KISAH KECERDIKAN UMMUL MUKMININ, AISYAH R.A.
Rasulullah SAW menikahi ‘Aisyah r.a, setelah Khadijah wafat di Makkah, tapi beliau baru mengadakan hubungan badan dengannya setelah beliau hijrah ke Madinah. ‘Aisyah adalah satu-satunya istri beliau yang dinikahi dalam keadaan perawan.
‘Aisyah adalah perempuan yang paling dicintai oleh Rasulullah. Dia adalah orang yang jujur putri dari orang jujur, Abu Bakar r.a. Ketika Rasulullah ditanya tentang orang yang paling dicintai oleh Rasulullah, beliau menjawab, “Aisyah.” Sedangkan dari kalangan laki-laki, orang yang paling beliau cintai adalah bapak kandung beliau.[1]
(3) Kecerdikan ‘Aisyah dari Aspek Keimanan dalam Peristiwa Bohong
Bisa tampak dengan jelas keimanan dan kecerdikan ‘Aisyah pada hâditsatul ifki (peristiwa bohong) yang populer di kalangan umat Islam, di mana pada peristiwa itu ‘Aisyah mendapat tuduhan dari orang-orang munafik di Madinah, bahwa dia telah melakukan perbuatan mesum dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Apa yang dikatakan oleh orang-orang munafik tentang ‘Aisyah, benar-benar membuat ‘Aisyah, Rasulullah, dan orang-orang muslim sedih. Kesedihan itu hingga membuat ‘Aisyah tidak bisa tidur, dia hanya menangis dan menangis. Sementara itu, selama satu bulan wahyu tidak turun kepada Rasulullah yang menyinggung tentang permasalahan ‘Aisyah, hingga Nabi SAW berkata kepada dia, “Wahai ‘Aisyah, ada seseorang yang berkata begini dan begitu kepada saya tentang kamu. Jika kamu benar-benar bebas dari tuduhan itu, maka Allah akan membebaskanmu, jika kamu melakukan sebuah dosa maka segeralah membaca istighfar dan bertobat kepada Allah. Sesungguhnya hamba yang mengakui kesalahannya lalu bertobat, niscaya Allah akan mengampuninya.”
Ucapan Rasulullah kepada ‘Aisyah, semakin membuat ‘Aisyah sedih, air matanya semakin deras mengalir di pipinya. Dia pergi menemui kedua orangtuanya agar bisa menjawab Rasulullah SAW, mereka berdua berkata kepada ‘Aisyah, “Demi Allah, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada Rasulullah SAW.”
Mereka berdua mempunyai jawaban yang sama. Tapi Aisyah, dengan kecerdikannya dari aspek keimanan, dia bertumpu kepada Allah, memohon agar Allah menampakkan bahwa dia bebas dari tuduhan mereka, dia berkata kepada kedua orantuanya dan kepada suaminya SAW, “Demi Allah saya tahu, saya tidak mendengar tentang cerita ini, sebelum cerita ini sudah bersemayam dalam diri kalian, lalu kalian mempercayainya. Meskipun saya mengatakan bahwa saya bebas dari tuduhan ini, kalian pasti tidak akan mempercayai saya. Dan jika saya mengaku di depan kalian bahwa saya melakukan sesuatu —Allah Mahatahui bahwa saya bebas dari perbuatan ini— kalian juga tidak akan mempercayai saya. Demi Allah, tidak ada yang harus saya lakukan terhadap diri saya sendiri dan terhadap diri kalian, kecuali mengikuti apa yang dilakukan oleh ayah Nabi Yusuf ketika berkata, “Kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan." (QS. Yusuf: 18)
‘Aisyah memohon kepada Allah, agar Allah menghilangkan kesedihannya, dan menampakkan bahwa dia bebas, akan tetapi dia tidak pernah mengira bahwa akan turun wahyu yang menjelaskan tentang permasalahan yang sedang dihadapinya hingga hari Kiamat. Dia berharap agar Rasulullah SAW bermimpi yang bisa menjelaskan bahwa ‘Aisyah bebas, akan tetapi Allah SWT menurunkan wahyu sebanyak sepuluh ayat dalam surat an-Nuur. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian bahkan ia adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar. Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat, niscaya kalian ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kalian tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulutmu apa yang tidak kalian ketahui sedikit juga, dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kalian tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu, ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.’ Allah memperingatkan kalian agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kalian orang-orang yang beriman. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kalian tidak mengetahui. Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kalian akan ditimpa adzab yang besar).” (QS. an-Nuur: 11-20)
Pada saat itu Rasulullah sedang berada di depan ‘Aisyah dan kedua orangtuanya. Rasulullah SAW bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, Allah telah membebaskanmu.”
Ibunya berkata kepada ‘Aisyah, “Bangunlah, hampiri beliau.”
‘Aisyah berkata, “Tidak, demi Allah saya tidak akan berdiri menghampiri beliau. Saya hanya ingin berterima kasih kepada Allah SWT.”[2]
(4) Bukti Kecerdikan ‘Aisyah bersama Rasulullah SAW
Salah satu bukti yang membuktikan kecerdikannya terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahîhnya, bahwa dia berkata kepada Rasulullah SAW, “Bagaimana pendapat engkau, jika engkau turun ke sebuah lembah; dalam lembah itu terdapat pohon yang berbuah dan ada pohon yang tidak berbuah, di pohon yang mana engkau akan mengembalakan unta engkau?”
Beliau bersabda, “Aku akan mengembalakan di pohon yang belum berbuah.”
Ungkapan ‘Aisyah hanya untuk memastikan bahwa Nabi Muhamamd SAW tidak menikahi perawan lain selain ‘Aisyah selama hidup beliau. Di samping itu, dia ingin menunjukkan kelebihan yang dia miliki, bahwa dia adalah perempuan mukmin yang cerdik.
Ibnu Sa’id meriwayatkan dalam kitab Thabaqâtnya, tentang bukti lain kecerdikan ‘Aisyah, yaitu ketika ada seorang perempuan dari kabilah Kalb meminang Rasulullah. Beliau mengutus ‘Aisyah untuk melihatnya. ‘Aisyah melihatnya, lalu kembali menemui Rasulullah seraya Rasullah SAW bersabda kepada ‘Aisyah, “Apa yang kamu lihat?”
‘Aisyah berkata, “Saya tidak melihat dia tertutup dengan sempurna.”
Beliau bersabda kepada ‘Aisyah, “Saya melihat dia tertutup dengan sempurna, dan saya melihat tanda-tanda perawan di pipinya. Seluruh rambutmu bergetar.”
Aisyah berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada rahasia yang engkau tutupi.”
(5) Beberapa Komentar Tentang Kefasihan dan Kecerdikan ‘Aisyah
Para sahabat, tabi’in, dan ulama mengakui bahwa Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., sebagai perempuan yang cerdik, fasih, intelek, zuhud, dan lugas dalam berbicara. Para sahabat senior menanyakan banyak hal kepada ‘Aisyah, baik tentang ilmu-ilmu syariat, hadis, dan yang lainnya. Tidak heran bila ‘Aisyah mempunyai kepribadian dan kecakapan yang demikian, karena bapaknya, Abu Bakar r.a., terkenal sebagai sahabat yang fasih, dan mampu mengetahui terhadap nasab-nasab dan hari-hari manusia. Abu Bakar adalah laki-laki yang paling Rasulullah cintai. ‘Aisyah dinikahi oleh Rasulullah Saw., sebaik-baik makhluk Allah, dan tuan anak Adam a.s.
Musa bin Thalhah pernah berkata, “Saya tidak pernah menemukan seseorang yang lebih fasih daripada ‘Aisyah.”
Mu’awiyah bin Abu Sufyan r.a. berkata, “Demi Allah, saya belum pernah mendengar, orang yang lebih lugas dalam berbicara melebihi ‘Aisyah.”[3]
Ahnaf bin Abi Qais berkata, “Saya aktif mendengarkan khutbah Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan khalifah-khalifah setelah mereka. Akan tetapi saya tidak pernah mendengar ungkapan yang lebih bagus dan lebih fasih daripada ungkapan ‘Aisyah r.a.”[4]
Adz-Dzahabi dalam bukunya Târikh adz-Dzahabi mengungkapkan tentang kelebihan ‘Aisyah, bahwa ‘Aisyah mempunyai kelebihan yang luar biasa dalam masalah kefasihan dan kelugasan dalam berbicara (balaghah), di samping mempunyai perangai yang baik dan kata-kata yang ma’tsûrah, di antaranya:
- Tidak boleh begadang kecuali dalam tiga hal: orang yang shalat malam, pengantin, dan musafir.
- Saya pernah melihat seorang laki-laki pemalas yang berpura-pura zuhud dalam beribadah, berbicara, perilaku, dan ketika membaca al-Qur’an… seraya ‘Aisyah berkata, “Siapa ini?”
“Orang zuhud,” jawab sahabat.
Aisyah berkata, “Umar bin Khattab adalah orang yang zuhud, akan tetapi dia berbicara dengan tegas, berjalan dengan cepat, dan ketika menjelaskan tentang Allah dia menjelaskan dengan tepat.”
Selain itu, ada ungkapan ‘Aisyah yang menunjukkan bahwa iman dia kuat dan mengetahui hal-hal yang hak. Di antaranya, “Barangsiapa yang melakukan sebuah perbuatan yang bisa memangcing kemurkaan Allah, maka orang-orang yang biasa memujinya akan mencelanya.”
-‘Aisyah pernah ditanya, “Kapan seseorang dianggap sebagai orang yang berperilaku jelek?”
Aisyah menjawab, “Yaitu ketika dia mengklaim bahwa dia adalah orang baik.”[5]
- Di antara ungkapan ‘Aisyah adalah budi pekerti yang paling luhur adalah rasa malu.
Biasanya, hati tertarik untuk mencintai orang berbuat baik kepadanya, dan membenci orang yang berbuat jahat kepadanya.[6]
Ketika ‘Aisyah ditanya tentang perempuan yang paling utama, dia berkata, “Perempuan yang paling utama adalah perempuan yang tidak pernah mengenal aib pembicaraan, tidak menjadi pemicu tipu daya laki-laki, dalam hatinya tidak terdetak apa pun kecuali keinginan untuk selalu berhias demi suaminya, dan senantiasa menjaga keluarganya dan kesenangan mereka.”
[1]Hadis ‘Umar bin ‘Ash dalam “Shahîhaini” dengan beberapa modifikasi dan diresume. Diriwayatkan juga di Bukhari pada bab Fadhl ‘Aisyah. Beliau bersabda, “Keutamaan ‘Aisyah dibandingkan perempuan yang lain, seperti keutamaan roti yang diremuk dan direndam dalam kuah dibanding jenis makanan yang lain.”
[2]Kisah ini dikutip dari buku-buku sejarah dan hadis-hadis yang terdapat dalam Bukhari dan yang lainnya.
[3]Adz-Dzahabi, “Siyar A’lâmi an-Nubalâ’.”
[4]Ibnu Sa’ad dalam “Thabaqât Ibnu Sa’ad.”
[5]Ibnu ‘Abdul Bar, “Bahjatu al-Majâlis.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar