Rabu, 09 November 2011

Kisah Kecerdikan Ummul Mukminin, Hafshah r.a.

(6) Kisah Kecerdikan Ummul Mukminin, Hafshah r.a.
Hafshah adalah salah seorang Ummul Mukminin, mempunyai nama lengkap Hafsah binti ‘Umar bin Khaththab r.a. Lahir lima tahun sebelum kenabian. Pernah menikah dengan seorang sahabat bernama Khanis bin Hadzafah. Hafshah hijrah ke Madinah dengan ditemani suaminya. Suaminya meninggal dunia usai perang Badar, ada juga yang mengatakan usai perang Uhud. Hafshah dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga hijriyah.[1]
Hafshah dikenal sebagai perempuan yang cerdik, fasih dan lugas dalam berbicara. Salah satu bukti kecerdikannya, di saat bapaknya, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, jatuh sakit, Hafshah berkata, “Wahai bapakku, kedatanganmu menghadap Tuhan yang Maha Pengasih tidak akan membuatmu sedih, tidak ada seseorang pun yang engkau pertanggungjawabkan, saya mempunyai kabar gembira untukmu; saya tidak akan menebarkan rahasia dua kali. Sebaik-baik pemberi syafaat, engkau mempunyai kebijaksaan, engkau tidak takut kepada Allah akan kekerasan hidupmu, kesucian keinginanmu, dan tindakanmu dalam membendung orang-orang musyrik dan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi.”
Setelah ‘Umar r.a. wafat, Hafhsah berkata, “Segalah puji bagi Allah, Dzat yang tidak ada bandingannya, Dzat yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Selanjutnya, sungguh heran sebuah kaum yang pekerjaannya dipengaruhi oleh setan, dan membujuk mereka untuk menghambur-hamburkan harta. Setan menjadi Tuhan mereka dalam memfitnah, dia menancapkan tali-temalinya untuk menipu mereka, hingga mereka menjadi musuh Allah, yaitu dengan cara menghidupkan bid’ah, menebarkan fitnah, mempelajari tindakan kelaliman lalu memperbaharuinya, selalu berusaha menampakkannya jika sudah ada tanda-tanda kelaliman akan lenyap. Mereka menumpahkan darah, membolehkan hal-hal yang tidak boleh didekati, dan melanggar larangan-larangan Allah setelah sebelumnya dibentenginya, lalu dia marah, hingga kemarahannya bergejolak dan berkobar; benci semata-mata karena Allah dan demi membantu agama Allah. Setelah itu dia menghalau setan dengan cara menenangkan gejolak hatinya, membelenggu keinginannya, menyumbat potensinya, memiringkan pipinya, karena pernah memihak orang yang paling utama dalam khalifah Rasulullah, yang melalui sunnahnya, mengikuti agama dan jejaknya. Pelitanya masih saja cemerlang, sinarnya masih memancar, cahayanya masih berkilau, dari tindak penipuan, pendapat yang cemerlang, dan dari kemajuan dalam ketaatan kepada Allah dengan sebaik mungkin, hingga Allah mematikannya, karena kebohongan yang keluar darinya…”[2]


[1]Untuk lebih lengkapnya baca buku saya yang berjudul “Nisâu Ahli al-Baiti,” Maktabah at-Taufiqiyyah, Cairo.
[2]“A’lâm an-Nisâ’.”
Sumber; 100 Qishshah min Dzakâi ash-Shahâbiyyât, Manshur Abd. Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar