Kamis, 12 September 2013

Biarkan Aku Hidup Tanpa Jabatan

Biarkan Aku Hidup Tanpa Jabatan
 

LELAKI berperawakan tinggi itu wajahnya memancarkan semburat cahaya, begitu kemenangan datang. Ubullah, salah satu wilayah jajahan yang dikuasai rezim Persi, dapat ditaklukkan pasukan Muslim.”Allahu akbar, shadaqa wa’dah (Allah Mahabesar, yang menepati janji-Nya),” seru dia dihadapan sisa-sisa pasukan Muslim yang ia pimpin.

Utbah bin Ghazwan, lelaki tersebut, tentu saja tidak segera meninggalkan daerah itu. Ia langsung menunjuk orang-orang yang tepat untuk membangun dan mengembangkan daerah itu menuju kemandirian. Masjid menjadi bangunan pertama dan utama yang ia bangun.

Setelah masjid beserta infrastruktur pemerintahan di kota yang disebut Basrah itu terbentuk, Utbah menulis surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Isinya, ia meminta pada Khalifah agar dirinya kembali ke kota Madinah untuk meneruskan tugas-tugas jihad bersama sang Khalifah Umar.

Akan tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Amirul Mukminin. Umar memerintahkan Utbah tetap tinggal dan memimpin penduduk Basrah agar tercipta masyarakat yang hidup di bawah naungan Al-Quran dan As-Sunnah.

Mendengar argumen Amirul Mukminin yang kuat, Utbah memutuskan untuk mengikuti perintahnya, seraya berdoa memohon kekuatan menghadapi persoalan pada Rabbnya. Selama beberapa kurun dia terjun langsung bersama pasukannya membina, mendidik, dan mendakwahkan syariat dan nilai-nilai Islam kaffah.

Salah satu taushiah yang kerap dituturkan Utbah pada warga Basrah adalah soal pentingnya hidup zuhud (sederhana). Karena ia bicara dengan keteladanan maka masyarakat dengan cepat menerima dan mempraktikannya. Ia dikenal luas sebagai orang yang tidak hanya pandai bicara tapi juga istiqomah dalam perbuatannya.

Sekelompok orang yang semula hidup berlimpah harta tanpa memedulikan orang-orang di sekitar lingkunganya yang serba kekurangan mulai sadar dan insyaf. Sebagian lain masih membandel, bahkan selalu tersinggung dengan ajakan Utbah untuk zuhud.

Menghadapi kelompok orang yang belum menerima gerakan hidup zuhud itu, Utbah dengan tegas mengingatkan manfaatnya serta contoh dari kehidupan Rasulullah SAW. “Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai salah seorang kelompok tujuh, yang tak punya makanan kecuali daun-daun kayu, sehingga bagian mulut kami pecah-pecah dan luka-luka. Di suatu hari aku beroleh rizki sehelai baju burdah, lalu kubelah dua, yang sebelah kuberikan kepada Sa’ad bin Malik dan sebelah lagi kupakai untuk diriku…!

Bukannya kelompok orang kaya itu menerima nasihatnya, ada segelintir dari mereka yang berupaya keras mempengaruhi Utbah. Mereka membanding-bandingkan soal kewajaran hidup sebagai seorang penguasa yang memiliki “kekuatan” di tangannya. Mendengar kisah-kisah seperti itu, Utbah hanya dapat bersabar dan menahan amarah, seraya berkata, “Aku berlindung diri kepada Allah dari sanjungan orang terhadap diriku karena kemewahan dunia, tetapi kecil pada sisi Allah!”

Begitulah, setiap kali mendengar perbincangan tentang dunia dan kemewahan, Utbah tampak takut. Ia takut terhadap dunia yang diyakininya dapat merusak agamanya dan umat secara luas.

Entahlah, apa yang membuat kelompok pembesar di Basrah berhati keras. Nasihat yang berulang kali dilontarkan tak begitu digubris. Suatu hari, karena mereka tidak menerima masukan Utbah sebagai pemimpin mereka, Utbah pun berkeras, “Besok lusa kalian akan lihat pimpinan pemerintahan dipegang orang lain menggantikan aku.”

Beberapa saat setelah peristiwa itu, datanglah musim haji. Utbah tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengadukan masalah yang dihadapinya pada sang Khaliq. Ia mendelegasikan pekerjaan sehari-hari pemerintahan pada salah seorang karibnya.

Di Tanah Suci, Utbah menyempurnakan ibadah haji dengan penuh harap dan takut. Air matanya ditumpahkan demi kecintaan pada Rabbnya. Ia pun tak menyia-nyiakan waktu untuk menyampaikan maksud dan keinginannya pada Amirul Mukminin. Ia menemuinya di Madinah.

Setelah diterima Umar, Utbah mengungkapkan isi hatinya bahwa  ia sangat ingin mengundurkan diri dari arena kekuasaan. Ia ingin menjadi rakyat biasa yang senantiasa beribadah dan siap berjihad jika datang perintah.

Keinginannya kali ini pun tak dikabulkan Khalifah Umar. Ia, sebagaimana biasa diungkapkan dalam menghadapi kasus demikian, berkata pada Utbah, “Apakah kalian hendak menaruh amanat di atas pundakku? Kemudian kalian tinggalkan aku memikulnya seorang diri? Tidak! Demi Allah tidak kuizinkan selama-lamanya…”

Pernyataan itu, sekali lagi, membuat Utbah tak dapat berargumen lagi. Ia pun bersiap-siap kembali ke Basrah, wilayah binaannya. Sebelum naik kendaraan ia menghela nafas sesaat. Badannya dihadapkan ke arah kiblat.

Sambil mengangkat kedua telapak tangannya ke langit ia memohon supaya tidak dikembalikan ke Basrah dan tidak pula memimpin di sana. Di benaknya masih tertanam perilaku sekelompok pembesar yang tak bisa menerima ajakan hidup zuhud, wara’, dan menegakkan keadilan. Itu mengakibatkan penduduk lain terpengaruh dengan kelompok tersebut.

Dengan sisa-sisa tenaganya ia berangkat ke Basrah untuk memenuhi tugas Khalifah. Takdir Allah menentukan seorang Utbah harus wafat di tengah perjalanan antara Madinah dan Basrah. Kesyahidannya membawa jalan baginya tetap istiqamah pada hidup zuhud. Tanpa gelar dan jabatan. [Misroji/saksi/islampos]
Sumber: http://www.islampos.com/biarkan-aku-hidup-tanpa-jabatan-2-58082/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar