Rabu, 09 November 2011

Zainab binti ‘Ali bin Abi Thalib r.a dan Kebijaksanaannya serta Kecerdasannya

(47) Zainab binti ‘Ali bin Abi Thalib r.a dan Kebijaksanaannya serta Kecerdasannya.
Di antara ungkapan Zainab yang ma’tsur adalah:
-          Barangsiapa yang menginginkan makhluk menjadi perantara untuk mendapatkan syafaat dari Allah, maka pujilah Allah. Apakah kamu tidak mendengar perkataan mereka, “Allah Mahamendengar terhadap orang yang memujinya?”
-          Takutlah kepada Allah, karena dia Mahakuasa untuk berbuat apa pun kepadamu, dan malulah kepada-Nya, karena kamu dekat dengan-Nya.[1]

(48) Zainab binti ‘Ali dan Pembunuh Saudaranya, Husain r.a.
Buku-buku sejarah menginformasikan kepada kita bahwa setelah terbunuhnya Husain bin ‘Ali di Karbala’, keluarga Husain, di antaranya saudara perempuannya, Zainab binti ‘Ali, datang menghadap ‘Ubaidillah bin Ziyad salah satu pejabat Yazib bin Mu’awiyah. Zainab mengenakan pakaian yang paling jelek, sehingga dia susah dikenali. ‘Ubaidillah bekata, “Siapa ini?”
Dia tidak menjawab, hingga ‘Ubaidillah mengulang pertanyaannya hingga tiga kali. Kemudian salah seorang pelayan Zainab berkata, “Ini adalah Zainab putri Fathimah.”
‘Ubaidillah berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mencemarkan dan membunuh orang yang paling dusta dari pihak kalian.”
Zainab berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan dan mensucikan kami dengan Nabi Muhammad SAW, tidak seperti apa yang kamu katakan. Orang yang tercemar itu adalah orang fasik, dan orang yang dusta itu adalah orang jahat.”
‘Ubaidillah berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu tentang perbuatan terhadap Ahlul Baitmu?
Zainab berkata, “Allah telah menetapkan kematian bagi mereka, mereka berkumpul di tempat tidur mereka, dan Allah akan mengumpulkan kalian dengan mereka, di sana kalian nanti akan saling adu argumen dan saling membantah di depan Allah.”
‘Ubaidillah berkata, “Allah telah membebaskan saya dari pemberontak di kalangan kamu, —maksudnya Husain— dan pembangkang yang suka melawan dari Ahlul Baitmu.”
Zainab berkata, “Kamu telah membunuh saudaraku yang separuh baya, mengalahkan keluargaku, memutus nasibku, dan telah menceraiberaikan asal usulku. Jika ini membuatmu puas, saya juga merasa puas.”
‘Ubaidillah berkata, “Perempuan ini pemberani. Sumpah, bapakmu pemberani.”
Zainab berkata, “Apa hubungannya perempuan dengan keberanian? Masa bodoh dengan keberanian.”[2]

(49) Zainab dan Pembelaannya terhadap Keponakannya
Ketika ‘Ubaidillah mengeluarkan surat perintah untuk membunuh ‘Ali bin Husain, bibinya, Zainab sangat mencintainya. Lalu Zainab berkata kepada Ibnu Ziyad, “Hai Ibnu Ziyad, masih belum puas kamu mengganggu kami, bukankah kamu sudah membuat banjir dengan darah kami? Apakah kamu akan membiarkan salah seorang dari kami tetap hidup?” Sambil memeluk ‘Ali, keponakannya, Zainab berkata lagi, “Saya minta kepada Anda, jika kamu benar-benar mukmin, jika kamu membunuhnya niscaya kamu juga akan membunuh saya.”
Ibnu Ziyad berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Saya salut, dia benar-benar menyayangi keponakannya. Demi Allah, saya mengira dia rela jika saya membunuh keponakannya. Saya juga akan membunuh dia bersama keponakannya. Panggillah pemuda itu. Pergilah bersama perempuan-perempuan dari kalangan keluargamu.”[3]

(50) Zainab binti ‘Ali dan Yazid bin Mu’awiyah
Ketika Zainab binti ‘Ali masuk ke ruangan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah di Damasqus, dengan disertai keluarga Ahlul Bait lain yang selamat dari insiden Karbala’. Salah seorangnya ada penduduk Syam, pengikut Yazid bin Mu’awiyah yang ingin mengambil Fathimah binti ‘Ali untuk dirinya. Fathimah berlindung kepada kakak kandungya, Zainab. Zainab berkata, “Kamu dusta, meski kamu mati, Fathimah tidak untukmu dan tidak untuk dia.”
Mendengar ungkapan Zainab, Yazid bin Mu’awiyah marah seraya berkata kepada Zainab, “Kamu bohong. Demi Allah, dia untukku. Jika kamu menginginkan saya berbuat sesuatu, niscaya saya akan melakukannya.”
Zainab berkata kepada Yazid bin Mu’awiyah, “Tidak, demi Allah, Allah tidak menjadikan dia untukmu, kecuali kamu keluar dari agama kami dan memeluk agama lain selain agama kami.”
Yazid bin Mu’awiyah meninggalkan mereka, setelah itu Yazid menghormati mereka selayaknya menghormati tamu yang lain, kemudian Yazid mengirim mereka ke Madinah Munawwarah secara terhormat.


[1]‘Umar Kahalah, “A’lâmu An-Nisâ’.”
[2]Ibnu Katsir, “Al-Bidâyah wa an-Nihâyah.” Lihat juga “Târîkh ath-Thabari.”
[3]Dikutip dari “Nihâyatul Arbi.”
Sumber; 100 Qishshah min Dzakâi ash-Shahâbiyyât, Manshur Abd. Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar