Sabtu, 22 Maret 2014

HAL BIL TEUKU UMAR

  Menjelang tengah hari Sabtu (22/9), saya dan Ahmad Yani sampai di rumah Anita Ratnasari. Di sanalah, kami alumni SD Trisula berkumpul untuk mengadakan acara halal bi halal.
        Walau waktu diperkirakan sudah menunjukkan pukul 11.30, namun acara belum juga dimulai. Karena pada saat itu, baru ada bebarapa orang guru dan beberapa orang teman.
        Guru-guru yang sudah hadir pada saat itu; Pak Abur, pak Ahmad, pak Anwar, Pak Reza, bu Nourma, Bu Renny, bu Utami, Bu In, Cik Tini, ada seorang guru lagi dan ibu TU; bu Hardiman serta menyusul pak Suryamin dan bu Enna.
        Sedangkan teman-teman yang sudah hadir, tentu tuan rumah Anita dan beberapa orang panitia. Ada Silvi, Pinky, Tika, Hardi, Karin.
        Indah Erfia Yusi alias Era datang hampir bersamaan dengan saya dan Yani. Lalu berturut-turut menyusul Arief, Cuwat, Fatah, kembar ‘grup’ Maya dan Neni, Afriatie Dewi, Siti Yunita, Nita Sabardiman, Sari Rejeki, Laura, Arlina, Yantri, Nuar, Dian, Nining, Ira Iskandar, Mercy, Meinarnidan Dina.
        Acara dibuka MC Fatah Setiawan, “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.”
        Ucapan pembuka Fatah dilanjutkan dengan Fatah mewakili tuan rumah mempersilahkan teman-teman untuk makan atau menunaikan shalat Dzuhur terlebih dahulu.
        “Sebelah kiri adalah tempat berwudhu’ dan sebelah kanan adalah tempat menunaikan shalatnya,” jelas Fatah.     
        Usai menunaikan shalat, kami menyantap makanan yang telah tersedia. Ada nasi, bakso, siomay, buah-buahan, es krim dan banyak lainnya. Walau nikmat terasa di lidah, tapi lebih nikmat lagi bertemu dengan teman-teman. Terlebih lagi bertemu dengan para guru. Karana pertemuan dengan guru-guru ini merupakan pertemuan yang jarang terjadi.
        Maka kesempatan itu pun tidak saya sia-siakan. Saya menghampiri pak Reza yang pada saat itu datang bersama istri. Pak Reza yang saya kenal dulu adalah seorang pemuda gagah, tinggi dan seorang pelukis. Dia adalah wali kelas saya di kelas 3.
        Tapi pak Reza kini berbeda. Dia sakit, terkena penyakit parkinson, sebagaimana yang diakuinya. Walau dapat berbicara dengan wajar, namun suaranya tidak lagi selantang dulu.
        “Masih ngajar pak?”
        “Masih.. ngajar melukis untuk ekstrakurikuler di Trisula. Selain itu, menulis cerpen dan juga puisi.”
        Lalu pembicaraan beralih ke kakaknya pak Raza, Pak Nurdin Arsyad. Beliau adalah guru pramuka kami sewaktu di SD. Pak Reza menjelaskan bahwa kakaknya ini tidak lagi mengajar anak-anak pramuka. Tapi beliau mengajar para pembina pramuka.
        Saat menulis tentang pak Rezaini, saya baru teringat. Ada sebuah olah raga sederhana ala prof. Hembing, yaituolah raga ayunan tangan ala Hembing. Bila olah raga ini dilakukan, fungsinya sama saja dengan akupuntur ke seluruh titik akupuntur. Ituberarti, olah raga iniuntukmengobatiberbagaipenyakit.Barangkali olah raga sederhana ini dapat mengobati penyakit pak Reza.Lain waktu, insya Allah akan saya sampaikan pada beliau.
        Saya juga sempat berbincang-bincang dengan pak Abur, wali kelas saya di kelas 6. Pak Abur bercerita tentang pak Dabas, pak Cipto yang telah meninggalkan kami semua. Berbicara dengan pak Abur, saya teringat dengan ‘aturan’ beliau ketika kami kelas 6.
        “Dulu pak,” saya coba mengingatkan
        “Ketika hasil ulangan matematika keluar, pada saat itulah posisi duduk kami ditentukan. Arief dan Cuwatlah yang selalu duduk di bangku paling belakang. Karena nilai merekalah yang biasanya memperoleh nilai terbaik. Dan, saya seringkali duduk di bangku paling depan.”
        Pak Abur keluar dari Trisula setahun setelah kami lulus dan beralih menjadi lurah di daerah Cileduk
        Sambilmenikmatimakanankecil, masing-masing kami diminta Fatah sebagaipemanduuntuk‘memperkenalkandiri’. Walau ada beberapa orang teman sudah beberapa kali bertemu di acara reuni, sehingga sudah diketahui kegiatannya saat ini, namun ada saja informasi yang terlewat.
        Saya terkejut ternyata Fatah masih ‘single’ dengan entah berapa orang anak, demikian pula dengan Dian dan Arlina.
        Status single pun akhirnya menjadi bahan untuk kami bergurau. Kami pun secara otomatis, langsung menjadi mak comblang Fatah. Fatah diminta untuk tegas memilih antara Arlina atau Dian. Fatah yang ‘menjadi korban’ pun dengan santai menanggapinya.
        Bukan hanya mengenai status saja yang baru diketahui. Saya baru tahu kalau ternyata Dina Djindarbumi adalah seorang dokter. Nining bekerja di kantor Imigrasi Jakarta Pusat.
        Saya juga baru tahu bahwa kalau pak Anwar dan bu Nourma sudah lama mengajar di SD Trisula. Maka tidak heran kalau pak Anwar bercerita bahwa anak-anak mantan gubernur Ali Sadikin pernah bersekolah di SD Trisula. Mutia Hatta anak dari proklamator dr. Moh. Hatta juga pernah bersekolah di sekolah kami.
        Selain menceritakan masa kerja di SD Trisula, pak Anwar juga menjelaskan kondisi sekolah kami saat ini. Jumlah murid yang bersekolah di sana telah menurun.
        Dengar-dengar jumlah keseluruhan murid hanya seratus orang lebih. Tiap kelasnya ada sekitar 15 orang murid. Padahal dulu, setiap kelas minimal 22 orang murid.
        “Cobalah kalian mampir, menengok sekolah kalian itu,” begitu pak Anwar berkata
        “Tidak harus bantuan materi yang diberikan, bisa sumbangan pikiran atau apa saja yang dapat membuat sekolah kita ini dapat bangkit kembali,”
        Sambutan dari pak Anwar, dilanjutkan oleh pak Obby.
        “Kalau para guru lupa dengan nama kalian, itu terlalu,” jelas pak Obby sambil tersenyum.
        “Kenapa? Karena guru-guru kalian ini bertemu dengan kalian setiap hari. Sedangkan kalau saya lupa pada kalian, itu  sudah wajar. Karena saya mengajar kalian bermain angklung hanya seminggu sekali.”
“Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kalian ini memang alumni SD Trisula. Demikian pula SMP, SMA atau perguruan tinggi tempat kalian menuntut ilmu, itu adalah bagian dari hidup kalian,” jelas pak Obby
        “Kalian baik, maka nama sekolah akan terikut baik. Demikian pula sebaliknya.” Kemudian pak Obby melanjutkan pembicaraan pak Anwar sebelumnya.
        “Saya banyak belajar dari angklung. Diantara kalian dulu ada yang memegang angklung dengan nada do, ada yang memegang nada re, mi, fa, sol, la, si dan seterusnya. Masing-masing kalian berbeda, tapi begitu kalian memainkan perannya masing-masing, maka jadilah sebuah lagu yang indah. Coba bayangkan jika kalian semuanya memegang angklung dengan nada do saja. Apakah akan terdengar sebuah lagu yang indah? Perbedaan itu bisa mewujudkan keindahan. Berbeda dengan sekarang, perbedaan menjadi ajang untuk bergontok-gontokkan,” jelas pak Obby
        Sambutan para guru ditutup dengan sepatah dua kata dari pak Yamin. Diantara kata-kata beliau yang saya ingat, “Fungsi harta itu ada tiga. Pertama, untuk dimakan, yaitu dengan membeli makanan. Kedua, untuk dipakai; yaitu dengan membeli pakaian, sepatu, mobil dan seterusnya. Ketiga, untuk menjadi bekal kita di akhirat kelak.
Jika kita telah tiada, harta tidak ada gunanya lagi. Tidak dapat digunakan untuk membeli makanan, tidak dapat digunakan untuk membeli pakaian, sepatu, mobil dan seterusnya. Hanya yang dalam bentuk infak, sedekah, zakat yang dapat digunakan untuk bekal kita.”
Setelah itu, beliau memimpin doa.
        Sebagian besar teman-teman sudah ‘memperkenalkan dirinya’ dan para guru juga sudah menyampaikan sambutan dan mencoba menyegarkan ingatan kami semua.
        Acara pun dilanjutkan dengan pemberian ‘kenang-kenangan’ kepada para guru serta ditutup dengan foto bersama.
        Setelah itu, masuk ke acara bebas dan topik terhangat pada hari itu, kembali diangkat. “Jadi, Fatah milih yang mana nih? Dian atau Arlina?”

TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar