Bola salju itu terus
menggelinding. Makin lama makin jelas menuju satu titik. Berawal dari
curhat presiden tentang gaji beliau yang tidak pernah naik selama tujuh
tahun terakhir. Ternyata gayung bersambut. Menkeu Agus DW
Martowardojo pun langsung mengusulkan adanya sekitar 8.000 pejabat
negara yang akan memperoleh kenaikan gaji, bermula dari Presiden dan
akan diberlakukan tahun ini.
Menkeu mencoba menjelaskan alasan logis yang melatar belakangi ini semua. Diantaranya adalah kenaikan gaji ini bertujuan agar pengelolaan pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Semua ini dapat terwujud, bila kesejahteraan para pejabatnya ditingkatkan.
Kenaikan gaji tidak serta merta begitu saja. Ada perhitungan prestasi dan penyesuaian dengan beban tanggung jawab setiap pejabat.
Selama ini Presiden hanya mendapatkan gaji Rp 62.740.000, di luar dana taktis yang dikabarkan mencapai Rp 2 miliar per bulan.
http://koran.republika.co.id/koran/14/127942/Gaji_8_000_Pejabat_Naik
Kepala negara memiliki tanggung jawab terhadap kondisi rakyatnya. Tanggung jawab ini menuntut perhatian dan waktu. Perhatian yang penuh dan banyak waktu yang tersita. Betapa tidak, perhatian ditujukan untuk seluruh rakyat suatu negara.
Sehingga wajar, bila perhatian seorang kepala negara menjadi terbagi. Tanggung jawab seorang kepala negara juga menjadi terbagi. Perhatian terhadap rakyat dan juga terhadap keluarganya. Kewajiban terhadap rakyatnya dan terhadap keluarganya.
Oleh karena itu wajar, bila sehari setelah pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, beliau keluar ke pasar ingin berdagang. Umar kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkan bahwa di tangan Abu Bakar sekarang terpikul beban kenegaraan yang berat. “Mengapa kau masih saja pergi ke pasar untuk mengelola bisnis? Sedangkan negara mempunyai begitu banyak permasalahan yang harus dipecahkan…” sentil Umar.
Mendengar itu, Abu Bakar tersenyum. “Untuk mempertahankan hidup keluarga,” ujarnya singkat. “maka aku harus bekerja.”
Kejadian itu membuat Umar berpikir keras. Maka ia pun, bersama sahabat yang lain berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tangga khalifah sehari-hari. Tak lama, mereka menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham untuk Abu Bakar, dan kemudian secara bertahap, belakangan ditingkatkan menjadi 500 dirham sebulan. Jika dikonversikan pada rupiah, maka gaji Khalifah Abu Bakar hanya sebebsar Rp. 72 juta dalam setahun, atau sekitar Rp 6 juta dalam sebulan. Sekadar informasi, nilai dirham tidak pernah berubah.
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/berapa-gaji-khalifah-islam.htm
Seorang kepala negara wajar menerima gaji. Tanggung jawabnya menuntut perhatian penuh terhadap rakyatnya. Namun di samping itu, dia juga mempunyai kewajiban untuk keluarganya. Gaji yang diterima dapat dialokasikan untuk kebutuhan keluarganya. Sehingga dengan penerimaan gaji itu, seorang kepala negara tidak perlu lagi memusingkan urusan keluarganya (maksudnya kebutuhan keluarganya).
Apakah mungkin gaji seorang kepala negara dinaikkan? Mengapa tidak? Agar perhatian seorang kepala negara tidak terpecah dan bisa focus pada rakyat, kenaikan gaji merupakan salah satu jalan keluarnya.
Bila gaji yang diterima sudah tidak cukup untuk membeli beras. Sehingga keluarga kepala negara menjadi kelaparan, maka kenaikan gaji kepala negara merupakan keharusan.
Tapi dalam hidup ini ada yang namanya kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan terbatas, sedangkan keinginan tak terbatas. Orang butuh makan siang hanya satu piring saja. Perut hanya dapat menampung 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara.
Tapi bila memperturutkan keinginan lain lagi ceritanya. Tidak cukup orang memiliki satu rumah, padahal rumah yang ditinggali hanya satu. Tidak cukup orang memiliki satu kendaraan, padahal yang digunakan hanya satu dan seterusnya.
Kalau kenaikan gaji untuk menutupi kebutuhan, itu masih dapat diterima. Tapi kenaikan gaji hanya untuk memperturutkan keinginan, itu perlu dipertanyakan.
Oleh karenanya hidup sederhana bagi pemimpin merupakan sebuah tuntutan. Masih banyak kepentingan yang lebih penting ketimbang memperturutkan keinginan. Mari kita lihat potret pemimpin Islam di masa lalu.
Meskipun gaji khalifah sebesar itu, Abu Bakar tidak pernah mengambil seluruhnya gajinya. Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu bakar, “Aku ingin membeli sedikit manisan.”
Abu Bakar menyahut, “Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.”
Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, aku akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga aku dapat membeli manisan itu.”
Abu Bakar menyetujuinya.
Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit, menyisihkan uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.
Namun Abu Bakar berkata, “Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya.
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/berapa-gaji-khalifah-islam.htm
Lihat, Abu bakar hanya mengambil gajinya sekedar untuk menutup kebutuhannya saja. Gaji yang diterimanya selama ini dirasa kelewat besar, karena melebihi kebutuhannya. Oleh karena itu kelebihan itu dikembalikan ke Baitul Mal.
Mari kita lihat sosok Umar bin Khaththab ketika menjadi pemimpin.
Ketika Umar sudah berkuasa beberapa waktu, Ali bin Abu Thalib dan sejumlah sahabat sepakat untuk menaikkan gaji Umar yang sudah menjadi khalifah. Namun, mereka enggan menyampaikan langsung ke Umar karena sungkan dan takut Umar marah. Akhirnya, Ali dan para sahabat menemui putri Umar, Hafsah, memintanya untuk memberitahukan ke ayahnya.
Hafsah setuju. Namun usulan naik gaji itu ditolak mentah-mentah oleh Umar. Umar dengan marah meminta Hafsah untuk memberitahu siapa yang mengusulkan dia menerima kenaikan gaji. Ia ingin memberi pelajaran kepada pengusul kenaikan gaji itu.
Umar kemudian meminta Hafsah menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW sewaktu menjadi pemimpin. Kata Hafsah, Rasulullah hanya mempunyai dua pasang baju, selembar kain kasar untuk alas tidur, makan roti dengan tepung kasar yang dicampur garam.
Umar berkata pada Hafsah, bahwa Rasulullah dan Abu Bakar RA telah memberi contoh bagaimana hidup sederhana seorang pemimpin. Maka Umar akan mengikuti contoh kedua tokoh tersebut.
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/politik/11/01/21/159942-kisah-para-khalifah-soal-gaji-mereka
Usulan kenaikan gaji disambut dengan marahnya Umar. Hidup sederhana seorang pemimpin merupakan pilihan Umar. Beliau lebih mementingkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap rakyat daripada menuntut dan memperturutkan keinginan. Para pembaca mungkin sudah hapal benar bagaimana Umar amat bertanggung jawab pada rakyatnya, bahkan pada unta Baitul Mal sekalipun.
Kita mungkin masih ingat dengan ucapan Umar bin Khaththab, “Saya adalah orang pertama yang merasakan kelaparan di saat rakyat merasakan kelaparan. Saya adalah orang terakhir yang merasakan kenyang di saat rakyat merasakan kenyang.”
Hari ini, saya menyaksikan nasib nelayan di Jakarta yang tidak dapat melaut, karena cuaca belakangan ini berbahaya untuk melaut. Sehingga banyak nelayan yang kelaparan. Ada sebagian nelayan harus mengonsumsi eceng gondok sebagai lauknya. (Berita Trans 7, 26 Januari 2011).
Menkeu mencoba menjelaskan alasan logis yang melatar belakangi ini semua. Diantaranya adalah kenaikan gaji ini bertujuan agar pengelolaan pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Semua ini dapat terwujud, bila kesejahteraan para pejabatnya ditingkatkan.
Kenaikan gaji tidak serta merta begitu saja. Ada perhitungan prestasi dan penyesuaian dengan beban tanggung jawab setiap pejabat.
Selama ini Presiden hanya mendapatkan gaji Rp 62.740.000, di luar dana taktis yang dikabarkan mencapai Rp 2 miliar per bulan.
http://koran.republika.co.id/koran/14/127942/Gaji_8_000_Pejabat_Naik
Kepala negara memiliki tanggung jawab terhadap kondisi rakyatnya. Tanggung jawab ini menuntut perhatian dan waktu. Perhatian yang penuh dan banyak waktu yang tersita. Betapa tidak, perhatian ditujukan untuk seluruh rakyat suatu negara.
Sehingga wajar, bila perhatian seorang kepala negara menjadi terbagi. Tanggung jawab seorang kepala negara juga menjadi terbagi. Perhatian terhadap rakyat dan juga terhadap keluarganya. Kewajiban terhadap rakyatnya dan terhadap keluarganya.
Oleh karena itu wajar, bila sehari setelah pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, beliau keluar ke pasar ingin berdagang. Umar kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkan bahwa di tangan Abu Bakar sekarang terpikul beban kenegaraan yang berat. “Mengapa kau masih saja pergi ke pasar untuk mengelola bisnis? Sedangkan negara mempunyai begitu banyak permasalahan yang harus dipecahkan…” sentil Umar.
Mendengar itu, Abu Bakar tersenyum. “Untuk mempertahankan hidup keluarga,” ujarnya singkat. “maka aku harus bekerja.”
Kejadian itu membuat Umar berpikir keras. Maka ia pun, bersama sahabat yang lain berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tangga khalifah sehari-hari. Tak lama, mereka menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham untuk Abu Bakar, dan kemudian secara bertahap, belakangan ditingkatkan menjadi 500 dirham sebulan. Jika dikonversikan pada rupiah, maka gaji Khalifah Abu Bakar hanya sebebsar Rp. 72 juta dalam setahun, atau sekitar Rp 6 juta dalam sebulan. Sekadar informasi, nilai dirham tidak pernah berubah.
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/berapa-gaji-khalifah-islam.htm
Seorang kepala negara wajar menerima gaji. Tanggung jawabnya menuntut perhatian penuh terhadap rakyatnya. Namun di samping itu, dia juga mempunyai kewajiban untuk keluarganya. Gaji yang diterima dapat dialokasikan untuk kebutuhan keluarganya. Sehingga dengan penerimaan gaji itu, seorang kepala negara tidak perlu lagi memusingkan urusan keluarganya (maksudnya kebutuhan keluarganya).
Apakah mungkin gaji seorang kepala negara dinaikkan? Mengapa tidak? Agar perhatian seorang kepala negara tidak terpecah dan bisa focus pada rakyat, kenaikan gaji merupakan salah satu jalan keluarnya.
Bila gaji yang diterima sudah tidak cukup untuk membeli beras. Sehingga keluarga kepala negara menjadi kelaparan, maka kenaikan gaji kepala negara merupakan keharusan.
Tapi dalam hidup ini ada yang namanya kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan terbatas, sedangkan keinginan tak terbatas. Orang butuh makan siang hanya satu piring saja. Perut hanya dapat menampung 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara.
Tapi bila memperturutkan keinginan lain lagi ceritanya. Tidak cukup orang memiliki satu rumah, padahal rumah yang ditinggali hanya satu. Tidak cukup orang memiliki satu kendaraan, padahal yang digunakan hanya satu dan seterusnya.
Kalau kenaikan gaji untuk menutupi kebutuhan, itu masih dapat diterima. Tapi kenaikan gaji hanya untuk memperturutkan keinginan, itu perlu dipertanyakan.
Oleh karenanya hidup sederhana bagi pemimpin merupakan sebuah tuntutan. Masih banyak kepentingan yang lebih penting ketimbang memperturutkan keinginan. Mari kita lihat potret pemimpin Islam di masa lalu.
Meskipun gaji khalifah sebesar itu, Abu Bakar tidak pernah mengambil seluruhnya gajinya. Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu bakar, “Aku ingin membeli sedikit manisan.”
Abu Bakar menyahut, “Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.”
Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, aku akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga aku dapat membeli manisan itu.”
Abu Bakar menyetujuinya.
Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit, menyisihkan uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.
Namun Abu Bakar berkata, “Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya.
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/berapa-gaji-khalifah-islam.htm
Lihat, Abu bakar hanya mengambil gajinya sekedar untuk menutup kebutuhannya saja. Gaji yang diterimanya selama ini dirasa kelewat besar, karena melebihi kebutuhannya. Oleh karena itu kelebihan itu dikembalikan ke Baitul Mal.
Mari kita lihat sosok Umar bin Khaththab ketika menjadi pemimpin.
Ketika Umar sudah berkuasa beberapa waktu, Ali bin Abu Thalib dan sejumlah sahabat sepakat untuk menaikkan gaji Umar yang sudah menjadi khalifah. Namun, mereka enggan menyampaikan langsung ke Umar karena sungkan dan takut Umar marah. Akhirnya, Ali dan para sahabat menemui putri Umar, Hafsah, memintanya untuk memberitahukan ke ayahnya.
Hafsah setuju. Namun usulan naik gaji itu ditolak mentah-mentah oleh Umar. Umar dengan marah meminta Hafsah untuk memberitahu siapa yang mengusulkan dia menerima kenaikan gaji. Ia ingin memberi pelajaran kepada pengusul kenaikan gaji itu.
Umar kemudian meminta Hafsah menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW sewaktu menjadi pemimpin. Kata Hafsah, Rasulullah hanya mempunyai dua pasang baju, selembar kain kasar untuk alas tidur, makan roti dengan tepung kasar yang dicampur garam.
Umar berkata pada Hafsah, bahwa Rasulullah dan Abu Bakar RA telah memberi contoh bagaimana hidup sederhana seorang pemimpin. Maka Umar akan mengikuti contoh kedua tokoh tersebut.
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/politik/11/01/21/159942-kisah-para-khalifah-soal-gaji-mereka
Usulan kenaikan gaji disambut dengan marahnya Umar. Hidup sederhana seorang pemimpin merupakan pilihan Umar. Beliau lebih mementingkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap rakyat daripada menuntut dan memperturutkan keinginan. Para pembaca mungkin sudah hapal benar bagaimana Umar amat bertanggung jawab pada rakyatnya, bahkan pada unta Baitul Mal sekalipun.
Kita mungkin masih ingat dengan ucapan Umar bin Khaththab, “Saya adalah orang pertama yang merasakan kelaparan di saat rakyat merasakan kelaparan. Saya adalah orang terakhir yang merasakan kenyang di saat rakyat merasakan kenyang.”
Hari ini, saya menyaksikan nasib nelayan di Jakarta yang tidak dapat melaut, karena cuaca belakangan ini berbahaya untuk melaut. Sehingga banyak nelayan yang kelaparan. Ada sebagian nelayan harus mengonsumsi eceng gondok sebagai lauknya. (Berita Trans 7, 26 Januari 2011).
TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN
FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar