Minggu, 09 Februari 2014

HARAPAN BUAT UTARI

Bagi yang ingin baca, ikuti juga tulisan sebelumnya
                1. MOGA TAK ADA PAK UDIN2 LAINNYA (edisi revisi)
                2. MASIH ADAKAH "ABDURRAHMAN BIN AUF"

                “Ungkapan ‘Jangan tanyakan apa yang negara telah berikan kepada rakyatnya. Tapi tanyakan apa yang rakyat telah berikan kepada negara’ merupakan ungkapan yang tidak tepat lagi. Ungkapan yang tepat adalah ‘Jangan tanyakan apa yang rakyat telah berikan kepada negaranya. Tanyakan apa yang negara telah berikan kepada rakyatnya’”
                Suara orator dadakan itu jelas terdengar.  Para demonstran mengelilinginya. Sementara di seberang kampus banyak massa dari kalangan masyarakat serius mendengarkannya.
                “Sekarang, banyak sekali pengangguran. Setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Mereka yang lulus perguruan tinggi dan sekolah menengah atas, langsung mendapat gelar baru PENGANGGURAN!!”
“Kalo negara lepas tangan, tidak peduli dengan masalah ini. Jangan salahkan bila negara ini dipenuhi dengan pencuri, bahkan perampok,” si orator melanjutkan orasinya
                “Betul…betul…” teriak para mahasiswa. Diiringi tepuk tangan masyarakat yang menontonnya. Diantara masyarakat itu terdapat Pak Udin. Dia tersenyum. Seolah ia mendapat dukungan.
                “Rakyat sekarang butuh makan. Rakyat ingin kerja, tapi kerja apa?!! Kerja apa coba?!!”
                Orasi yang ditujukan untuk menyambut kedatangan Menteri Tenaga Kerja itu telah usai . Pak Udin dan masyarakat pun membubarkan diri
****
                “Assalamu’alaikum!” Pak Udin memberi salam
                “Wa’alaikumussalam!” Bu Minah dan Utari menjawabnya hampir bersamaan
                Bu Minah meletakkan air putih untuk suaminya
                “Makasih, Bu”
                “Capek ya Pak?” tanya Utari sambil memijat-mijat tangan Bapaknya yang tengah duduk santai
                Pak Udin mengipas-ngipasi lehernya. Sementara Bu Minah duduk di hadapannya. Dia seperti menunggu sesuatu. Ingin bertanya, takut waktunya belum tepat.
                Air putih itu diminum. Seteguk, dua teguk, tiga teguk dan habis
                “Bapak udah shalat Dzuhur?” tanya Bu Minah
                “Belum Bu,”
                Suasana sepi. Bu Minah belum ingin bicara. Sementara Pak Udin baru saja selesai berkipas. Pak Udin pun beranjak ke kamar mandi.
                Suasana yang sempat agak tegang itu menjadi cair. Bu Minah ingin menanyakan tentang pekerjaan yang sedang diusahakan suaminya. Maklum, Utari putri mereka belum boleh masuk sekolah sebelum melunasi uang sekolahnya.
                “Assalamu’alaikum,”
                “Wa’alaikumussalam, eh nak Saski. Silahkan masuk,” Bu Minah menyambut tamunya
                “Saya ayahnya Saski Bu,” jelas Pak Jazuli
                “Dan ini ibunya Saski,” Pak Jazuli menjelaskan
                “Mari..mari masuk, silahkan duduk. Maaf seadanya. Biar saya duduk di bawah,” jelas Bu Minah mempersilahkan tamunya. Maklum bangku di rumah keluarga Pak Udin terbatas. Hanya ada tiga bangku. Sehingga bila jumlah orangnya melebihi kapasitas bangku, terpaksa yang lain duduk di tikar.
                “Gak usah Bu, gak usah Bu, kami duduk di bawah juga,” jelas Pak Jazuli sambil beranjak ke bawah, disusul Bu Muslihah dan Saski
                Bu Minah menjadi salah tingkah, “Loh? Ayo Pak, Bu, Nak Saski duduk di atas saja.”
                “Eeeh ada tamu,” Pak Udin menyapa, air sisa wudhu’ masih nampak di wajahnya. Baru saja menunaikan shalat Dzuhur. Kekikukan pun usai. Semuanya duduk di tikar.
                “Silahkan diminum Pak, Bu, Saski,” Utari mempersilahkan tamunya
                “Habis minum, kamu main sama Utari ya Saski,” pinta Pak Jazuli
                “Ya ayah,”
                Diteguknya air minum itu, tak lama kemudian Saski sudah bermain dengan Utari.
                “Ada angin apa nih Pak? Tumben-tumbenan Bapak dan Ibu mau menyambangi gubuk kami ini?” tanya Pak Udin hati-hati
                “Nggak cuma silaturrahmi.” Jawab Pak Jazuli singkat. Dia nampak berpikir dan bingung untuk menyampaikan maksud kedatangannya itu
                Akhirnya, “Hmm, pertama-tama saya mohon maaf pada Pak Udin dan Bu Minah. Karena kedatangan kami yang mendadak,”
                Pak Udin dan Bu Minah hanya diam. Mereka menunggu lanjutan Pak Jazuli.
                “Apa benar Utari sekarang sudah tidak sekolah?”
                Pak Udin dan Bu Minah terkejut. Mereka tidak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu.
                “Iya Pak, sudah hampir seminggu,” jawab Bu Minah. Sementara Pak Udin hanya tertunduk
                “Utari baru boleh masuk setelah melunasi uang sekolahnya,” Bu Minah meneruskan penjelasan
                “Maaf, Pak Udin sekarang kerja apa?” tanya Pak Jazuli hati-hati
                Perasaan malu karena tidak bisa menafkahi anak dan istri. Perasaan kesal karena merasa dipojokkan selama ini. Kesal tidak kunjung dapat kerja. Semuanya menyatu dalam kepala dan perasaan pak Udin. “Tapi saya sudah berusaha Pak. Pemerintah saja yang tidak becus menyediakan lahan pekerjaan,” mendadak Pak Udin menjelaskan demikian
                Mendapat jawaban yang tidak diduga ini, raut muka Pak Jazuli sempat berubah. Mulutnya sempat melongo.
                “Benar Pak, selama seminggu ini Bapak sudah berusaha mencari pekerjaan,” jelas Bu Minah.
                “Ya. Iya Pak, saya mengerti. Saya yakin Bapak sudah berusaha mencari pekerjaan. Saya juga setuju menyediakan lapangan pekerjaan memang tanggung jawab pemerintah. Cuma memang, kita hanya bisa berusaha.” Pak Jazuli mencoba bersikap hati-hati dan netral
                “Ayo Pak jelaskan saja,” pinta Bu Muslihah yang dari tadi hanya diam
                “Begini Pak Udin, saya di rumah ada motor. Motor itu tidak dipakai oleh saya. Silahkan motor itu Pak Udin gunakan untuk ojek. Pak Udin tidak perlu setor uang kepada saya. Pendapatan dari ojek semuanya buat Pak Udin. Saya cuma minta Pak Udin untuk merawat motor itu saja,” Pak Jazuli menutup penjelasannya dengan senyum
                Kini Bu Minah dan Pak Udin yang terkejut. “Benar Pak?” tanya Bu Minah
                “Iya benar Pak?” Pak Udin mengulangi pertanyaan istrinya
                Pak Jazuli hanya mengangguk. “Dan ini, ada uang sekadar untuk membayar uang sekolah Utari,” ujar Pak Jazuli sambil menyerahkan uang itu ke Pak Udin
                “Alhamdulillah, terima kasih Pak Jazuli,” ucap Pak Udin sambil mencium tangan Pak Jazuli
                Sementara Bu Minah langsung merangkul Bu Muslihah seraya berkata, “Terima kasih banyak ya Bu. Jadi merepotkan,”
                “Tidak apa-apa Bu Minah. Sudah kewajiban kami,” jawab Bu Muslihah
                Tak terasa adzan Ashar mulai berkumandang. Allahu Akbar..Allahu Akbar..



TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar