha­-usaha mereka tak ada faedahnya, hingga mereka memutuskan untuk menempuh jalan berunding dan perdamaian. Dan untuk melaksanakan tugas ini mereka pilihlah pemimpin mereka yang lebih tepat …. tiada lain dari Suheil bin ‘Amar ….
Kaum Muslimin melihat Suheil datang dan mengenal siapa dia. Maka maklumlah mereka bahwa orang-orang Quraisy akhir­nya berusaha untuk berdamai dan mencapai Saling pengertian, dengan alasan bahwa yang mereka utus itu ialah Suheil bin ‘Amar … !
Suheil duduk berhadapan muka dengan Rasulullah, dan terjadilah perundingan yang berlangsung lama di antara mereka, yang berakhir dengan tercapainya perdamaian. Dalam perunding­an ini Suheil berusaha hendak mengambil keuntungan sebanyak-­banyaknya bagi Quraisy. Didukung Pula oleh toleransi luhur dan mulia dari Nabi saw. yang mendasari berhasilnya perdamaian tersebut.
Dalam pada itu waktu berjalan terus, hingga tibalah tahun ke delapan Hijriyah …. dan Rasulullah bersama Kaum Muslimin berangkat untuk membebaskan Mekah, yaitu setelah Quraisy melanggar perjanjian dan ikrar mereka dengan Nabi saw. serta orang-orang Muhajirin pun kembalilah ke kampung halaman mereka setelah mereka dulu diusir daripadanya dengan paksa. Bersama mereka ikut Pula orang-orang Anshar, yakni yang telah membawa mereka berlindung di kota mereka, serta mengutama­kan mereka dari diri mereka sendiri …. Kembalilah Pula Islam secara keseluruhannya, mengibarkan panji-panji kemenangannya di angkasa luas …. Dan kota Mekah pun membukakan semua pintunya . . . . Sementara orang-orang musyrik terlena dalam kebingungannya ….
Nah, menurut perkiraan anda, apakah nasib yang akan ditemui sekarang ini oleh orang-orang itu, yakni orang-orang yang telah menyalah-gunakan kekuatan mereka selama ini ter­hadap Kaum Muslimin, berupa siksaan, pembakaran, pengucilan dan pembunuhan … ?
Rupanya Rasulullah yang amat pengasih itu tak hendak membiarkan mereka meringkuk demikian lama di bawah tekanan perasaan yang amat pahit dan getir ini. Dengan dada yang lapang dan sikap yang lunak dan lembut, dihadapkan wajahnya kepada mereka sambil berkata, sementara getaran dan irama suaranya yang bagai menyiramkan air kasih sayang berkumandang di telinga mereka:
“Wahai segenap kaum Quraisy . . . ! Apakah menurut sangkaan kalian, yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Mendengar itu tampillah musuh Islam kemarin Suheil bin ‘Amar memberikan jawaban:
“Sangka yang baik . . . ! Anda adalah saudara kami yang mulia …. dan putera saudara kami yang mulia … !”
Sebuah senyuman yang bagaikan cahaya, tersungging di kedua bibir Rasulullah kekasih Allah itu, lalu serunya:
“Pergilah kalian … ! Semua kalian bebas . . . ! “
Ucapan yang keluar dari mulut Rasulullah yang baru saja memperoleh kemenangan ini tidaklah akan diterima begitu saja oleh orang yang masih mempunyai perasaan, kecuali dengan hati yang telah menjadi peleburan dan perpaduan antara rasa malu, ketundukan dan penyesalan
Pada saat itu juga, suasana yang penuh dengan keagungan dan kebesaran ini telah membangkitkan semua kesadaran Suheil bin ‘Amar, menyebabkannya menyerahkan dirinya kepada Allah Robbul ‘Alamin. Dan keislamannya itu, bukanlah keislaman seorang laki-laki yang menderita kekalahan lalu menyerahkan dirinya kepada taqdir  saat itu juga. Tetapi  sebagaimana akan ternyata di belakang nanti — adalah keislaman seseorang yang terpikat dan terpesona oleh kebesaran Nabi Muhammad saw. dan kebesaran Agama yang diikuti ajaran-ajarannya oleh Nabi Muhammad, dan yang dipikulnya bendera dan panji-panjinya dengan rasa cinta yang tidak terbada … !
Orang-orang yang masuk Islam di hari pembebasan kota Mekah itu disebut “thulaqa’ ” artinya orang-orang yang dibebas­kan dari segala hukum yang berlaku bagi orang yang kalah perang, karena mereka mendapat amnesti dan ampunan dari Rasulullah itulah, dengan kesadaran sendiri berpindah aqidah dari kemusyrikan ke Agama tauhid, yakni ketika beliau bersabda:  ”Pergilah tuan-tuan . . . ! Tuan-tuan semua bebas … !”
Tetapi dari segolongan orang-orang yang dibebaskan ini karena ketulusan hati mereka, kebulatan tekad dan pengurbanan yang tinggi serta ibadat dengan hati yang suci mengantarkan mereka kepada barisan pertama dari shahabat-shahabat Nabi yang budiman. Maka di antara mereka itu terdapatlah Suheil bin ‘Amar.
Agama Islam telah menempa dirinya secara baru. Dicetaknya semua bakat dan kecenderungannya dengan menambahkan yang lainnya, lalu semua itu dipacunya untuk menegakkan kebenaran, kebaikan dan keimanan . . . . Orang-orang melukiskan sifatnya dalam beberapa kalimat: “Pemaaf, pemurah . . . , banyak shalat, shaum dan bersedekah . . . serta membaca al-Quran dan menangis disebabkan takut kepada Allah … !”
Demikianlah kebesaran Suheil! Walaupun ia menganut Islam di hari pembebasan dan bukan sebelumnya, tetapi kita lihat dalam keislaman dan keimanannya itu ia mencapai kebenaran tertinggi, sedemikian tinggi hingga dapat menguasai keseluruhan dirinya dan merubahnya menjadi seorang ‘abid dan zahid, dan seorang mujahid yang mati-matian berqurban di jalan Allah.
Dan tatkala Rasulullah berpulang ke Rafiqul Ala, demi berita itu sampai ke Mekah  waktu itu Suheil sedang bermukim di sana , Kaum Muslimin yang berada di sana menjadi resah dan gelisah serta ditimpa kebingungan, seperti halnya saudara­saudara mereka di Madinah.
Maka seandainya kebingungan kota Madinah dapat dilenyap­kan ketika itu juga oleh Abu Bakar r.a. dengan kalimat-kalimat­nya yang tegas:
“Barang siapa yang mengabdi kepada Nabi Muhammad maka sesungguhnya Nabi Muhammad telah wafat! Dan barang si­apa yang mengabdi kepada Allah, maka sesungguhnya Allah tetap hidup dan takkan mati untuk selama-lamanya … !”
Kita akan sama kagum dan terpesona melihat bahwa Suheil r.a., dialah yang tampil di Mekah, dan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Abu Bakar di Madinah.
Dikumpulkannya seluruh penduduk, lalu berdiri memukau mereka dengan kalimat-kalimatnya yang mantap, memaparkan bahwa Muhammad itu benar-benar Rasul Allah dan bahwa ia tidak wafat sebelum menyampaikan amanat dan melaksanakan tugas risalat. Dan sekarang menjadi kewajiban bagi orang-orang Mu’min untuk meneruskan perjalanan menempuh jalan yang telah digariskannya.
Maka dengan langkah dan tindakan yang diambil oleh Suheil ini, serta dengan ucapannya yang tepat dan keimanannya yang kuat, terhindariah fitnah yang hampir saja menumbangkan keimanan sebagian manusia di Mekah ketika mendengar wa­fatnya Rasulullah … !
Dan pada hari itu pula, lebih dari saat-saat lainnya, ter­pampanglah secara gemilang kebenaran dari nubuwat Rasulullah saw IBukankah telah dikatakannya kepada Umar ketika ia meminta idzin untuk mencabut dua buah gigi muka dari Suheil sewaktu tertawannya di perang Badar:
“Jangan, karena mungkin pada suatu ketika kamu akan menyenanginya … !”
Nah, pada hari inilah dan ketika sampai ke telinga Kaum Muslimin di Madinah tindakan yang diambil Suheil di Mekah serta pidatonya yang mengagumkan yang mengukuhkan keimanan dalam hati, teringatlah Umar bin Khatthab akan Ramalan Rasulullah …. Lama sekali ia tertawa, karena tibalah hari yang dijanjikan itu, di saat Islam memperoleh man’faat dari dua buah gigi Suheil yang sedianya akan dicabut dan dirontok­kannya … !
Di saat Suheil masuk Islam di hari dibebaskannya kota Mekah . . . . Dan setelah ia merasakan manisnva iman, la berjanji terhadap dirinya yang maksudnya dapat disimpulkan pada kalimat-kalimat berikut ini:  ”Demi Allah, suatu suasana yang saya alami bersama orang-orang musyrik, pasti akan saya alami pula seperti itu bersama Kaum Muslimin! Dan setiap nafkah yang saya belanjakan bersama orang-orang musyrik, pasti akan saya belanjakan pula seperti itu bersama Kaum Mus­limin! Semoga perbuatan-perbuatan saya belakangan ini akan dapat mengimbangi perbuatan-perbuatan saya terdahulu … ! “
Dahulu dengan tekun ia berdiri di depan berhala-berhala. Maka sekarang la akan berbuat lebih dari itu berdiri di hadapan Allah Yang Mafia Esa bersama orang-orang Mu’min . . . ‘ Itulah sebabnya ia terus shalat dan shalat …. tekun shaum dan shaum . . . segala macam ibadat yang dapat mensucikan jiwa dan mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala, pasti dilakukannya sebanyak-banyaknya … !
Demikian pula di masa silam, ia berdiri di arena peperangan bersama orang-orang musyrik menghadapi Islam! Maka sekarang ia harus tampil di barisan tentara Islam sebagai prajurit yang gagah berani, untuk memadamkan bersama para pendekar kebenaran, perapian Nubhar yang disembah oleh orang-orang Persi, dan mereka bakar di dalamnya saji-sajian rakyat yang mereka perbudak . . . , serta melenyapkan pula bersama para pendekar kebenaran itu kegelapan bangsa Romawi dan ke­dhaliman mereka, dan menyebarkan kalimat tauhid dan taqwa ke pelosok-pelosok dunia … !
Maka pergilah ia ke Syria bersama tentara Islam untuk turut mengambil bagian dalam peperangan-peperangan di sana. Tidak ketinggalan pada pertempuran Yarmuk, saat Kaum Muslimin menerjuni pertarungan yang terdahsyat dan paling sengit yang pernah mereka alami ….
Hatinya bagaikan terbang kegirangan karena mendapatkan kesempatan yang amat baik ini, guna menebus kemusyrikan dan kesalahan-kesalahannya di masa jahiliyah dengan jiwa­ raganya.
Suheil amat mencintai kampung halamannya Mekah, sampai lupa cinta yang dapat mengurbankan dirinya . . . . Walaupun demikian, ia tak hendak kembali ke sana setelah kemenangan Kaum Muslimin di Syria, katanya “Saya dengar Rasulullah saw. bersabda:
“Ketekunan seseorang pada sesuatu saat dalain perjuangan di jalan Allah, lebih baik baginya daripada awal sepanjang hidupnya … ! ” Hadits.
Maka sungguh saya akan berjuang di jalan Allah sampai mati, dan takkan kembali ke Mekah . . . !”
Suheil memenuhi janjinya ini . . . . Dan tetaplah ia berjuang di medan perang sepanjang hayatnya, hingga tiba saat keberang­katannya. Maka ketika ia pergi segeralah ruhnya terbang men­dapatkan rahmat dan keridlaan Allah … !
http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/10/suheil-bin-amar/