Senin, 11 Juli 2011

11. HAMZAH BN ABDUL MUTHALLIB

SINGA ALLAH DAN PANGLIMA SYUHADA
Kota Mekah masih mendengkur dalam tidur nyenyaknya, yakni setelah Siang yang penuh dengan usaha dan kesibukan dengan ibadat dan aneka permainan.
Orang Quraisy tidur lelap dan membalik-balikkan diri mereka di atas ranjang . . . , tetapi di sana ada seorang insan yang resah geliaah dan matanya tak hendak terpejam. Ia cepat masuk kamar tidur dan beriatirahat dalam waktu singkat, lalu bangkit dengan penuh kerinduan karena rupanya ada janji dengan Allah. Ia menuju tempat shalat yang terletak di biliknya, lalu munajat kepada Allah dan berdu’a dengan tekunnya ….
Dan setiap istrinya terbangun demi mendengar gemuruh dada­nya yang turun naik dan bunyi du’anya yang hangat serta terus- menerus, menyebabkannya merasa kasihan dan memohon agar ia memperhatikan dirinya dan mengambil waktu iatirahat yang cukup. Maka dengan air mata mengalir yang mendahului kata-­katanya dijawabnya: “Wahai Khadijah . . . ! Masa untuk tidur berlalulah sudah … ! “
Memang perihalnya belum lagi memusingkan orang-orang Quraisy dan mengganggu tidur nyenyak mereka, walaupun sudah mulai menjadi titik perhatian mereka. Ia barn Saja memulai da’wahnya dan menyampaikan ajarannya secara rahasia dan berbisik-bisik. Orang-orang yang beriman kepadanya waktu itu masih amat sedikit ….
Tetapi di antara orang-orang yang belum beriman itu ada pula yang menaruh kasih sayang dan penghormatan kepadanya serta memendam niat dan keinginan hati untuk beriman dan menyertai kafilahnya yang penuh barkah. Mereka terhalang untuk menyatakan maksud itu hanyalah karena keadaan suasana dan lingkungan, tekanan kebiasaan dan adat-istiadat, serta kebimbangan hati untuk mengabulkan panggilan atau menolak seruan. Maka dalam golongan ini terdapatlah Hamzah bin Abdul Mutthalib, yaitu paman Nabi saw. dan saudara sesusunya ….
Hamzah telah kenal akan kebesaran dan kesempurnaan ke­ponakannya, tahu sebaik-baiknya akan kepribadian dan watak serta akhlaqnya. la tidak hanya mengenalnya sebagai seorang paman terhadap keponakannya semata, tetapi juga sebagai saudara terhadap saudaranya, dan shahabat terhadap teman sejawatnya. Sebabnya ialah karena Rasulullah dan Hamzah dari satu generasi, dan usia yang berdekatan. Mereka dibesarkan bersama, bermain bersama dan menjadi shahabat karib, serta menempuh jalan kehidupan dari bermula selangkah demi se­langkah secara bersama-lama pula ….
Hanya memang, di waktu muda masing-masing mereka telah menempuh jalan sendiri-sendiri. Hamzah mulai bersaing dengan teman-temannya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan merintis jalan bagi dirinya untuk beroleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar kota Mekah dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Sementara Muhammad saw. tetap bertahan di ling­kungan cahaya ruhani yang mulai menerangi jalan baginya me­nuju Ilahi, serta mengikuti bisikan hati yang mengajaknya men­jauhi kebisingan hidup untuk mencapai renungan yang dalam, serta mempersiapkan diri dalam menyambut dan menerima kebe­naran ….
Kita tegaskan, bahwa walaupun kedua anak muda itu telah mengambil arah yang berlainan, tetapi tidak satu detik pun hilang dari ingatan Hamzah. Keutamaan shahabat dan ke­ponakannya, yakni keutamaan dan kemuliaan yang mengantar­kan pemiliknya kepada kedudukan tinggi di mata manusia umumnya, dan melukiskan secara gamblang masa depannya yang gemilang telah banyak diketahui Hamzah . . . .
Pagi hari itu, seperti biasa Hamzah keluar rumahnya. Di sisi Ka’bah didapatinya se rombongan pembesar dan bangsawan Quraisy, lalu ia pun duduk bersama mereka, mendengarkan apa yang mereka percakapkan. Rupanya mereka sedang membicarakan Muhammad saw
Dan untuk pertama kali Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah diaebabkan oleh da’wah yang dilakukan oleh keponakannya. Dari ucapan mereka tersembur amarah murka, kebencian dan kedengkian.
Sebelum itu mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli dan ambil puling. Tetapi sekarang wajah-wajah mereka mengerikan, menyeringai karena berang dan kecewa serta hendak menerkam. Lama Hamzah tertawa mendengar obrolan mereka. Dituduhnya mereka keterlaluan dan salah tafsir ….
Di saat itu Abu Jahal segera menegaskan kepada hadlirin bahwa sebenarnya Hamzah paling tahu akan bahaya ajaran yang diserukan oleh Muhammad saw., hanya ia menganggapnya enteng hingga Quraisy jadi lengah dan lalai. Kemudian nanti datang suatu saat di mana keadaan telah terlambat dan terbuka­lah baginya bahaya yang dibawa oleh keponakannya itu ….
Demikianlah mereka melanjutkan pembicaraan dalam suasana hiruk pikuk yang tidak luput dari ancaman, sementara Hamzah kadang-kadang turut tertawa dan kadang-kadang menampakkan Wajah murka. Dan ketika pertemuan itu usai dan masing-masing meneruskan acaranya, kepala Hamzah pun dipenuhi fikiran dan perasaan baru, menyebabkan perhatiannya tertuju kepada urusan keponakannya dan mempertimbangkan kembali buruk baik­nya….
Hari-hari pun berlalu silih berganti, dan makin lama desas­-desus yang disebarkan Quraisy sekitar da’wah Rasul makin memuncak ….kemudian desas-desus itu berubah menjadi hasutan dan kom­Plotan, sementara Hamzah memperhatikan suasana dari jauh ….
Ketabahan hati keponakannya itu amat mengherankannya, sementara usahanya yang mati-matian membela keimanan dan kelancaran da’wahnya, merupakan suatu hal yang baru bagi kaum Quraisy umumnya, walaupun sebenarnya mereka terkenal gigih keras kepala.
Dan andainya ketika itu keragu-raguan dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang tentang kebenaran Rasulullah dan ke­besaran jiwanya, tetapi ia takkan menemukan jalan untuk mempengaruhi dan memperdayakan Hamzah. Hamzah adalah orang yang paling kenal siapa Muhammad saw, semenjak masa kanak-kanak hingga waktu mudanya yang tidak bernoda, dan sampai usia dewasanya yang terpercaya.
Ia kenal Muhammad saw. sebagaimana ia kenal akan dirinya, bahkan lebih dari itu lagi. Semenjak mereka lahir ke alam wujud, menjadi remaja dan sama-sama berangkat dewasa, di mana lembaran kehidupan Muhammad saw. terbuka di hadapan mata­nya suci bersih laksana sinar matahari, tidak satu cacat pun di­lihatnya pada lembaran itu … !
Tidak sekali pun dilihatnya ia marah atau naik darah, kecewa atau putus asa , apalagi menampakkan ketamakan dan keserakah­an, berolok-olok atau berbuat hal yang sia-sia.
Dan Hamzah bukan saja seorang yang menikmati kekuatan jasmaniah belaka, tetapi ia dikaruniai pula kekuatan kemauan dan ketajaman akal fikiran. Dari itu tidak wajar bila ia ketinggal­an dan tak ingin mengikuti orang yang diketahuinya betul-betul jujur dan dapat dipercaya. Hanya hal itu dipendamnya dalam hati, menunggu saat yang tepat untuk membukakannya, yang waktunya telah dekat dan tidak akan menunggu lama ….
Dan hari yang ditunggu-tunggu itu pun datanglah …. Ham­zah keluar dari rumahnya menjinjing busur dan menujukan langkahnya ke arah padang belantara untuk melatih kegemaran dan melakukan olah raga yang amat disukainya yaitu berburu. Ia amat mahir dalam hal ini.
Ada kira-kira setengah hari ia menghabiakan waktunya di sana, dan ketika kembali dari perburuannya ia langsung pergi ke Ka’bah untuk thawaf seperti biasa sebelum pulang ke rumahnya. Setibanya dekat Ka’bah ia ditemui oleh seorang pelayan wanita Abdullah bin Jud’an. Dan demi dilihatnya Hamzah telah dekat, berkatalah pelayan itu kepadanya: “Wahai Abu Umarah, seandainya anda melihat apa yang dialami oleh keponakan anda Muhammad saw. baru-baru ini . . . . ! Abul Hakam bin Hiayam, ketika mendapatkan Muhammad saw. sedang duduk di sana, disakiti dan dimakinya, hingga mengalami hal-­hal yang tidak diinginkan … !”
Lalu dilanjutkannya cerita mengenai perlakuan Abu Jahal kepada Rasulullah ….
Hamzah mendengarkan perkataannya dengan baik, kemudian ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu membawa busur panah­nya dan menyandangkan ke bahunya. Setelah itu dengan langkah cepat tetapi tegap ia pergi menuju Ka’bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di sana …. Dan jika tidak ditemui­nya, maka pencarian akan dilakukannya di mana pun juga sampai berhasil … .
- Tetapi belum lagi sampai di Ka’bah, kelihatan olehnya Abu Jahal di pekarangannya sedang dikelilingi oleh beberapa orang pembesar Quraisy. Maka dalam ketenangan yang mencekam, Hamzah maju mendapatkan Abu Jahal lalu melepaskan busurnya dan memukulkannya ke kepala Abu Jahal hingga luka dan mengeluarkan darah. Dan sebelum orang-orang itu menyadari apa Yang terjadi, Hamzah pun membentak Abu Jahal, katanya:
“Kenapa kamu cela dan kamu maki Muhammad saw., pada­hal aku telah menganut Agamanya dan mengatakan apa yang dikatakannva ? Nah, cobalah ulangi kembali makianmu itu kepadaku jika kamu berani!”
Dalam sekejap waktu orang-orang yang berada di sana lupa akan penghinaan yang baru menimpa pemimpin mereka dan darah yang mengalir dari kepalanya, terpesona oleh kata-kata Yang keluar dari mulut Hamzah yang tak ubah bagai bunyi halilintar di siang bolong . . . , yaitu kata-kata yang diucapkannya untuk menyatakan bahwa ia telah menganut Agama Muhammad saw., mengakui apa yang diakuinya dan mengatakan apa yang dikatakannya ….
Apa, apakah Hamzah telah masuk Ialam … ?
Dan …. seorang anak muda Quraisy yang paling gigih membela haknya serta yang paling mulia … ! Sungguh suatu bencana besar yang tak dapat diatasi oleh bangsa Quraisy Keislaman Hamzah akan menarik perhatian tokoh­-tokoh pilihan untuk sama-sama memasuki Agama itu, hingga Muhammad saw. akan beroleh tenaga dan kekuatan yang akan membela da’wah dan memperkokoh barisannya, dan di suatu saat nanti orang-orang Quraisy akan bangun dan sadarkan diri, karena mendengar bunyi linggis dan tembilang yang menghancur­leburkan berhala-berhala dan tuhan-tuhan mereka … !
Memang tidak salah . . .! Hamzah telah masuk Ialam, dan di hadapan umum telah dikeluarkan simpanan hatinya selama ini, dan ditinggalkannya orang banyak itu merenungi kekecewa­an dan kegagalan harapan mereka, dan dibiarkannya Abu Jahal menjilat darah yang mengucur dari kepalanya yang luka. Hamzah kembali memungut busur dengan tangan kanannya, dan meng­gantungkannya di bahu, lalu dengan langkah yang tegap dan hati Yang pekat pergi pulang ke rumahnya ….
Hamzah adalah seorang yang berfikiran cerdas dan ber­pendirian keras ….
Ketika ia telah pulang ke rumahnya dan hilang rasa lelahnya duduklah ia, dan membawa dirinya berfikir serta merenungkan periatiwa yang baru Saja dialaminya ….
Bagaimana cara ia menyatakan keislamannya … dan kapan …. ? Ia telah menyatakannya dalam saat emosi dan tersinggung, saat amarah dan naik darah …. Ia tak sudi bila keponakannya diperlakukan secara sewenang-wenang dan dianiaya tanpa adanya pembela! Oleh sebab itulah ia jadi murka dan tampil membela Muhammad saw. serta kehormatan Bani Hasyim, maka dipukul­nya kepala Abu Jahal sampai luka, dan diteriakkan ke mukanya bahwa ia telah beragama Ialam . . . .
Tetapi, apakah merupakan cara terbaik bagi seseorang untuk meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya, agama yang telah mereka anut semenjak beribu tahun dan berabad-abad … ? Lalu ia langsung menerima Agama baru yang belum lagi diselidiki ajarannya dan belum dikenal hakikatnya kecuali sekelumit kecil
Benar, ia tidak sedikit pun ragu tentang kebenaran Muham­mad saw. dan ketulusan maksudnya. Tetapi mungkinkah se­seorang menerima satu Agama baru berikut segala kewajiban dan tanggung jawabnya di saat marah dan naik darah sebagai yang dilakukan oleh Hamzah sekarang ini?
Memang dalam dadanya terpendam niat untuk menghormati da’wah baru yang panji-panjinya dipikul oleh keponakannya. Hanya seandainya ia telah ditaqdirkan akan menjadi salah se­orang pengikut dari da’wah ini, yang beriman dan menyediakan diri untuk menjadi pembantu dan pembelanya, maka apabilakah sebenarnya waktu yang tepat untuk memasukinya … ? Apakah di saat berang dan tersinggung ataukah setelah berfikir dan merenung … ?
Demikianlah kelugasan pendirian dan kemurnian berfikir mengharuskannya untuk membawa semua masalah ini kembali ke batu ujian dan neraca pertimbangan. Mulailah ia berfikir dan hari-hari berlalu . . . , Siang hatinya tak pernah tenteram dan malam matanya tak pernah terpejam ….
Dan anehnya ketika kita berusaha mencari kebenaran dengan perantaraan akal, maka kebimbangan pun tampil ke depan sebagai penghalang …. Demikianlah, demi Hamzah mengguna­kan akalnya untuk membahas masalah Agama Ialam dan mem­banding-bandingkan yang lama dengan yang baru, timbullah keraguan dalam dirinya yang dibangkitkan oleh kerinduan yang telah mendarah daging terhadap agama nenek moyangnya, dan kecemasan yang telah jadi pusaka turun-temurun terhadap segala hal yang baru ….
Bangkitlah semua kenangannya mengenai Ka’bah berikut tuhan-tuhan dan berhala-berhalanya, begitupun tentang pengaruh keagamaan yang telah ditanamkan oleh patung-patung pahatan itu terhadap semua penduduk Mekah dan bangsa Quraisy umumnya . . . , hingga memisahkan diri dari sejarah tersebut dan meninggalkan agama lama yang telah berurat-akar ini, tak ubah bagai hendak melompati jurang yang lebar ….
Timbullah keheranannya mengapa orang demikian mudah dan tergesa-gesa mau meninggalkan agama nenek moyang­nya . . . . Maka rnenyesallah ia atas apa yang telah dilakukannya, hanya perjalanan akal tetap diteruskan dan tidak dihenti­kannya ….
Dan tatkala dirasakan bahwa akal fikiran semata tidak berdaya, maka dengan ikhlas dan tulus hati, ia pun pergi berlindung kepada yang ghaib. Di sisi Ka’bah, sambil wajahnya menengadah ke langit, dan dengan minta pertolongan kepada segala kudrat dan nur yang terdapat di alam wujud ini, ia memohon dan berdo’a agar beroleh petunjuk kepada yang haq dan jalan yang lurus.
Dan marilah kita dengar ceritanya ketika mengisahkan berita selanjutnya, katanya:
, .. . . Kemudian timbullah sesal dalam hatiku karena meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku . . .  dan aku pun diliputi kebingungan hingga mata tak hendak tidur… . Lalu pergilah aku ke Ka’bah, dan memohon kepada Allah agar membukakan hatiku untuk menerima kebenaran dan melenyapkan segala keraguan. Maka Allah pun mengabulkan permohonanku itu dan memenuhi hatiku dengan keyakinan . . . . Aku pun segera menemui Rasulullah saw., dan me­maparkan keadaanku padanya, maka dido’akannya kepada Allah agar ditetapkan-Nya hatiku dalam Agamanya . . . .
Demikianlah Hamzah menganut Ialam secara yakin ….
Allah menguatkan Agama Ialam dengan Hamzah, dan sebagai batu karang yang kukuh menjulang ia membela Rasulullah dan shahabat-shahabatnya yang lemah . . . . Abu Jahal melihat Hamzah berdiri dalam barisan Kaum Muslimin, maka menurut keyakinannya perang sudah tak dapat dielakkan lagi. Oleh sebab itu dihasutnyalah orang-orang Quraisy untuk melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan para shahabat, dan ia terns  mempersiapkan diri untuk melancarkan perang saudara yang akan dapat memuaskan haus dahaga, melipur rasa dendam dan sakit hatinya.
Memang, tentu saja Hamzah tak dapat membendung segala siksaan mereka, tetapi keialamannya seolah-olah menjadi benteng dan periaai, di samping menjadi days penarik bagi kebanyakan kabilah Arab, — apalagi setelah diikuti pula dengan masuk Ialamnya Umar bin Khatthab — untuk mengikuti langkahnya, hingga mereka pun memasukinya dengan berduyun-duyun ….
Dan semenjak masuk Ialam, Hamzah telah bernadzar akan membaktikan segala keperwiraan, kesehatan bahkan hidup matinya untuk Allah dan Agama-Nya, hingga Nabi saw. berkenan memasangkan pada dirinya julukan iatimewa ini: “Singa Allah dan singa Rasul-Nya “.
Sariyah, atau angkatan bersenjata tanpa disertai Nabi, yang mula pertama dikirim untuk menghadapi musuh, dipimpin oleh Hamzah….
Dan panji-panji pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah saw. kepada salah seorang Muslimin, diserahkan kepada Hamzah …. Kemudian ketika kedua angkatan bersenjata berhadapan-muka di perang Badar, keberanian luar biasa telah ditunjukkan oleh Singa Allah dan Singa Rasul-Nya yang tiada lain dari Hamzah …. !
Sisa-sisa tentara Quraisy kembali dari Badar ke Mekah dan berjalan terhuyung-huyung membawa kegagalan dan kekalahan – - – - Abu Sufyan tak ubah bagai pohon kayu besar yang tumbang dan tercabut dengan urat akarnya. la berjalan dengan kepala tunduk meninggalkan di tengah-tengah medan, tubuh pemuka-pernuka Quraisy yang telah tiada bernyawa, seperti Abu Jahal, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayah bin Khalaf, ‘tJqbah bin Abi Mu’aith, Aswad bin Abdul Aswad al Makhzumi, walid bin ‘Utbah, Nadlar bin Harits, ‘Ash bin Sa’id, Tha’mah bin ‘Adi serta beberapa puluh pemimpin dan tokoh Quraisy lainnya seperti mereka.
Sungguh, Quraisy takkan mau menelan kekalahan pahit ini begitu saja . . . . Mereka mulai mempersiapkan diri, meng­himpun segala dana dan daya untuk menuntut bela dan menebus kekalahan mereka. Pendeknya Quraisy telah bertekad bulat untuk berperang …. !
Dan datanglah saatnya perang Uhud di mana orang-orang Quraisy tumpah keluar, disertai oleh sekutu mereka dari ber­bagai kabilah Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Sedang yang dituju oleh pemuka-pemuka Quraisy dengan pepe­rangan ini sebagai sasaran, hanyalah dua orang saja, yaitu Rasul­ullah saw. dan Hamzah r.a.
Memang, dari buah pembicaraan dan rencana yang mereka atur sebelum perang, dapatlah diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah sebagai sasaran dan bulan-bulanan dari peperangan ini.
sebelum berangkat, mereka telah memilih seseorang yang diberi tugas untuk menyelesaikan rencana mereka terhadap Hamzah. Orang itu adalah seorang budak Habsyi yang memiliki kemahiran iatimewa dalam melemparkan tombak .
Dalam peperangan nanti mereka memerintahkan budak itu untuk memusatkan perhatian hanya kepada satu tugas saja, yaitu menjadikan Hamzah sebagai barang buruan dan melepaskan lemparan tombak dengan lemparan yang mematikan kepadanya. Dan mereka memperingatkannya agar tidak melalaikan tugas tersebut bagaimanapun juga jalan peperangan dan akhir ke­sudahannya.
sebagai imbalan mereka berjanji akan membalas jasanya dengan harga besar dan tinggi, yakni kebebasan dirinya — Budak yang bernama Wahsyi itu adalah milik Jubair bin Muth’am — waktu perang Badar, paman Jubair ini tewas di tengah medan dan ia ingin menuntut bela, maka katanya kepada Wahsyi: “Berangkatlah bersama orang-orang itu! Dan jika kamu berhasil membunuh Hamzah, maka kamu bebas … ! “
Kemudian mereka bawa ia kepada Hindun binti ‘Utbah yakni istri Abu Sufyan, agar dihasut dan didesaknya untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan.
Dalam perang Badar, Hindun ini telah kehilangan bapak, paman, saudara dan puteranya . . . . disampaikan orang kepadanya bahwa Hamzahlah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan terbunuhnya yang lain.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bahwa wanita inilah di antara orang-orang Quraisy, baik wanita maupun laki-lakinya yang paling keras menghasut untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala Hamzah, betapa juga mahal harga yang harus dibayarnya …. !
Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tak ada pekerjaan Hindun kecuali menggembleng dan menghasut Wahsyi serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya kepada Hamzah dan merencanakan peranan yang akan dimainkan oleh budak itu …. la telah menjanjikan kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, akan diberinya kekayaan dan perhiasan paling berharga yang dimiliki oleh wanita — sementara itu jari-jarinya yang penuh kebencian memegang anting-anting, permata yang mahal serta kalung emas yang terlilit pada lehernya —, lalu dengan kedua matanya yang bercahaya katanya kepada Wahsyi: “Jika kamu dapat membunuh Hamzah, maka semua ini menjadi milikmu …. !”
Air liur Wahsyi pun mengalirlah mendengar itu . . . dan angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak belian, begitu pula ia ingin segera memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghias leher istri pemimpin dan putri tokoh suku Quraisy …. !
. Demikianlah persekongkolan jahat, di mana segala unsur­-unsur perang sama-sama menginginkan Hamzah r.a. terbunuh sistim terbuka tanpa ditawar-tawar.
Dan pertempuran itu pun tibalah ….
Kedua pasukan telah berhadapan muka, sementara Hamzah berada di tengah-tengah medan yang menjadi sarang maut dan penderitaan. Ia memakai pakaian perang, sedang di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa diambilnya sebagai peng­hias dadanya dalam peperangan ….
Hamzah mulai menyerbu dan menyerang kiri kanan, dan setiap kepala yang diarahnya pastilah putus oleh pedangnya. Pukulannya terhadap orang-orang musyrik tiada henti-hentinya, dan seolah-olah maut menyerahkan diri ke dalam tangannya, dilontarkannya kepada siapa yang dikehendakinya, lalu ter­tancap di hulu hatinya …. !
Seluruh Kaum Muslimin maju dan menyerbu ke muka, hingga kemenangan menentukan telah hampir berada di tangan, dan sisa-sisa Quraisy terpukul mundur dan lari porak-poranda. Dan seandainya pasukan panah tidak meninggalkan kedudukan mereka di puncak bukit, dan turun ke bawah untuk memungut barang-barang rampasan dari musuh yang kalah . . . , sekiranya mereka tidak melanggar perintah dan tidak membiarkan garis pertahanan panjang menjadi terbuka bagi masuknya pasukan berkuda Quraisy, pastilah perang Uhud akan menamatkan riwayat mereka dan jadi kuburan bagi kaum penyerang baik lelaki maupun wanita, bahkan bagi kuda dan unta mereka …. !
Maka di saat mereka lengah dan tidak waspada itulah pasukan berkuda Quraisy menyerang Kaum Muslimin dari belakang hingga mereka jadi sasaran dan bulan-bulanan pedang yang menari-nari berkelebatan ….
Terpaksalah Kaum Muslimin mengatur barisan kembali dan memungut senjata yang telah ditinggalkan oleh sebagian mereka yang lari karena serbuan Quraisy yang mendadak itu
Tetapi sergapan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu akibatnya memang amat kejam dan pahit sekali …. ! Hamzah melihat apa yang terjadi, maka baik semangat, tenaga maupun perjuangannya dijadikannya berlipat ganda . . . . Ia menerjang ke kiri dan ke kanan, ke muka dan ke belakang, sementara Wahsyi sedang mengintainya di sana . . . , dan me­nunggu terbukanya kesempatan untuk melemparkan tombak ke tubuhnya ….
Marilah sekarang kita dengarkan cerita Wahsyi menyampai­kan laporan pandangan mata tentang periatiwa tersebut, katanya
“Saya seorang Habsyi, dan mahir melemparkan tombak dengan teknik Habsyi, hingga jarang sekali lemparanku meleset . . . . Tatkala orang-orang telah mulai berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga akhirnya tampak di antara manusia tak ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang-orang dengan pedangnya hingga tak seorang pun yang dapat bertahan di depannya …. Maka demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat, tiba-tiba saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil he depannya …. Tatkala ia tampak oleh Hamzah, maka serunya: “Marilah ke sini hai anak tukang sunat wanita!” Lalu ditebasnya hingga tepat mengenai kepalanya ….
Ketika itu saya pun menggerakkan tombak mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya lontarkan­lah hingga mengenai pinggang bagian bawah dan tembus he bagian muka di antara dua pahanya . . . . Dicobanya bangkit ke arahku, tetapi ia tak berdaya lalu rubuh dan meninggal ….
Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali he perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tak ada lagi tugas dan keperluanku. Saya telah membunuh­nya semata-mata demi kebebasan dari perbudahan yang memilikiku
Dan tak -ada salahnya bila kita mendengarkan kisah Wahsyi selanjutnya:
“Sesampainya di Mekah saya pun dibebaskan. Saya tetap bermukim di sana sampai kota itu dimasuki oleh Rasulullah di hari pembebasan, maka saya lari he Thaif. Dan tak kala perutusan Thaif menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislaman, timbul berbagai rencana dalam fikiranku. Kataku dalam hati biarlah saya pergi he Syria, atau he Yaman, atau ke tempat lain. Demi Allah, ketika saya berada dalam ke bingungan itu datanglah seseorang mengatakan kepadaku: “Hai tolol! Rasulullah tak hendak membunuh seseorang yang masuk Islam … ! “
Maka pergilah saya mendapatkan Rasulullah saw. di Ma­dinah. Saya baru tampak olehnya ketika tiba-tiba telah berdiri di depannya mengucapkan dua kalimat syahadat. Tatkala saya dilihatnya, beliau bertanya:
“Apakah kamu ini Wahsyi … ?
“Benar ya Rasulullah’; ujarku.

Lalu sabdanya: “Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah!”

Maka saya Ceritakanlah. Dan setelah cerita saya itu selesai, sabdanya pula: “Sangat menyesal . . .! Sebaiknya engkau menghindarkan perjumpaan denganku . .
Maka selalulah saya menghindarkan diri dari hadapan dan jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah agar tidak ke­lihatan oleh beliau sampai saat beliau diwafatkan Allah …. Tatkala Kaum Muslimin pergi memadamkan pemberontakan (Nabi palsu) Musailamatul Kadzdzah penguasa Yamamah, saya pun ikut bersama mereka dan membawa tombak yang saya gunakan untuk membunuh Hamzah dahulu.
Ketika orang-orang mulai bertempur saya lihat Musailamatul Kadzdzah sedang berdiri dengan pedang di tangan. Maka saya pun bersiap-siaplah dan menggerakkan tombak mem­buat ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya lempar­lah dan menemui sasarannya.
Maka sekiranya saya dengan tombak itu telah membunuh sebaik-baik manusia yaitu Hamzah, saya berharap kiranya Allah akan mengampuniku karena dengan tombak itu pula saya telah membunuh sejahat-jahat manusia yaitu Musai­lamah …. !
Demikianlah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya itu gugur sebagai syahid mulia . . .! Dan sebagaimana hidupnya telah menggemparkan, demikian kewafatannya telah menggemparkan pula….
Musuh-musuh tak puas hanya dengan kewafatannya belaka! Betapa mereka telah mengerahkan orang-orang Quraisy dan mencurahkan harta benda mereka dalam suatu peperangan besar yang tujuannya tiada lain dari mendapatkan Rasulullah dan pamannya Hamzah.
Hindun binti ‘Utbah ya’ni istri Abu Sufyan telah menyuruh Wahsyi agar mengambil hati Hamzah untuk dirinya. Keinginan­nya yang mempunyai imbalan ini dikabulkan oleh orang Habsyi itu. Dan tatkala ia kembali kepada Hindun dan memberikan hati Hamzah dengan tangan kanannya, maka ia menerima kalung dan anting-anting dari wanita itu dengan tangan kirinya sebagai balas jasa dalam memenuhi tugasnya ….
Maka Hindun yang ayahnya telah tewas di tangan Kaum Muslimin di perang Badar itu dan istri Abu Sufyan panglima kaum musyrik penyembah berhala, menggigit dan mengunyah hati Hamzah dengan harapan akan dapat mengobati hatinya yang pedih karena dendam dan amarah murka.
Tetapi rupanya hati itu telah liat (slot) hingga tak dapat dikunyah dan tidak mempan oleh taring-taringnya, maka di­keluarkan dari mulutnya, lalu kedengaranlah teriakan keras, yaitu seruan yang diucapkan dan berbunyi sebagai berikut:
“Kekalahan di Badar terbalaslah sudah oleh kami
Dan peperangan itu bagai hari-hari silih berganti

Daku tak tahan mengenangkan ‘Utbah ayahku itu

Begitu pula saudaraku, paman serta putera sulungku Sekarang hatiku puas, nadzar telah terpenuhi
Sakit di dada telah terobati oleh Wahsyi”
Peperangan pun usailah, kaum musyrikin menaiki unta dan menghalau kuda mereka pulang ke Mekah …. Dan Rasulullah beserta shahabat turun ke bekas medan pertempuran untuk meninjau para syuhada ….
Maka nun di sana yakni di perut lembah, ketika beliau memeriksa wajah para shahabatnya yang telah menjual diri mereka kepada Allah dan menyajikannya sebagai kurban yang ikhlas kepada Allah Yang Maha Besar, beliau berhenti sejenak …. menyaksi­kan dan membisu . . . , menggertakkan gigi dan membasahi Pelupuk mata ….
Tidak terlintas dalam angannya sedikit pun bahwa moral orang-orang Arab akan merosot sedemikian rupa hingga jatuh pada kebiadaban keji dan sampai hati merusak mayat sebagai yang disaksikan pada pamannya syahid mulia Hamzah bin Abdul Mutthalib, Singa Allah dan tokoh utama syuhada ….
Rasulullah membuka kedua matanya yang dengan airnya berkilat-kilat laksana kaca . . . ,sambil matanya tertuju kepada tubuh pamannya itu, beliau bersabda:
“Tah pernah ahu menderita mushibah seperti yang kuderita dengan peristiwa anda sekarang ini …
Dan tidak satu suasana pun yang lebih menyakitkan hatiku seperti suasana sekarang ini …

Lalu sambil menoleh kepada para shahabat, sabdanya:
“Sekiranya Shafiah saudara perempuan Hamzah takkan berduka dan tidak akan menjadi  sunnah sepeninggal­ku nanti, akan kubiarkan ia mengisi perut binatang buas dan tembolok burung nasar . . .! Tetapi sekiranya aku diberi kemenangan oleh Allah di salah satu medan per­tempuran dengan orang Quraisy, akan kuperbuat sebagai yang mereka perbuat, terhadap tiga puluh orang laki-laki di antara mereka … ! “
Maka para shahabat pun berseru pula:
“Demi Allah, sekiranya pada suatu waktu nanti kita diberi kemengan oleh Allah terhadap mereka, akan kita cincang mayat-mayat mereka seperti yang belum pernah dilakukan oleh seorang Arab pun … ! “

Tetapi Allah yang telah memberi kemuliaan kepada Hamzah sebagai seorang syahid, memuliakannya sekali lagi dengan men­jadikan gugurnya itu sebagai suatu kesempatan untuk memper­oleh pelajaran penting yang akan melindungi keadilan sepanjang masa dan mengharuskan diperhatikannya kasih sayang walau dalam qiahash dan menjatuhkan hukuman.
Demikianlah, belum lagi selesai Rasulullah saw. mengucapkan ancamannya itu, ia masih berada di tempat itu dan belum lagi meninggalkannya, turunlah wahyu berupa ayat-ayat mulia
Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan berdiakusilah dengan mereka dengan cara yang utama! Sesungguhnya Tuhan kalian lebih me­ngetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan la lebih mengetahui siapa-siapa yang beroleh petunjuk . . . . Jika kalian hendak membalas, balaslah seperti yang telah dilakukan mereka kepada kalian dan jika kalian ber­shabar, maka itu. memang lebih baik bagi orang-orang yang shabar. . . .
Dan bershabarlah kamu, dan keshabaranmu itu takkan tercapai kecuali dengan pertolongan Allah; serta jangan kamu berduka-cita atas mereka, serta janganlah sesak nafas karena tipu dtya yang mereka lakukan ….
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang taqwa serta orang-orang yang berbuat baik …. !
(Q.S.16 an-Nahl:125 — 128).
Maka turunnya ayat-ayat tersebut di tempat ini, merupakan penghormatan sebaik-baiknya terhadap Hamzah, yang pahalanya pasti akan diberikan oleh Allah!
Rasulullah saw. amat sayang kepadanya, dan sebagai telah kita sebutkan dulu, ia bukanlah hanya paman yang tercinta belaka ….
Tetapi juga saudara sesusu ….
Dan teman sepermainan …
Serta shahabat sepanjang masa ….
Dan di saat-saat perpiaahan ini, tidak ada penghormatan yang lebih utama yang ditemui Rasulullah untuk melepas ke­pergiannya daripada menshalatkannya bersama-sama dengan seluruh syuhada, seorang demi seorang ….
Demikianlah jasadnya dibawa ke tempat shalat di medan laga yang telah menyaksikan kepahlawanan dan menampung darah­nya, lalu diahalatkan oleh Rasulullah bersama para shahabat. Kemudian dibawa lagi ke sana seorang syahid lain dan diahalat­kan oleh Rasulullah. Mayat itu diangkat tetapi Hamzah dibiar­kan ditempatnya, lalu dibawa lagi syahid ketiga dan dibaringkan di dekat Hamzah dan diahalatkan pula oleh Rasulullah.
Begitulah para syuhada itu didatangkan, syahid demi syahid sernentara, Rasulullah menshalatkan mereka seorang demi se­orang, hingga bila dihitung ada tujuhpuluh kali banyaknya Rasulullah menshalatkan Hamzah waktu itu . . . .
Rasulullah pulang ke rumah meninggalkan medan peperang­an. Di jalan didengarnya wanita-wanita Bani Abdil Asyhal menangisi syuhada mereka. Maka dengan amat santun dan sayang, sabdanya:
“Tetapi Hamzah, tak ada wanita yang menangisinya …!”
Hal ini kedengaran oleh Sa’ad bin Mu’adz, dan disangkanya Rasulullah akan senang hatinya bila ada wanita yang menangisi pamannya, lalu segeralah ia mendatangi wanita-wanita Bani Asyhal tali dan menyuruh mereka agar menangisi Hamzah pula. Suruhan itu mereka lakukan, tetapi demi Rasulullah mendengai tangis mereka, ia pergi menemui mereka sabdanya:
“Bukan ini yang saya maksudkan …
Pulanglah kalian, semoga Allah memberi kalian rahmat, dan tak boleh menangis lagi setelah hari ini … ! “
Dan para penyair shahabat Rasulullah berlomba-lomba meng­gubah sya’ir untuk meratapi Hamzah dan mengenangkan jasa­-jasanya yang besar. Berkatalah Hasaan bin Tsabit dalam qashi­dahnya yang panjang:
“Tinggalkan masa lalu yang penuh berhala
Ikuti jejak Hamzah yang bergelimang dengan pahala Penunggang kuda di medan laga

Bagaikan singa terluka di hutan belantara

Seorang warga Hasyim mencapai yang cemerlang Tampil ke medan laga membela kebenaran

Gugur sebagai syahid di medan pertempuran Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran … ! “
Dan dengarlah pula kata Abdullah bin Rawahah:
“Air mata mengalir tak ada hentinya
Walau ratap dan tangia tak ada artinya Bagimu wahai singa Allah kami tafakur

Sambil bertanya Hamzahkah yang gugur? Ujian telah menimpa kami hamba Allah

Begitu pula Muhammad Rasulullah

Dengan kepergianmu benteng musuh berantakan Dengan kepergianmu

tercapailah tujuan”
Dan berkatalah pula Shafiyah binti Abdul Mutthalib, yaitu bibi Rasulullah saw. dan saudara Hamzah:
“Ilahi Rabbi pemilik ‘arasy telah memanggilnyq datang Ke dalam surga tempat hidup bersenang senang Memang itulah yang kita tunggu dan selalu harapkan
Hingga di yaumul mahsyar Hamzah beroleh tempat yang lapang
Demi Allah, selama angin barat berhembus daku takkan lupa Baik di waktu bermukim maupun bepergian ke mana saja

Selalu berkabung dan menangiai Singa Allah Sang Pemuka

Pembela Islam terhadap setiap kafir orang angkara Sementara daku mengucapkan sya’ir, keluargaku sama berdo’a.

Semoga Allah memberimu balasan, wahai saudara, wahai pembela”.

Tetapi ratapan terbaik yang menharurnkan kenangan terhadap dirinya  ialah kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah ketika berdiri di depan jasad Hamzah sewaktu dilihatnya berada di antara syuhada pertempuran itu, sabdanya:
“Melimpahlah atasmu Rahmat ar-Rahim
Akulah saksi bagimu di hadapan al-Hakim

Engkaulah pendekar penyambung silaturrahim

Berbuat kebaikan pembela yang di dhalim ….

Tak dapat kiranya disangkal, bahwa mushibah yang me­nimpa Nabi saw. diaebabkan gugur pamannya yang utama Hamzah amat besar sekali, hingga sebagai penghibur baginya amat sukarlah dapat ditemukan ….
Tetapi taqdir telah menyediakan bagi Rasulullah sebaik­baik hiburan.
Dalam perjalanan pulang dari Uhud ke rumahnya, Rasulullah saw. melewati seorang wanita warga Bani Dinar, yang dalam peperangan itu telah kehilangan bapak, suami dan saudaraya….
Ketika wanita itu melihat Kaum Muslimin pulang dari medan perang, ia segera mendapatkan mereka dan menanyakan berita pertempuran. Maka mereka sampaikan bela sungkawa atas gugurnya suami, bapak dan saudaranya itu ….
Sambil mengeluh, kiranya wanita itu menanyakan:
“Bagaimana kabarnya Rasulullah …. ?”
“Baik, alhamdulillah beliau dalam keadaan yang anda ingin­kan”, ujar mereka.
“Bawa beliau ke sini hingga saya dapat melihatnya . . . katanya pula.
Mereka pun tetap berdiri di samping wanita tersebut, hingga Rasulullah saw. telah dekat kepada mereka. Maka demi tampak oleh wanita itu, ia pun datang menghampiri Rasul­ullah, katanya:
“Apa pun mushibah yang menimpa asal tidak menimpa diri anda, soalnya enteng belaka
Memang……………………………………………
Itu adalah suatu hiburan yang terbaik dan paling kekal
Dan mungkin Rasulullah saw. akan tersenyum menyaksikan periatiwa iatimewa dan satu-satunya ini! Karena dalam dunia pengurbanan, kesetiaan dan kecintaan, peristiwa itu tak ada bandingannya ….!
Seorang wanita . lemah dan miskin …. sekaligus telah kehilangan bapak, suami dan saudaranya . . . , tetapi sambutan­nya terhadap perang yang menyampaikan berita yang dapat menggoncangkau gunung-gunung itu, hanyalah:
“Tetapi bagaimana kabarnya Rasulullah ……..
Sungguh, suatu peristiwa yang telah diatur corak dan waktunya oleh tangan taqdir secara baik dan tepat, guna disajikan sebagai penghibur alakadarnya bagi Rasulullah …. dalam menghadapi mushibah dengan gugurnya Singa Allah dan panglima para syuhada ….!
Kami semua kepunyaan Allah
Dan kepadanya kami kembali.
http://edywitanto.wordpress.com/2010/11/08/hamzah-bin-abdul-mutthalib/

10. SAID BIN ‘AMIR PEMILIK KEBESARAN DI BALIK KESEDERHANAAN

SAID BIN ‘AMIR
PEMILIK KEBESARAN DI BALIK KESEDERHANAAN
Siapa yang kenal nama ini, dan siapa pula di antara kita yang pernah mendengarnya sebelum ini … ?
Berat dugaan bahwa banyak di antara kita — kalau tidak semua —yang belum pernah mendengarnya sama sekali. Dan saya yakin bahwa anda sekalian sekarang sama menunggu dan bertanya­-tanya, siapakah kiranya Sa’id bin ‘Amir ini … ?
Tentu! Saat ini akan anda ketahui juga siapa dia tokoh tersebut …. I
Ia adalah salah seorang shahabat Rasulullah yang utama, walaupun namanya tidak seharum nama mereka yang telah terkenal. Ia adalah salah seorang yang taqwa dan tak hendak menonjolkan diri!
Mungkin ada baiknya kita kemukakan di sini bahwa ia tak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasulullah saw. Tetapi itu telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak hendak turut meng­ambil bagian dalam apa juga yang dilakukan Nabi, baik di arena damai maupun dalam kancah peperangan.
Sa’id menganut Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Dan semenjak itu ia memeluk Islam dan bai’at kepada Rasulullah saw. Seluruh kehidupannya, segala wujud dan cita‑citanya .dibaktikan kepada keduanya. Maka ketaatan dan kepa­tuhan, zuhud dan keshalihan, keluhuran dan ketinggian, pendek­nya segala sifat dan tabi’at utama, mendapati manusia suci dan baik ini sebagai saudara kandung dan teman yang setia … !
Dan ketika kita berusaha hendak menemui dan menjajagi kebesarannya, hendaklah kita bersikap hati-hati dan waspada, hingga kita tidak terkecoh menyebabkannya lenyap atau lepas dari tangan . . . . Karena sewaktu pandangan kita tertumbuk pada Sa’id dalam kumpulan orang banyak, tidak suatu pun ke­istimewaan yang akan memikat dan mengundang perhatian kita. Mata kita akan melihat salah seorang anggota regu tentara dengan tubuh berdebu dan berambut yang kusut masai, yang baik pakaian maupun bentuk lahirnya tak sedikit pun bedanya dengan golongan miskin lainnya dari Kaum Muslimin … !
Seandainya yang kita jadikan ukuran itu pakaian dan rupa lahir, maka takkan kita jumpai petunjuk yang akan menyatakan siapa sebenarnya ia.
Kebesaran tokoh ini lebih mendalam dan berurat akar daripada tersembul di permukaan lahir yang kemilau. la jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya …. Tahukah anda sekalian akan mutiara yang terpendam di perut lokan
Nah, keadaannya boleh ditamsilkan dengan itu ….
Ketika Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab memecat Mu’awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya. Dan sistim yang digunakan Umar untuk memilih pegawai dan pembantunya, merupakan suatu sistim yang me­ngandung segala kewaspadaan, ketelitian dan pemikiran yang matang. Sebabnya ialah karena ia menaruh keyakinan bahwa setiap kesalahan yang dilakukan oleh setiap penguasa di tempat Yang jauh sekali pun, maka yang akan ditanya oleh Allah swt. ialah dua orang: pertama Umar . . . , dan kedua baru penguasa Yang melakukan kesalahan itu ….
Oleh sebab itu syarat-syarat yang dipergunakannya untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan amat berat dan ketat serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna, setajam penglihatan dan setembus pandangannya …. Di Syria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam meng­ikuti peradaban yang silih berganti, di samping ia merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang . . . , hingga karena itu dan disebabkan hal itu ia merupakan suatu negeri yang penuh godaan dan rangsangan. Maka menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdayakan syetan manapun . . . , seorang zahid yang gemar beribadat, yang tunduk dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah ….
Tiba-tiba Umar berseru, katanya: “Saya telah menemukan­nya … I Bawa ke sini Sa’id bin ‘Amir … ! “
Tak lama antaranya datanglah Sa’id mendapatkan Amirul Mu’­minin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Homs. Tetapi Sa’id menyatakan keberatannya, katanya: “Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul Mu’minin … ! “
Dengan nada keras Umar menjawab: “Tidak, demi Allah saya tak hendak melepaskan anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di atas pundakku lalu tuan-tuan meninggalkan daku . “
Dalam sekejap saat, Sa’id dapat diyakinkan. Dan memang kata-kata yang diucapkan Umar layak untuk mendapatkan hasil Yang diharapkan itu.
Sungguh suatu hal yang tidak adil namanya bila mereka me­ngalungkan ke lehernya amanat dan jabatan sebagai khalifah, lalu mereka tinggalkan ia sebatang kara ….
Dan seandainya seorang seperti Sa’id bin ‘Amir menolak untuk  memikul tanggung jawab hukum, maka siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung jawab yang amat berat itu … ?
Demikianlahakhirnya Sa’id berangkat ke Homs. Ikut bersamanya isterinya;  dan sebetulnya kedua mereka adalah pe­ngantin baru. Semenjak kecil isterinya adalah seorang wanita Yang amat cantik berseri-seri. Mereka dibekali Umar secukupnya,  Ketika kedudukan mereka di Homs telah mantap, sang isteri bermaksud menggunakan haknya sebagai isteri untuk memanfaatkan harta yang telah diberikan Umar sebagai bekal mereka. Diusulkannya kepada suaminya untuk membeli pakaian yang layak dan perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan sisanya.
Jawab Sa’id kepada isterinya: “Maukah kamu saya tunjuk­kan yang lebih baik dari rencanamu itu? Kita berada di suatu negeri yang amat pesat perdagangannya dan laris barang jualan­nya. Maka lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang yang akan mengambilnya sebagai modal dan akan memper­kembangkannya … !
“Bagaimana jika perdagangannya rugi?” tanya isterinya. “Saya akan sediakan borg atau jaminan”, ujar Sa’id. “Baiklah kalau begitu” kata isterinya pula. Kemudian Sa’id pergi ke luar, lalu membeli sebagian keperluan hidup dari jenis yang amat bersahaja, dan sisanya — yang tentu masih banyak itu — dibagi-bagikannya kepada faqir miskin dan orang-orang mem­butuhkan.
Hari-hari pun berlalu, dan dari waktu ke waktu. isteri Sa’id menanyakan kepada suaminya soal perdagangan mereka dan bilakah keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu dijawab oleh Sa’id bahwa perdagangan mereka berjalan lancar, sedang keuntungan bertambah banyak dan kian meningkat.
Pada suatu hari isterinya memajukan lagi pertanyaan serupa di hadapan seorang kerabat yang mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sa’id pun tersenyum lalu tertawa yang menye­babkan timbulnya keraguan dan kecurigaan sang isteri. Didesak­nyalah suaminya agar menceritakannya secara terus terang. Maka disampaikannya bahwa harta itu telah disedeqahkannya dari semula.
Wanita itu pun menangis dan menyesali dirinya karena harta itu tak ada manfaatnya sedikit pun, karena tidak jadi dibelikan untuk keperluan hidup dirinya, dan sekarang tak sedikit pun tinggal sisanya ….
Sa’id memandangi isterinya, sementara air mata penyesalan dan kesedihan telah menambah kecantikan dan kemolekannya. Dan sebelum pandangan yang penuh godaan itu dapat mempengaruhi dirinya, Sa’id menujukan penglihatan bathinnya ke surga, maka tampaklah di sana kawan-kawannya yang telah pergi mendahului­nya, lalu katanya:
“Saya mempunyai kawan-kawan yang telah lebih dulu menemui Allah . . . dan saya tak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan segala isinya
Dan karena is takut akan tergoda oleh kecantikan isterinya itu, maka katanya pula yang seolah-olah dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama isterinya:
“Bukankah kamu tabu bahwa di dalam surga itu banyak ter­dapat gadis-gadis cantik yang bermata jeli, hingga andainya seorang saja di antara mereka menampakkan wajahnya di muka bumi, maka akan terang-benderanglah seluruhnya, dan tentulah cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan …

Maka mengurbankan dirimu demi untuk mendapathan mereka, tentu lebih wajar dan lebih utama daripada mengur­bankan mereka demi karena dirimu … ! “

Diakhirinya ucapan itu sebagaimana dimulainya tadi, dalam keadaan tenang dan tenteram, tersenyum simpul dan pasrah … Isterinya diam dan maklum bahwa tak ada yang lebih utama ? dan mengendalikan diri untuk mencontoh sifat zuhud dan ke­ taqwaannya … !
Dewasa itu Homs digambarkan sebagai Kufah kedua. Hal disebabkan sering terjadinya pembangkangan dan pendur­hakaan penduduk terhadap para pembesar yang memegang kuasaan. Dan karena kota Kufah dianggap sebagai pelopor slam soal pembangkangan ini, maka kota Homs diberi julukan bagai Kufah kedua. Tetapi bagaimanapun gemarnya orang-orang Homs ini menentang pemimpin-pemimpin mereka sebagai kita sebutkan itu, namun terhadap hamba yang shalih sebagai Sa’id, hati mereka dibukakan Allah, hingga mereka cinta dan taat kepadanya.
Pada suatu hari Umar menyampaikan berita kepada Said: “Orang-orang Syria mencintaimu . . .!” “Mungkin sebabnya karena saya suka menolong dan membantu mereka”, ujar Said. Hanya bagaimana juga cintanya warga kota Homs terhadap Said, namun adanya keluhan dan pengaduan tak dapat dielakkan . . . , sekurang-kurangnya untuk membuktikan bahwa Homs masih tetap menjadi saingan berat bagi kota Kufah di Irak … !
Suatu ketika, tatkala Amirul Mu’minin Umar berkunjung ke Homs, ditanyakannya kepada penduduk yang sedang  berkumpul lengkap: “Bagaimana pendapat kalian tentang Sa’id . . . ?” Sebagian hadirin tampil ke depan mengadukannya. Tetapi rupanya pengaduan itu mengandung barkah, karena dengan demikian terungkaplah dari satu segi kebesaran pribadi tokoh kita ini, kebesaran yang amat menakjubkan serta me­ngesankan … !
Dari kelompok yang mengadukan itu Umar meminta agar mereka mengemukakan titik-titik kelemahannya satu demi satu. Maka atas nama kelompok tersebut majulah pembicara yang mengatakan:
“Ada empat hal yang hendak kami kemukakan:
1.    la baru keluar mendapatkan kami setelah tinggi hari
2.    Tak hendak melayani seseorang di waktu malam hari ….
3. Setiap bulan ada dua hari di mana ia tak hendak keluar mendapatkan kami hingga kami tak dapat menemui­nya….
4.    Dan ada satu lagi yang sebetulnya bukan merupakan kesalahannya tapi mengganggu kami, yaitu bahwa sewaktu­-waktu ia jatuh pingsan . . .”.
Umar tunduk sebentar dan berbisik memohon kepada Allah, katanya: “Ya Allah, hamba tahu bahwa ia adalah hamba-Mu terbaik, maka hamba harap firasat hamba terhadap dirinya tidak meleset “.
Lalu Said dipersilahkan untuk membela dirinya, ia ber­kata:
“Mengenai tuduhan mereka bahwa saya tak hendak keluar sebelum tinggi hari, maka demi Allah, sebetulnya saya tak hendak menyebutkannya, . . . Keluarga kami tak punya khadam atau pelayan, maka sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti dan kemudian wudlu untuk shalat dluha. Setelah itu barulah saya keluar mendapatkan mereka … ! “
Wajah Umar berseri-seri, dan katanya: “Alhamdulillah …. dan mengenai yang kedua?”
Maka Sa’id pun melanjutkan pembicaraannya:
“Adapun tuduhan mereka bahwa saya tak mau melayani mereka di waktu malam . . . , maka demi Allah saya benci menyebutkan sebabnya .. .! Saya telah menyediakan Siang hari bagi mereka, dan malam hari bagi Allah Ta’ala . . . ! sedang ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di mana saya tidak menemui mereka . . . , maka sebabnya sebagai saya katakan tadi — saya tak punya khadam yang akan mencuci pakaian, sedang pakaianku tidak pula banyak untuk diper­gantikan. Jadi terpaksalah saya mencucinya dan menunggu sampai kering, hingga baru dapat keluar di waktu petang … Kemudian tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu­-waktu jatuh pingsan . . . sebabnya karena ketika di Mekah dulu saya telah menyaksikan jatuh tersungkurnya Khubaib al-Anshari. Dagingnya dipotong-potong oleh orang Quraisy dan mereka bawa ia dengan tandu sambil mereka menanya­kan kepadanya: “Maukah tempatmu ini diisi oleh Muham­mad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sehat wal ‘afiat .. .? Jawab Khubaib: Demi Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak isteriku diliputi oleh keselamatan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah ditimpa bencana, walau oleh hanya tusukan duri sekali­pun…
Maka setiap terkenang akan peristiwa yang saya saksikan itu, dan ketika itu saya masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan dan tak hendak mengulurkan pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya pun gemetar karena takut akan siksa Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan itu . . . “.
Sampai di sana berakhirlah kata-kata Sa’id, ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang shalih ….
Mendengar itu Umar tak dapat lagi menahan diri dan rasa harunya, maka berseru karena amat gembira: “Alhamdulillah, karena dengan taufiq-Nya firasatku tidak meleset adanya . . .!” Lalu dirangkul dan dipeluknya Sa’id, serta diciumlah keningnya yang mulia dan bersinar cahaya… .
Nah, petunjuk macam apakah yang telah diperoleh makhluq seperti ini . . . ?
Guru dari kaliber manakah Rasulullah saw. itu … ?
Dan sinar tembus seperti apakah Kitabullah itu ……..
Corak sekolah yang telah memberikan bimbingan dan meniupkan inspirasi manakah Agama Islam ini … ?
Tetapi mungkinkah bumi dapat memikul di atas punggungnya jumlah yang cukup banyak dari tokoh-tokoh berkwalitas demi­kian?
Sekiranya mungkin, tentulah ia tidak disebut bumi atau dunia lagi …. lebih tepat bila dikatakan Surga Firdausi …. Sungguh, ia telah menjadi Firdaus yang telah dijanjikan Allah! Dan karena Firdaus itu belum tiba waktunya, maka orang-orang yang lewat di muka bumi dan tampil di arena kehidupan dari tingkat tinggi dan mulia seperti ini amat sedikit dan jarang adanya . . . Dan Sa’id bin ‘Amir adalah salah seorang di antara mereka ….
Uang tunjangan dan gaji yang diperolehnya banyak sekali, sesuai dengan kerja dan jabatannya, tetapi yang diambilnya hanyalah sekedar keperluan diri dan isterinya, sedang selebihnya dibagi-bagikan kepada rumah-rumah dan keluarga-keluarga lain yang membutuhkannya.
Suatu ketika ada yang menasihatkan kepadanya: Berikanlah kelebihan harta ini untuk melapangkan keluarga dan famili isteri anda! Maka ujarnya: “Kenapa keluarga dan ipar besanku saja yang harus lebih kuperhatikan . ., .? Demi Allah, tidak! Saya tak hendak menjual keridlaan Allah dengan kaum kera­batku – - -!”
Memang telah lama dianjurkan orang kepadanya: “Janganlah ditahan-tahan nafqah untuk diri pribadi dan keluarga anda, dan ambillah kesempatan untuk meni’mati hidup!”
Tetapi jawaban yang keluar hanyalah kata-kata yang senantiasa diulang-ulangnya: “Saya tak hendak ketinggalan dari rombongan pertama, yakni setelah saya dengar Rasulullah saw. bersabda:
“Allah ‘Azza wa Jalla akan menghimpun manusia untuk dihadapkan he pengadilan. Maka .datanglah orang-orang miskin yang beriman, berdesak-desakkan maju he depan tak ubahnya bagai kawanan burung merpati. Lalu ada yang berseru kepada mereka: Berhentilah kalian untuk menghadapi perhitungan! Ujar mereka: Kami tak punya spa-spa untuk dihisab. Maka Allah pun berfirman: Benar­lah hamba-hamba-Ku itu . . . ! Lalu masuklah mereka he dalam surga sebelum orang-orang lain masuk
Dan pada tahun 20 Hijriyah dengan lembaran yang paling bersih, dengan hati yang paling suci dan dengan kehidupan yang Paling cemerlang., Sa’id bin ‘Amir pun menemui Allah ….
Telah lama sekali rindunya terpendam untuk menyusul rombongan perintis, yang hidupnya telah dinadzarkannya untuk memelihara janji dan mengikuti langkah mereka ….
Sungguh, rindunya telah tiada terkira untuk dapat menjum­pai Rasul yang menjadi gurunya, serta teman sejawatnya yang shalih dan suci ….!
Maka sekarang la akan menemui mereka dengan hati tenang, jiwa yang tenteram dan beban yang ringan ….
Yang tak ada beserta atau di belakangnya beban dunia atau harta benda yang akan memberati punggung atau menekan bahunya ….
Tak ada yang dibawanya kecuali zuhud, keshalihan dan ke­tagwaannya serta kebenaran jiwa dan budi baiknya …. Semua itu adalah keutamaan yang akan memberatkan daun timbangan, dan sekali-kali takkan memberatkan beban pikulan … !
Keistimewaan tersebut dipergunakan oleh pemiliknya untuk menggoncang dunia, dan dijadikan pegangan yang kokoh se­hingga tak tergoyahkan oleh tipu daya dunia … !
Selamat bahagia bagi Sa’id bin ‘.,4mir … !
Selamat baginya, baik  selagi hidup maupun sctelah wafatnya…!

Selamat, sekah lagi selamat, terhadap riwayat dan kenan-kenangannya.

Serta selamat bahagia pula bagi Para shahabat Rasulullah yakni orang-orang mulia dan gemar beramal serta rajin ber­ibadat … !
http://edywitanto.wordpress.com/2010/11/08/said-bin-amir/#more-1456

9. MIQDAD BIN ‘AMR PELOPOR BARISAN BERKUDA DAN AHLI FILSAFAT

MIQDAD BIN ‘AMR
PELOPOR BARISAN BERKUDA DAN AHLI FILSAFAT
Ketika membicarakan dirinya, para shahabat dan teman sejawatnya berkata: “Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad”. Dan Miqdad ibnul Aswad yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita Miqdad bin ‘Amr ini. Di masa jahiliyah ia menyetujui dan membuat perjanjian untuk diambil oleh al-Aswad ‘Abdi Yaghuts sebagai anak, hingga namanya berubah menjadi Miqdad ibnul Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kan­dungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu. ‘Amr bin Sa’ad.
Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan ke­islamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggung­kan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!
Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya….
Berkatalah Abdullah bin Mas’ud yakni seorang shahabat Rasul­ullah:
“Saya telah menyaksikan perjuangan. Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi shahabatnya daripada segala isi bumi ini ….
Pada hari yang bermula dengan kesuraman itu . . . yakni ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka . . . . Pada hari itu Kaum Muslimin masih sedikit, yang sebelumnya tak pernah mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama yang mereka terjuni ….
Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneliti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang, baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya . . . , para shahabat dibawanya bermusya­warah dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah fikiran dan pendapat mereka, maka hal itu dimaksudnya secara sungguh-sungguh. Artinya dari setiap mereka dimintanya pendiri­an dan pendapat yang sebenarnya, hingga bila ada di antara mereka yang berpendapat lain yang berbeda dengan pendapat umum, maka ia tak usah takut atau akan mendapat penyesalan.
Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu berhati-hati terhadap perang. Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan semangat perjuang­an dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum.
Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan buah pembicaraan­nya juga baik. Maka tampillah Miqdad, katanya:
“Ya Rasulullah ….
Teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda … !
Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini. Tetapi kami akan mengatakan kepada anda: Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di samping anda … !
Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri anda, di bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenang­an … !”
Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara mulutnya komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kum­pulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan … !
Sungguh, kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad bin ‘Amr itu mencapai sasarannya di hati orang-orang Mu’min, hingga Sa’ad dan Mu’adz pemimpin kaum Anshan bangkit berdiri, katanya:
“Wahai Rasulullah ….
Sungguh, kami telah beriman kepada anda dan membenarkan anda, dan kami saksikan bahwa apa yang anda bawa itu adalah benar . . . , Serta untuk itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami!
Maka majulah wahai Rasulullah laksanakan apa yang anda kehendaki, dan kami akan selalu bersama anda … !
Dan demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, sekiranya anda membawa kami menerjuni dan mengarungi lautan ini, akan kami terjuni dan arungi, tidak seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh … !
Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh, dan moga-moga Allah akan memper­lihatkan kepada anda perbuatan kami yang berkenan di hati anda . . . ! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah . . .!”
Maka hati Rasulullah pun penuhlah dengan kegembiraan, lalu sabdanya kepada shahabat-shahabatnya:  “Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian …
Dan kedua pasukan pun berhadapanlah ….
Anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu jumlahnya tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin ‘Amr, Martsad bin Abi Martsad dan Zubair bin Awwam; sementara pejuang-­pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki atau pengen­dara-pengendara unta.
Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi, tidak saja meng­gambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam ….
Demikianlah sifat Miqdad ….
la adalah seorang filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafat­nya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh tulus dan lurus, sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi pemikiran dan penunjang bagi filsafat itu.
Pada suatu hari ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi sertanya:
“Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah menjadikan daku menganggap diri di atas semua manusia sedang mereka semua di bawahku …. Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya … ! “
Nah, jika ini bukan suatu filsafat, maka apakah lagi yang dikatakan filsafat itu . . .?
Dan jika orang ini bukan seorang filosof, maka siapakah lagi yang disebut filosof … ?
seorang laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak hendak terpedaya oleh kelemahannya … !
Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu. Kemudian ternyata bahwa ia menepati janji dan sumpahnya itu, hingga semenjak itu ia tak pernah mau menerima jabatan amir …. !
Miqdad selalu mendendangkan Hadits yang didengarnya dari ‘Rasulullah saw., yakni:
Orang yang berbahagia, ialah  orang yang dijauhkan dari fitnah … !”
Oleh karena jabatan sebagai amir itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya,  ialah menjauhinya. Di antara madhhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak
tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajarinya dari Rasulullah saw. Yang telah menyampaikan kepada ummatnya: “bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya daripada isi periuk di kala menggelegak …. “.
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi . . . . Perubahan atau hal baru apakah lagi setelah maut … ?
Dalam percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah seorang shahabat dan teman sejawatnya seperti di bawah ini, filsafatnya itu menonjol sebagai suatu renungan yang amat dalam, katanya:
“Pada suatu hari kami pergi duduk-duduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah saw.! Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang anda lihat, dan menyaksikan apa yang anda saksikan … !” Miqdad pergi menghampirinya, katanya:
“Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat me­nyaksikannya?
Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah saw. banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahannam … !
Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian!”
Suatu hikmah . . .! Dan hikmah yang bagaiman lagi . . . ? Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya!
Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat me­nembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu. Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan  jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya … ?
Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidup­kannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih …?
Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan hikmah dan filsafat . . . . Dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan ucapannya, ia adalah seorang filosof dan pe­mikir ulung ….
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya . . . .
Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar Serta didampingi oleh hikmat, maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawab­nya….
Dan Miqdad bin ‘Amr dari tipe manusia seperti ini . . . . Kecintaannya kepada Rasulullah menyebabkan hati dan ingatan­nya dipenuhi rasa tanggung jawab terhadap keselamatan yang dicintainya, hingga setiap ada kehebohan di Madinah, dengan secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasul­ullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau lembingnya … !
Sedang kecintaannya kepada Islam menyebabkannya sertanggung jawab terhadap keamanannya, tidak saja dari tipu ­daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan kawan-kawan­nya sendiri ….
Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya.
Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya; dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali.
Miqdad lewat di depan hukuman tersebut yang sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanyainya ia mengisahkan  apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu, hingga akhirnya tersingkap­lah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: “Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran anda dan berilah ia kesempatan untuk nielakukan qishash”‘
Sang amir tunduk dan bersedia . . . , hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma’af.
Penciuman Miqdad yang tajam mengenai gentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini, hingga katanya seakan-akan berdendang:
“Biar saya mati, asal Islam tetap jaya … ! “
Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena’jubkan ia berjuang bersama kawan­kawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayak­nyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah saw. menerima ucapan berikut:
“Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa la men­cintaimu “.
Ya Allah bangkitkanlah dari antara kami dan anak cucu kami Miqdad-miqdad pahlawan, pejuang dan pembela Agama-Mu
http://edywitanto.wordpress.com/2010/11/08/miqdad-bin-%E2%80%98amr/