Semalam, saya membeli mie goreng. Membayarnya dengan pecahan dua
lembar lima ribu rupiah. Karena memang harganya Rp 9.000. Kembalian
seribu, diikhlaskan saja. Bungkusan mie goreng diterima plus dua bungkus
krupuk.
Saya terkejut. Biasanya bila membeli satu porsi mie goreng, krupuk yang diterima hanya satu bungkus.
“Udah bang, satu aja,” tolak saya sambil mengembalikan satu bungkus krupuk
“Ambil aja pak,” si abang balas menolaknya seraya menyerahkan bungkusan krupuk itu
Walhasil, saya menerima sebungkus mie goreng dan dua bungkus krupuk.
Ada dua hal yang membuat diri ini kagum pada si penjual mie goreng.
Tanpa bermaksud mengecilkan pendapatan tukang nasi goreng atau mie
goreng, kita mungkin sama-sama tahu berapa penghasilan seorang tukang
nasi goreng. Belum lagi bila dia harus setor atau bayar sewa gerobak
yang digunakannya.
Akan tetapi pendapatannya yang
sedikit tidak menyurutkan dirinya untuk memberi. Kebutuhannya pada
materi, tidak menghalanginya untuk berbagi. Jika seorang konglomerat
berbagi atau memberi kepada orang lain, itu merupakan hal yang biasa.
Karena dia ‘punya’. Akan tetapi, bagaimana dengan yang ‘tidak punya’,
namun mau memberi dan berbagi?
Jika seorang
pengusaha besar enggan untuk menyumbang, itu keterlaluan. Karena dia
mampu untuk menyumbang korban bencana misalnya. Jika seorang papa enggan
untuk menyumbang, itu sudah wajar. Apa yang harus disumbangkannya, dia
tidak punya apa-apa. Kalau pun ada, dia membutuhkannya.
Penjual mie goreng ini mungkin masuk kategori membutuhkan. Tapi dia mau
berbagi. Sikapnya ini sesuai dengan yang diajarkan oleh Islam. Karena
Islam mengajarkan bahwa seorang yang takwa akan tetap berbagi baik di
kala lapang maupun sempit.
Abang penjual mie
goreng ini bukan saja mau berbagi, tapi dia tidak ingin dikasihani. Dia
tidak ingin menerima pemberian orang lain. Baginya tangan di atas lebih
baik daripada tangan di bawah. Kalau pun dia menerima, dia tidak ingin
menerimanya begitu saja. Dia harus membalas pemberian itu.
Berbeda sekali dengan para koruptor. Jauh bagaikan langit dan bumi.
Para koruptor biasanya adalah orang-orang yang mempunyai jabatan dan
tentu memiliki penghasilan yang luar biasa banyaknya. Akan tetapi,
mereka merasa tidak cukup. Sehingga mereka bukan saja meminta, tapi
mereka ‘merampok’. Mana yang lebih hina? Meminta atau merampok? Mana
yang lebih keji? Meminta karena kebutuhan atau meminta yang sebenarnya
si peminta (baca para koruptor) tidak membutuhkannya?
Penjual mie goreng itu tidak meminta-minta, apalagi merampok. Dia
enggan untuk menerima pemberian orang lain, sebaliknya dia malah
memberi.
Mungkin para pembaca berpikiran, “Terang
aja, penjual mie goreng itu mau memberi. Wong yang diberi cuma sebungkus
krupuk.”
Ups jangan salah, keikhlasan seseorang
memberi itu dimulai dari yang kecil. Bagaimana seseorang dapat ikhlas,
rela dan lapang dada untuk memberi dalam jumlah yang banyak, kalo dia
tidak pernah memberi walau hanya sedikit.
Di masa
Rasulullah saw, pernah terjadi suatu peristiwa. Seorang kaya memiliki
pohon kurma. Suatu saat sebuah kurmanya diambil oleh seseorang yang
sedang kelaparan. Orang itu tidak memiliki makanan dan tidak pula
memiliki uang untuk membeli makanan. Walhasil ketika melihat dahan kurma
terjuntai ke luar pagar dan di sana terdapat buah kurma, dia langsung
mengambilnya. Mengambilnya tanpa izin.
Masalah
ini sampai ke telinga Rasulullah. Karena pemilik pohon kurma itu
mengadu kepada Rasulullah. Setelah mendengar dari kedua belah pihak;
mendengar dari pemilik pohon kurma dan dari orang yang kelaparan itu,
Rasulullah meminta agar orang kaya pemilik kurma itu mengikhlaskan buah
kurma yang terlanjur dimakan oleh orang kelaparan itu.
Akan tetapi, pemilik kurma itu menolaknya dan tidak mau memberikan kurma yang telah dimakan itu sebagai sedekah.
Kejadian ini diabadikan dalam surat Al-Lail ayat 8-10
Sekali lagi, bagaimana bisa memberi dalam jumlah yang banyak, jika
tidak pernah memberi walau dalam jumlah yang sedikit?
TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN
FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar