Kamis, 12 September 2013

Satu Peristiwa di Hudaibiyah

KETIKA terjadi Perjanjian gencatan senjata antara kaum muslimin dan pihak Makkah, terjadi krisis di kalangan kaum muslimin. Sebagian dari mereka dilanda kebingungan, termasuk Umar bin Khattab. Lalu, buru-buru Umar bin Khattab mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata, “Bukankah Anda Rasulullah?” Setelah diiyakan oleh Rasul, kemudian Umar mendatangi sahabat terdekat Rasul, Abu Bakar ash-siddiq, kemudian ia bertanya,

“Bukankah Muhammad itu Rasulullah?”

Tanpa banyak basa-basi Abu Bakar mengiyakan. Ia mengangguk.

“Bukankah kita pihak yang berada dalam kebenaran dan musuh berada di pihak yang salah?”

Abu Bakar kembali mengangguk.

“Lantas mengapa kita begitu lemah mempertahankan kehormatan ajaran Allah?”

Abu Bakar memahami apa yang Umar resahkan dan menjawab,

“Beliau adalah Rasulullah dan beliau tidak akan menentang-Nya. Allah akan memberikan kemenangan.”

“Tetapi bukankah Rasulullah mengatakan bahwa kita akan pergi ke Rumah Suci dan bertawaf di sana?”

Abu Bakar sedikit menahan pandangannya ke wajah Umar. “Begitulah,” kata Abu Bakar, “tetapi bukankah Rasulullah tidak mengatakan kita akan pergi tahun ini?”

Umar pun paham yang ada di hadapannya sekarang ini adalah seorang yang mendapat gelar Ash-Shiddiq. Dia senantiasa membenarkan apa yang Rasulullah katakan. Bahkan keimanan setengah penduduk kaum muslimin jika ditimbang tak akan sanggup menyamai derajat keimanan seorang Abu Bakar.

Perasaan campur aduk tak karuan menyeruak di dalam dada Umar dan sebagian besar kaum muslimin lainnya. Antara setengah percaya bahwa kini perjuangan meninggikan agama Allah yang telah dimulai dua puluhan tahunan lalu itu seperti yang dicampakkan. Kalah? Apakah “kebenaran” berhasil dikalahkan? Mungkin ini yang terlintas di sebagian kepala kaum muslimin saat itu.

Umar menangkap maksud yang tertulis dalam perjanjian ini adalah suatu kekalahan telak bagi kaum muslimin. Dan tidak hanya Umar, beberapa sahabat lain pun sama halnya berpendapat seperti itu. Bahkan Ali yang menjadi juru tulis perjanjian itu pun merasakannya. Betapa dirinya merasa terhina ketika menghapus tulisan “Bismillahirrahmannirahim” menjadi “Bismika Allahumma” dan “Muhammad Rasulullah” menjadi “Muhammad bin Abdullah”.

Perjanjian tersebut kemudian ditandangani secara resmi. Rasulullah memanggil beberapa sahabat di antaranya: Abu Bakar, Umar, Ali, Abdurrahman bin Auf, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin Suhail. Mereka semua membubuhkan nama dan tanda tangan pada dokumen perjanjian itu. Semua mengikuti perintah Rasulullah dalam diam sekalipun terjadi gejolak di dalam dada. Tidak tahu apa yang akan menimpa kaum muslimin selanjutnya setelah perjanjian ini ditanda tangani.

Tak berapa lama kemudian setelah semua kaum muslimin menuruti perintah Rasulullah untuk menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut – sekalipun semula orang-orang tidak langsung menanggapinya, dan baru melakukannya ketika Rasulullah mencontohkannya di depan tendanya sendiri – turunlah ayat yang menggembirakan kaum muslimin. Inna Fatahna laka Fathammubina.

“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Q.S. 48:1)

Hati kaum muslimin menjadi tenang. Seolah seperti ada sebuah harapan baru ketika ayat itu dibacakan. Ditambah lagi janji Allah yang akan membuktikan ru’yat (mimpi) Rasul, yakni memasuki Masjidilharam dalam keadaan aman. Betul-betul melegakan. Seperti nyala pelita yang berpendar dalam kegelapan. Dan benar saja, selanjutnya mimpi itu menjadi nyata. Kaum muslimin kembali memasuki kota Makkah dalam sebuah peristiwa yang dinilai sebagai sebuah pertempuran tanpa pertumpahan darah oleh khalayak ramai. Fathu Makkah.

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (Q.S. 48:27). [iman adipurnama/islampos]

sumber: http://www.islampos.com/satu-peristiwa-di-hudaibiyah-57163/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar