Kamis, 06 Maret 2014

Antara Penjual Mie Goreng dan Konglomerat

Semalam, saya membeli mie goreng. Membayarnya dengan pecahan dua lembar lima ribu rupiah. Karena memang harganya Rp 9.000. Kembalian seribu, diikhlaskan saja. Bungkusan mie goreng diterima plus dua bungkus krupuk.
                Saya terkejut. Biasanya bila membeli satu porsi mie goreng, krupuk yang diterima hanya  satu bungkus.
                “Udah bang, satu aja,” tolak saya sambil mengembalikan satu bungkus krupuk
                “Ambil aja pak,” si abang balas menolaknya seraya menyerahkan bungkusan krupuk itu
                Walhasil, saya menerima sebungkus mie goreng dan dua bungkus krupuk.
                Ada dua hal yang membuat diri ini kagum pada si penjual mie goreng.
                Tanpa bermaksud mengecilkan pendapatan tukang nasi goreng atau mie goreng, kita mungkin sama-sama tahu berapa penghasilan seorang tukang nasi goreng. Belum lagi bila dia harus setor atau bayar sewa gerobak yang digunakannya.
                Akan tetapi pendapatannya yang sedikit tidak menyurutkan dirinya  untuk memberi. Kebutuhannya pada materi, tidak menghalanginya untuk berbagi. Jika seorang konglomerat berbagi atau memberi kepada orang lain, itu merupakan hal yang biasa. Karena dia ‘punya’.  Akan tetapi, bagaimana dengan yang ‘tidak punya’, namun mau memberi dan berbagi?
                Jika seorang pengusaha besar enggan untuk menyumbang, itu keterlaluan. Karena dia mampu untuk menyumbang korban bencana misalnya. Jika seorang papa enggan untuk menyumbang, itu sudah wajar. Apa yang harus disumbangkannya,  dia tidak punya apa-apa. Kalau pun ada, dia membutuhkannya.
                Penjual mie goreng ini mungkin masuk kategori membutuhkan. Tapi dia mau berbagi. Sikapnya ini sesuai dengan yang diajarkan oleh Islam. Karena Islam mengajarkan bahwa seorang yang takwa akan tetap berbagi baik di kala lapang maupun sempit.
                Abang penjual mie goreng ini bukan saja mau berbagi, tapi dia tidak ingin dikasihani. Dia tidak ingin menerima pemberian orang lain. Baginya  tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Kalau pun dia menerima, dia tidak ingin menerimanya begitu saja. Dia harus membalas pemberian itu.  
                Berbeda sekali dengan para koruptor. Jauh bagaikan langit dan bumi. Para koruptor biasanya adalah orang-orang yang mempunyai jabatan dan tentu memiliki penghasilan yang luar biasa banyaknya. Akan tetapi, mereka merasa tidak cukup. Sehingga mereka bukan saja meminta, tapi mereka ‘merampok’. Mana yang lebih hina? Meminta atau merampok? Mana yang lebih keji? Meminta karena kebutuhan atau meminta yang sebenarnya si peminta (baca para koruptor) tidak membutuhkannya?
                Penjual mie goreng itu tidak meminta-minta, apalagi merampok. Dia enggan untuk menerima pemberian orang lain, sebaliknya dia malah memberi.
                Mungkin para pembaca berpikiran, “Terang aja, penjual mie goreng itu mau memberi. Wong yang diberi cuma sebungkus krupuk.”
                Ups jangan salah, keikhlasan seseorang memberi itu dimulai dari yang kecil. Bagaimana seseorang dapat ikhlas, rela dan lapang dada untuk memberi dalam jumlah yang banyak, kalo dia tidak pernah memberi walau hanya sedikit.
                Di masa Rasulullah saw, pernah terjadi suatu peristiwa. Seorang kaya memiliki pohon kurma. Suatu saat sebuah kurmanya diambil oleh seseorang yang sedang kelaparan. Orang itu tidak memiliki makanan dan tidak pula memiliki uang untuk membeli makanan. Walhasil ketika melihat dahan kurma terjuntai ke luar pagar dan di sana terdapat buah kurma, dia langsung mengambilnya. Mengambilnya tanpa izin.
                Masalah  ini sampai ke telinga Rasulullah.  Karena pemilik pohon kurma itu mengadu kepada Rasulullah. Setelah mendengar dari kedua belah pihak; mendengar dari pemilik pohon kurma dan dari orang yang kelaparan itu, Rasulullah meminta agar orang kaya pemilik kurma itu mengikhlaskan buah kurma yang terlanjur dimakan oleh orang kelaparan itu.
                Akan tetapi, pemilik kurma itu menolaknya dan tidak mau memberikan kurma yang telah dimakan itu sebagai sedekah.
                Kejadian ini diabadikan dalam surat Al-Lail ayat 8-10
                Sekali lagi, bagaimana bisa memberi dalam jumlah yang banyak,  jika tidak pernah memberi walau dalam jumlah yang sedikit?
TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH


Tidak ada komentar:

Posting Komentar