Rabu, 09 November 2011

Ummu Salamah dan Balasan orang-orang yang Sabar

(9) Ummu Salamah dan Balasan orang-orang yang Sabar
Bagian dari kecerdasan dalam aspek keimanan adalah mengikuti petunjuk nabi. Kisah ini bagian dari kisah para Ummul Mukminin, yang mengikuti petunjuk Nabi, sebagaimana akan kita ketahui bahwa mereka akan mendapatkan ganjaran yang agung.
Ummu Salamah termasuk bagian dari kaum muslimah generasi awal. Dia mempunyai nama lengkap Hindun binti Umayyah. Ummu Salamah dikenal sebagai salah seorang sahabat perempuan yang menguasai ilmu fikih, mempunyai kefasihan dan kecerdasan dalam aspek keimanan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Dia pernah menikah dengan ‘Abdullah bin Abdul Asad, Abu Salamah r.a. Dia masuk Islam sejak pertama kali Islam datang. Dia termasuk bagian dari kaum muslimin generasi awal, istrinya bernama Ummu Salamah. Mereka berdua, hijrah bersama-sama ke Habsyi, tapi ketika hijrah ke Madinah berangkat sendiri-sendiri.
Abu Salamah ikut bertempur dalam perang Uhud. Pada perang ini, dia terkena luka parah, sehingga membawa dia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun keempat dari kenabian.
Kisah ini, disampaikan oleh istrinya, Ummu Salamah,  “Disampaikan kepada saya bahwa tidak ada balasan bagi seorang perempuan yang suaminya meninggal dunia, sementara suaminya termasuk ahli surga, kemudian dia tidak menikah lagi, kecuali Allah akan mengumpulkan mereka berdua kelak di surga. Kemarilah, kita berikrar, bahwa kamu tidak akan menikah lagi setelah saya meninggal, dan saya tidak akan menikah lagi setelah kamu meninggal.”
Abu Salamah berkata, “Apakah kamu akan mentaatiku?”
Ummu Salamah berkata, “Ya. Saya akan mentaatimu.”
Abu Salamah berkata, “Jika saya meninggal, saya minta agar kamu menikah.”
Kemudian Abu Salamah menengadahkan kedua tangannya mendoakan istrinya, “Ya Allah, karuniakanlah kepada ummu Salamah, setelah saya, seorang suami yang lebih baik daripada saya, yang tidak membuat dia sedih dan tidak menyakitinya.”
Setelah suami Ummu Salamah meninggal, dia mendatangi Nabi Muhammad SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah, apa yang harus saya katakan?”
Beliau bersabda, ucapkanlah, “Ya Allah, ampunilah dosa kami dan dosa dia, dan berikanlah saya ganti setelah dia ganti yang baik.”
Ummu Salamah membaca doa tersebut. Dia benar-benar mendapatkan ganti yang baik; Ummu Salamah dipersunting oleh Rasulullah SAW.[1]
Diceritakan dalam buku-buku sirah dan hadis, dari Ummu Salamah, bahwa dia pernah mendengar Abu Salamah berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, Tidak ada balasan bagi salah seorang muslim yang terkena musibah, lalu berkata, ‘Innâlillahi wa Innâ Ilaihi Râji’un; Ya Allah, saya ikhlas karena Allah menerima musibah yang Engkau berikan, karuniakanlah saya ganti yang lebih baik dari musibah itu,’ kecuali Allah akan memberinya ganti yang lebih baik daripada itu.” Setelah Abu Salamah meninggal, saya berkata, “Innâlillahi wa Inna Ilaihi Raji’un; Ya Allah, saya ikhlas karena Allah menerima musibah yang Engkau berikan, berupa kematian Abu Salamah. Karuniakanlah saya ganti yang lebih baik dari Abu Salamah.” Saya bertanya kepada diri saya sendiri, “Siapa ya, yang lebih baik daripada Abu Salamah?”
Tiba-tiba Rasulullah datang meminang saya, lalu saya berkata, “Saya adalah perempuan yang mempunyai banyak anak, mudah cemburu, dan sudah tua.”
Rasulullah SAW bersabda, “Jika dari aspek usia, saya lebih tua dari kamu. Jika masalah cemburu, saya berdoa kepada Allah semoga Allah menghilangkan perasaan itu dari kamu. Sedangkan masalah keluarga, pasrahkanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Demikianlah kisah Ummu Salamah. Dia mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia, termasuk dalam jajaran istri-istri Ahlu al-Bait Nabi, dan termasuk bagian dari Ummahatul Mukminin, dengan mengikuti pentunjuk Nabi yang disertai oleh kecerdasan dalam aspek keimanan, yang jarang dimiliki oleh orang lain.

(10) Ummu Salamah di Hari Hudaibiah dan Konsultasinya Kepada Rasulullah SAW
Setelah Ummu Salamah menjadi bagian dari penghuni rumah Nabi, dia meneruskan perjuangannya dan dakwahnya di jalan Allah. Dia pergi menunaikan ibadah umrah bersama Rasulullah SAW dan beberapa sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar, akan tetapi orang-orang Quraisy mencegah mereka pada hari Hudaibiyah untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Baitul Haram untuk melaksanakan ibadah umrah. Terjadi negosiasi antar kedua belah pihak, sampai pada kesepakatan perdamaian selama sepuluh tahun, dan mereka memilih untuk kembali ke Madinah tanpa melaksanakan ibadah umrah, dengan harapan bisa melaksanakannya tahun berikutnya.
Menurut sebagian kaum muslimin, syarat-syarat perdamaian sungguh merugikan orang-orang muslim. Di antara mereka yang mempermasalahkannya adalah ‘Umar bin Khaththab. Dia berkata kepada Rasulullah SAW, “Bukankah engkau sebagai Nabi Allah?”
“Benar,” jawab beliau.
“Kalau begitu kita tidak boleh membiarkan agama kita diremehkan.” Kata Umar bin Khaththab.
“Aku adalah utusan Allah, aku tidak akan mengingkari-Nya, Dia akan menolongku.” Jawab Rasulullah
“Bukankah engkau berkata kepada kami, bahwa kami akan pergi ke Baitullah, dan kami akan benar-benar bertawaf.” Kata Umar bin Khaththab.
“Benar. Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu, bahwa kamu akan pergi ke sana tahun ini?” Kata Rasulullah.
“Tidak.” Kata Umar bin Khaththab.
“Kamu akan datang, dan akan benar-benar bertawaf.” Kata Rasulullah.
Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat-sahabat beliau untuk melepas kain ihram mereka, seraya beliau bersabda, “Berdirilah, berkurbanlah, dan bercukurlah.”
Rasulullah mengulangi perintahnya hingga tiga kali, tapi tidak seorang pun yang berdiri, seolah-olah di kepala mereka ada seekor burung.
Rasulullah masuk ke sebuah kamar, menemui istri beliau, Ummu Salamah, dan langsung berbaring. Ummu Salamah berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, ada apa?” Beliau menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya, bahwa beliau menyuruh sahabatnya untuk melakukan sesuatu, akan tetapi mereka tidak mau menuruti perintah beliau. Mereka tidak mendengarkan kata-kata beliau. Hal ini yang akan mengantarkan mereka kepada kerusakan, karena mereka tidak mengikuti Nabi. Ummu Salamah berkata, “Apakah engkau menyukai hal itu?”
“Ya,” jawab beliau
Ummu Salamah berkata, “Keluarlah, dan jangan berkata dengan siapa pun, sebelum kamu menyembelih kurbanmu lalu panggilkan tukang cukurmu untuk menyukurmu.”
Rasulullah berdiri, dan melakukan apa yang diusulkan oleh istrinya, Ummu Salamah, yang cedik. Ketika para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah, mereka berdiri, menyembelih kurban, dan mencukur rambut mereka. Dengan demikian, berakhirlah permasalahannya, dan orang-orang muslim terhindar dari mengingkari perintah rasul mereka. Itu  atas kecerdikan Ummu Salamah r.a.

(11) Amar Makruf dan Nahi Mungkar dengan Kecerdasan Seorang Mukmin
Di antara implikasi dan kecerdasannya dalam amar makruf dan nahi mungkar, Ummu Salamah melarang menantu laki-lakinya agar tidak menggelembungkan pipi ketika hendak bersujud dalam shalat. Ummu Salamah berkata kepadanya, “Hai anakku, kamu tidak boleh menggelembungkan pipimu, karena saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada seorang budak hitam kami, ‘Binatang apa yang menempel di mukamu?’”[2]


(12) Kecerdikan Ummu Salamah dalam Berdakwah dan Membimbing
Di antara bukti kesungguhan Ummu Salamah dalam berdakwah ke jalan Allah dengan lembut dan ramah, adalah ada seorang pemuda yang memakai cincin emas menemui Ummu Salamah. Seketika Ummu Salamah berkata kepada pembantu perempuannya, “Hai pembantu, tolong ambilkan cincin itu.”
Pembantu Ummu Salamah mengambilnya, seraya Ummu Salamah berkata kepada pembantunya, “Bawalah cincin itu kepada kepada keluarga pemuda ini. Lalu buatkan untuknya cincin dari perak.”
Pemuda berkata, “Keluarga saya tidak memerlukan cincin emas itu.”
Ummu Salamah berkata kepada pemuda, “Sedekahkanlah cincin emas itu.” Lalu berkata kepada pembantunya, “Buatkanlah untuknya cincin dari perak.” Atas kecerdasan dan kepekaan Ummu Salamah, dia tidak membuat pemuda tersebut tersinggung dan sedih.

(13) Ummu Salamah Tidak Menyakiti Pengemis
Beberapa orang fakir yang perlu uluran tangan pernah datang menemui Ummu Salamah untuk mengemis. Salah seorang perempuan, yang dikenal dengan sebutan Ummu Husain, berdiri, seraya berkata kepada mereka, “Keluarlah!”
Ummu Salamah memanggil pembantunya yang baru saja mengusir orang-orang miskin dari rumah Ummu Salamah untuk berbicara empat mata. Ummu Salamah berkata kepada Ummu Husain, “Hai pembantu, bukan begitu yang harus kita lakukan. Berilah masing-masing mereka, meskipun dengan satu butir kurma, kamu letakkan di tangan masing-masing mereka.”[3]

(14) Perhatian Ummu Salamah terhadap Kerabat dan Ahlul Bait
Ketika turun ayat, “Itu adalah rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kalian, hai Ahlul Bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS Huud: 73) Rasulullah mengumpulkan Hasan dan Husain beserta ibu mereka, Fathimah a.s., dalam kamar beliau. Beliau membaca ayat di atas berulangkali, sementara Ummu salamah dan anaknya Zainab binti Abi Salamah duduk bersimpuh, tiba-tiba Ummu Salamah menangis. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepada Ummu Salamah, “Apa yang membuatmu menangis?”
Ummu Salamah berkata, “Ya Rasulullah, engkau mengistimewakan mereka, sementara engkau meninggalkan saya dan anak saya.”
Beliau berkata kepada Ummu Salamah, “Kamu dan anakmu termasuk Ahlul Bait.”[4]


[1]Hadis ini, diriwayatkan substansinya oleh Muslim dan Ahmad dkk.
[2]HR. Hakim.
[3]HR. Hafizh Ibnu Abdul Bar.
[4]Hani al-Hajj, “Rijâlun wa Nisâun Hawla ar-Rasûl SAW.”
Sumber; 100 Qishshah min Dzakâi ash-Shahâbiyyât, Manshur Abd. Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar