Jumat, 16 September 2011

35. AL-BARRA BIN MALIK

AL-BARRA BIN MALIK
“ALLAH DAN SURGA … !”
Dia adalah salah seorang di antara dua bersaudara yang hidup mengabdikan diri kepada Allah, dan telah mengikat janji dengan Rasulullah saw. yang tumbuh dan berkembang bersama sama. Yang pertama bernama Anas bin Malik khadam Rasulullah saw. Ibunya yang bernama Ummu Sulaim membawanya kepada Rasul, sedang umurnya pada waktu itu baru sepuluh tahun, seraya katanya: “Ya Rasulallah … ! Ini Anas, pelayan anda yang akan melayani anda, doakanlah ia kepada Allah!”
Rasulullah mencium anak itu antara kedua matanya lalu mendoakannya, doa mana tetap membimbing usianya yang panjang ke arah kebaikan dan keberkahan . . . . Rasul telah mendoakannya dengan kata-kata berikut: — “Ya Allah banyak­kanlah harta dan anaknya, berkatilah ia dan masukkanlah ia ke surga … !”
Ia hidup sampai usia 99 tahun dan diberi-Nya anak dan cucu yang banyak, begitu pula Allah memberinya rizqi, berupa kebun yang luas dan subur, yang dapat menghasilkan panen buah-buahan dua kali dalam setahun …
Yang kedua dari dua bersaudara itu ialah Barra’ bin Malik …. Ia termasuk golongan terkemuka dan terhormat, menjalani kehidupannya dengan bersemboyan “Allah dan surga. . . . “. Dan barang siapa melihatnya ia sedang berperang mempertahankan Agama Allah, niscaya akan melihat hal ajaib di balik ajaib … !
Ketika ia berhadapan pedang dengan orang-orang musyrik, Barra’ bukanlah orang yang hanya mencari kemenangan, sekali­pun kemenangan termasuk tujuan . . . ,tetapi tujuan akhirnya ialah mencari syahid  Seluruh cita-citanya mati syahid, menemui ajalnya di salah suatu gelanggang pertempuran dalam mempertahankan haq dan melenyapkan bathil
Dia tak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan baik bersama Rasul ataupun tidak …. Pada suatu hari teman-teman­nya datang mengunjunginya, ia sedang sakit, dibacanya air muka mereka lalu katanya: “Mungkin kalian takut aku mati di atas tempat tidurku. Tidak, demi Allah, Tuhan tidak akan menghalangiku mati syahid . . . !”
Allah benar-benar telah meluluskan harapannya, ia tidak mati di atas tempat tidurnya, tetapi ia gugur menemui syahid dalam salah satu pertempuran yang terdahsyat … !
Kepahlawanan Barra’ di medan perang Yamamah wajar dan cocok dengan watak serta tabiatnya. Wajar untuk seorang pahlawan yang sampai-sampai Umar mewasiatkan agar ia jangan jadi komandan pasukan, disebabkan keberaniannya yang luar biasa, keperwiraan dan ketetapan hatinya menghadang maut …. Semua sifatnya itu akan menyebabkan kepemimpinannya dalam pasukan membahayakan anak buahnya dan dapat membawa kebinasaan . . . !
Barra’ berdiri di medan perang Yamamah, ketika balatentara Iislam yang berada di bawah komando Khalid, bersiap-siap untuk menyerbu. la berdiri dan merasakan detik-detik itu, yakni saat sebelum panglimanya memerintahkan maju, amat lama sekali, sertahun-tahun layaknya . . . . Kedua matanya yang tajam bergerak-gerak dengan cepatnya menyelusuri seluruh medan tempur, seolah-olah sedang mencari-cari tempat bersemayam yang sebaik-baiknya untuk seorang pahlawan . . . . Memang tak ada yang menyibukkannya di antara segala urusan dunia, kecuali tujuan yang satu ini!
Dimulai dengan berjatuhannya korban di pihak kaum musy­rikin penyeru kedhaliman dan kebathilan akibat ketajaman dan tebasan pedangnya al-Barra’ yang ampuh . . . . Kemudian di akhir pertempuran, suatu pukulan pedang mengenai tubuhnya dari tangan seorang musyrik, menyebabkan tubuh kasarnya jatuh ke tanah, sementara tubuh halusnya menempuh jalannya membubung ke tingkat yang tertinggi ke mahligai para syuhada tempat kembalinya orang-orang yang beroleh berkah….Itulah khayalannya ketika ia menunggu komando
Khalid mengumandangkan takbir “Allahu Akbar”, maka majulah seluruh barisan yang bersatu-padu menuju sasarannya, dan maju pula peng’asyik maut Barra’ bin Malik ….
Ia terus mengejar anak buah dan pengikut si pembohong Musailamah dengan pedangnya, hingga mereka berjatuhan lak­sana daun kering di musim rontok . . . . Tentara Musailamah bukanlah tentara yang lemah dan sedikit jumlahnya … bahkan ia adalah tentara murtad yang paling berbahaya ….
Baik bilangan maupun perlawanan serta perjuangan mati­-matian prajuritnya, merupakan bahaya di atas semua bahaya
Mereka menjawab serangan Kaum Muslimin dengan per­lawanan yang mencapai puncak kekerasannya sehingga hampir­-hampir mereka mengambil alih kendali pertempuran dan merubah perlawanan mereka menjadi serangan balasan
Waktu itulah kegelisahan terasa merembes ke dalam barisan Kaum Muslimin. Melihat situasi ini, para komandan dan pim­pinan pasukan sambil terus bertempur berdiri di atas pelana, berseru dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat dan. meneguhkan hati.
Barra’ bin Malik mempunyai suara indah dan keras …. Ia dipanggil oleh panglima Khalid, dimintanya untuk buka suara .. .. Maka Barra’ pun menyerukan kata-kata yang penuh gem­blengan semangat dan kepahlawanan, beralasan dan kuat . . . . Wahai penduduk Madinah Tak ada Madinah bagi kalian sekarang. Yang ada hanya Allah dan surga … !”
Ucapan itu menunjukkan jiwa pembicaranya, dan men­jelaskan watak akhlaqnya. Benarlah . . . yang tinggal hanyalah Allah dan surga! Karena di dalam suasana dan tempat seperti ini, tidaklah wajar ada fikiran-fikiran kepada yang lain walau kota Madinah, ibu kota Negara Iislam, tempat rumah tangga, isteri dan anak-anak mereka! Sekarang tidak patut mereka berfikir ke sana! Sebab bila mereka sampai dikalahkan, maka tak ada artinya kota Madinah lagi
Kata-kata Barra’ ini meresap laksana . . . laksana apakah? Setiap tamsil apapun tidaklah tepat, karena tidak sepadan dengan hasil yang ditimbulkannya. Maka baiklah kita katakan saja, kata-kata Barra’ ini telah meresap dan itu sudah cukup … ! Dan dalam waktu yang tidak lama, suasana pertempuran pun kembali kepada keadaannya semula ….
Kaum Muslimin beroleh kemajuan sebagai pendahuluan bagi suatu kemenangan yang gemilang. Dan orang-orang musyrikin tersungkur ke jurang kekalahan yang amat pahit …. Pada saat itu Barra’ bersama kawan-kawannya berjalan dengan bendera Muhammad saw. hendak mencapai tujuan yang utama . . . . Orang-orang musyrik mundur dan melarikan diri ke belakang. Mereka berkumpul dan berlindung di suatu perkebunan besar yang mereka ambil sebagai benteng pertahanan.
Pertempuran menjadi reda, dan semangat Muslimin agak surut. Jika begini naga-naganya, dengan siasat yang dipakai anak buah Serta tentara Musailamah bertahan di perkebunan itu, mungkin suasana peperangan akan berbalik dan berubah arah lagi.
Maka di saat yang genting itu, Barra’ naik ke suatu tempat yang ketinggian, lalu berseru:  ”Wahai Kaum Muslimin, bawalah aku dan lemparkan ke tengah-tengah mereka ke dalam kebun itu … !”
Bukankah sudah kukatakan kepada anda sekalian, bahwa ia tidak mencari menang tetapi mencari syahid … ? la benar­-benar telah membayangkan bahwa langkah ini adalah penutup yang terbaik bagi kehidupannya, dan bentuk yang terindah untuk kematiannya . . . ! Sewaktu ia dilemparkan ke dalam kebun itu nanti, maka ia segera membukakan pintu bagi Kaum Muslimin, dan bersamaan itu pedang-pedang orang musyrikin akan melukai dan mengoyak-ngoyak tubuhnya, tetapi di waktu itu pula pintu-pintu surga akan terbuka lebar memperlihatkan kemewahan dan keni’matannya untuk menyambut mempelai baru dan mulia . . .!
Barra’ rupanya tidak menunggu ia digotong dan dilemparkan, malah, ia sendiri yang memanjat dinding dan melemparkan dirinya ke dalam kebun dan langsung membuka pintu yang terus diserbu oleh tentara Iislam …. Akan tetapi mimpi Barra’ belum lagi terlaksana, tak ada rupanya pedang-pedang musyrikin yang sampai mencabut nyawanya, hingga tidak pula ia me­nemukan kematian yang selama ini didambakan …. Benarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar r.a.: —
“Songsong dan carilah kematian, pasti akan mendapatkan kehidupan … !”
Memang tubuh pahlawan itu mendapat lebih dari delapan puluh tusukan dari pedang-pedang musyrikin menyebabkannya menderita luka lebih dari delapan puluh lubang, sehingga sebulan sesudah perang berlalu masih juga dideritanya, dan Khalid sendiri ikut merawatnya di waktu itu. Tetapi semua yang menimpa dirinya ini belum lagi dapat mengantarkannya kepada apa yang dicita-citakannya ….
Namun yang demikian itu tidak menyebabkan Barra’ berputus asa ….
Kafir dan musyrik masih menyerang …. Melintang menghalangi Agama Allah berkembang Seruan jihad tetap berkumandang ….
Jalan ke surga masih terbentang.
Dahulu Rasulullah meramalkan bahwa permintaan dan doanya akan dikabulkan Allah. Tinggal baginya tetap ber­doa . . . memohon dikaruniai mati syahid, dan ia tak perlu buru-buru, karena setiap ajal sudah ada ketentuannya . . .
Sekarang Barra’ telah sembuh dari luka-luka perang Yamamah . . . . Dan kini ia maju lagi bersama pasukan tentara Iislam yang pergi hendak, menghalau semua kekuatan kedhaliman ke jurang kehancurannya, yakni nun di sana di mana masih berdiri dua kerajaan raksasa dan aniaya, yaitu Romawi dan Persi, yang dengan tentaranya yang ganas menduduki negeri­-negeri Allah, memperbudak hamba-hamba-Nya dan mengintip kelengahan ummat Iislam . . . . Barra’ memukulkan pedangnya dan di setiap tempat bekas pukulan itu berdiri dinding yang kukuh dalam membina islam   yang akan tumbuh di bawah bendera islam dengan cepat tak ubahnya bagai timbulnya mata­hari menjelang Siang  . . .
Dalam salah satu peperangan di Irak, orang-orang Persi mempergunakan setiap cara yang rendah dan biadab yang dapat mereka lakukan sebagai perlindungan. Mereka menggunakan pengait-pengait yang diikatkan ke ujung rantai yang dipanas­kan dengan api, mereka lempar dari dalam benteng mereka, hingga dapat menyambar Kaum Muslimin dan mengaitnya secara tiba-tiba sedang korban tidak dapat melepaskan dirinya.
Adapun Barra’ dan abangnya Anas bin Malik mendapat tugas bersama sekelompok Muslimin untuk merebut salah satu benteng-benteng itu. Tetapi tiba-tiba salah satu pengait ini jatuh dan menyangkut ke tubuh Anas, sedang ia tidak sanggup memegang rantai untuk melepaskan dirinya, karena masih panas dan bernyala . . . . Barra’ menyaksikan peristiwa yang seram ini ….Dengan cepat ia menuju saudaranya yang sedang ditarik ke atas oleh pengait dengan talinya yang panas menuju lantai dinding benteng …. Dengan keberanian yang luar biasa dipegangnya rantai itu dengan kedua tangannya, lalu direnggut dan disentakkannya sekuat-kuatnya, hingga akhirnya ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, dan selamatlah Anas dari bahaya.
Bersama orang-orang sekelilingnya dilihatnya kedua telapak itu tidak ada lagi di tempatnya . . . ! Dagingnya rupa-rupanya telah meleleh karena terbakar dan yang tinggal hanyalah ke­rangkanya yang memerah coklat dan terbakar hangus … !
Sang pahlawan kembali menghabiskan waktu yang cukup lama pula untuk memulihkan luka bakarnya sampai sembuh betul … !
Apakah belum juga datang masanya bagi si pencinta maut itu untuk mencapai maksudnya? Sudah, sekarang sudah datang masanya . . . ! Inilah dia pertempuran Tutsur akan datang, dan di sinilah balatentara islam’ akan berhadapan dengan bala tentara Persi, dan di sinilah pula Barra’ dapat merayakan pestanya yang terbesar ….
Penduduk Ahwaz dan Persi telah berhimpun dalam suatu pasukan tentara yang amat besar hendak menyerang Kaum Muslimin . . . . Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di Kufah agar mengirimkan pasukan tentara ke Ahwaz .. . dan menulis surat pula kepada Abu Musa al Asy’ari di Basrah agar mengirimkan juga pasukan ke Ahwaz, sambil berpesan dalam surat itu: “Angkatlah sebagai komandan pasukan Suhail bin ‘Adi dan hendaklah ia dampingi oleh Barra’ bin Malik … !”
Dan bertemulah pasukan yang datang dari Kufah dengan yang datang dari Basrah untuk menghadapi tentara Persi di suatu pertempuran yang seru dan seram. Di kalangan tentara islam terdapat dua orang bersaudara utama yaitu Anas bin Malik dan Barra’ bin Malik . . . .
Pertempuran dimulai dengan perang tanding satu lawan satu; Barra’ sendiri menjatuhkan sampai seratus penantang dari Persi . . . . Kemudian berkecamuklah perang yang membaur di antara kedua pasukan dan dari kedua belah pihak berjatuhan korban yang tak sedikit.
Sebagian shahabat mendekati Barra’ sementara perang sedang berlangsung itu; mereka menghimbaunya sambil berkata; — “Masih ingatkah engkau, hai Barra’ akan sabda Rasul tentang dirimu: Berapa banyak orang yang berambut kusut masai dan berdebu dari punya hanya dua pakaian lapuk hingga tidak di­perhatikan orang sama sekali, padahal seandainya ia memohon kutukan kepada Allah bagi mereka, pastilah akan diluluskannya … ! Dan di antara orang-orang itu ialah Barra’ bin Malik … ! Wahai Barra’ bersumpahlah kamu kepada Tuhanmu, agar Ia mengalahkan musuh dan menolong kita … !”
Maka Barra’ mengangkat kedua tangannya ke arah langit dengan berendah diri lalu berdoa:  ”Ya Allah, kalahkan mereka . . . dan tolonglah kami atas mereka dan pertemukanlah daku hari in dengan Nabi-Mu . . . !”
Dilayangkannya pandangannya yang lama kepada saudaranya Anas yang berperang berdampingan dengannya, seakan-akan hendak  mengucapkan selamat tinggal . – - – Dan menyerbulah Kaum Muslimin dengan keberanian yang tak takut mati, suatu keberanian yang tak dikenal dunia kecuali dari mereka …. Dan mereka pun beroleh kemenangan, suatu kemenangan yang nyata . . . !
Di tengah-tengah para syuhada yang jadi qurban pertempuran, terdapatlah Barra’ dengan wajahnya menampilkan senyuman, senyum manis seperti cahaya fajar. Tangan kanannya sedang menggenggam segumpal tanah berlumuran darah, yaitu darahnya yang suci . . .. Dan pedangnya masih tergeletak di sampingnya . . . . kuat tak terpatahkan, rata tanpa goresan …. Musafir itu telah sampai ke kampungnya . . . . Bersama-sama temannya yang syahid ia telah mencapai perjalanan hidup yang agung lagi mulia, dan mereka menerima panggilan dari Ilahi;
“Itulah surga yang Kami wariskan untuk kalian, sebagai balasan atas amal perbuatan kalian … !”  (Q.S. 7 al-Aral: 43)
http://edywitanto.wordpress.com/2010/12/09/al-barra-bin-malik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar