Jumat, 07 Maret 2014

Taqwa Itu Mungkin dan Mudah Dicapai

Alhamdulillah, semalam saya menunaikan shalat Tarawih di sebuah masjid daerah Kayu Manis. Penceramahnya saat itu adalah Drs Syafruddin MA.

Dia membahas ayat-ayat terkait dengan puasa dan diselingi dengan hadits Rasulullah saw.

Sebagai pembuka dia membaca ayat 183 dari surat Al-Baqarah.

“Siapa pun telah mengetahui, bahkan hafal ayat ini. Di ayat ini Allah mewajibkan kita untuk berpuasa. Berpuasa juga merupakan ibadah kaum-kaum sebelum kita. Ujung yang ingin dicapai adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa.”

“Ibadah berpuasa memang disyari’atkan kepada umat-umat sebelum kaum muslimin. Salah satu contohnya, ketika Rasulullah saw sampai di Madinah, beliau saw mendapatkan orang-orang Yahudi sedang menunaikan puasa. Ketika ditanya ternyata mereka sedang berpuasa hari Asyura, sebagai rasa syukur, karena orang-orang Bani Israil dan nabi Musa selamat dari kejaran Fir’aun dan pasukannya.”

“Di dalam bahasa Arab ada istilah taraajiy (harapan) dan tamanniy (angan-angan). Taraajiy adalah suatu harapan yang mungkin dan mudah untuk dicapai. Ungkapan taraajiy biasanya menggunakan kata la’alla. Sedangkan tamanniy adalah angan-angan yang sulit, bahkan tidak mungkin untuk dicapai. Ungkapan tamanniy biasanya menggunakan kata laita.”

Untuk kata Laita, kita bisa menggunakan contoh ayat, “Yaa laitaniy kuntu turaaba yang artinya, "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” Angan-angan seperti ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Seseorang berharap, andaikan saja dulu dia bukan diciptakan sebagai manusia, tapi diciptakan sebagai tanah.

Sedangkan kata la’alla merupakan ungkapan untuk sesuatu yang mungkin dan mudah untuk dicapai. Contoh ungkapannya adalah La’allakum tattakuun yang artinya semoga kalian bertakwa.

“Ketakwaan itu merupakan sesuatu yang mungkin dan mudah untuk dicapai. Allah telah menunjukkan cara untuk mencapai ketakwaan, salah satunya dengan berpuasa.”

Kemudian ustadz Syafruddin menjelaskan tentang pengertian kata Ayyaaman Ma’dudaat yang terdapat di dalam ayat 184 dari surat Al-Baqarah.

“Menurut bahasa Arab, jika ungkapan Muslimaat digandeng dengan kata shaalihah, maka kata ungkapan yang benar Muslimaaat shaalihaat, Mukminaat shaalihaat. Bentuk kata shaalihah berubah bentuk mengikuti bentuk muslimaat atau mukminaat. Kenapa karena bentuk muslimaat dan mukminaat itu merupakan bentuk kata benda yang berakal, dalam hal ini Muslimaat diterjemahkan para muslimah dan kata mukminaat diterjemahkan para mukminat atau orang-orang beriman di kalangan wanita.

Jika kata bendanya tidak berakal, seperti kata masaajid digandeng dengan kata kabiirah, maka kata kabiirah tidak berubah menjadi kabiiraat. Karena masaajid merupakan kata benda yang tidak berakal. Masaajid diterjemahkan dengan masjid-masjid.

Lalu bagaimana dengan kata Ayyaaman Ma’dudaat? Ayyaaman merupakan bentuk jamak dari bentuk tunggal yaumun. Ayyaaman diterjemahkan dengan hari-hari. Bukankah kata Ayyaaman yang diartikan sebagai hari-hari merupakan kata benda dari sesuatu yang tidak berakal? Mengapa ketika digandeng dengan kata Ma’dudah, kata ma’dudah ikut berubah menjadi ma’dudaat mengikuti perubahan kata yaumun menjadi Ayyaaman?

Kata Ayyaaman dianggap sebagai sesuatu yang berakal dan hidup. Itu berarti hari-hari di bulan Ramadhan harus dihidupkan dengan berbagai ibadah, disamping ibadah puasa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa berpuasa karena keimanan dan penuh perhitungan (ihtisaban), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”

“Pengertian ihtisaban dimulai dari niat berpuasa karena Allah swt.”

“Sekian saja yang bisa saya sampaikan, lebih kurangnya saya mohon maaf.”

Assalamu’alaikum warahmatullah wa baraakatuh.


TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar