Minggu, 09 Februari 2014

Moga Tidak Ada Pak Udin Lainnya

“Pak…Pak….,” Utari merengek
            Pak Udin yang sedang duduk melamun hanya menoleh sebentar.
            Utari menghampiri Bapaknya. Dia duduk bersimpuh di samping kursi yang diduduki Bapaknya.
            “Pak…Bapak!!,” rengekan Utari kali ini disertai aksi tangan mungilnya. Menarik-narik baju Bapaknya.
            “Ada apa nak?” tanya Pak Udin dengan sedikit mengerutkan dahinya
            “Tari boleh ngomong gak?”
            Pak Udin bertambah bingung. Kerutan di dahinya nampak semakin berlipat.
            “Hah…” Pak Udin menghembuskan napasnya. Dia tahu, pasti ada yang serius.
            “Ya, ada apa Tari?”
            “Tapi Bapak janji, Bapak nggak marah?”
            Pak Udin kembali menarik napas agak dalam dan menghembuskannya kembali
            “Ya… ada apa Tari?” pertanyaannya kali ini keluar dengan nada agak berat
            “Bapak kerja dong…Tari malu belum bayar uang sekolah,”
Belum sempat Pak Udin menanggapinya.
            “Tuh Pak, kerja dong! Tari khan perlu bayar uang sekolah!! Bu Minah menimpali permintaan putrinya itu.
            “Usaha Pak!! Jangan kerjanya makan, tidur, makan, tidur aja. Cari dimana kek! Tanya-tanya siapa kek!” ‘senapan mesin’ Bu Minah terus memuntahkan peluru
            “Jangan ibu yang disuruh jadi TKW!!”
            Merasa dipojokkan putri dan istrinya, Pak Udin beranjak dengan cepat dari kursi. Mukanya merah, matanya mendelik, tangan kirinya berkacak pinggang. “Udah!! Ibu nggak usah ngatur-ngatur saya!! hardik Pak Udin sambil menunjuk-nunjuk ke Bu Minah
            Melihat pemandangan ini, Utari segera berlari ke ruang makan. Dia segera membuka tas dan mengambil PR Matematikanya. Anak berusia 10 tahun itu biasa mengerjakan PR di sana. Maklum, rumah keluarga pak Udin memang kecil. Kalau ada kelas rumah setingkat dengan RSS, rumah pak Udin entah berapa banyak huruf S yang berbaris.
            Soal pertama tuntas diselesaikan Utari. Tapi begitu memasuki soal kedua, dia melamun. Pandangannya dijemput oleh bayangan olok-olokan temannya yang terjadi di pagi hari tadi.
            “Utari belum bayar uang sekolah…Utari belum bayar uang sekolah,”
            Olok-olokkan itu membuat wajah Utari memerah. Malu dan sedih yang dirasakannya. Tidak terpikir lagi olehnya, darimana informasi itu dapat bocor ke teman-temannya. Yang ada di benaknya, bagaimana caranya agar dia dapat bicara dengan Bapaknya.
            Lamunannya buyar setelah teringat kejadian tadi. Ibu yang berusaha mengingatkan Bapak, malah balik dimarahi.
                                                                                                  ***
            Usai shalat Isya, Utari berdoa, “Ya Allah, saya mohon ya Allah. Saya hanya ingin Bapak mau kerja. Mau mencari uang. Biar saya tidak lagi diolok-olok teman, karena tidak bayar uang sekolah. Ya Allah, bukakanlah hati Bapak. Jadikan Bapak menjadi orang yang tidak malas. Aaamiiin.”
            Dari balik dinding, Pak Udin yang mendengar doa putri satu-satunya itu, bangkit dari berbaringnya. DIa memang belum tidur, termenung. Malam itu baru menunjukkan pukul sepuluh. Bu Minah, sudah tidur lebih dahulu di sebelahnya.
            “Nak, maafkan Bapak yah,” suara Pak Udin liriha



TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar