Rabu, 09 November 2011

Kisah Kecerdikan Ummul Mukminin, Juwairiyah binti Harits r.a.

(18) Kisah Kecerdikan Ummul Mukminin, Juwairiyah binti Harits r.a.
Dia mempunyai nama lengkap Juwairiyah binti Harits, putri pemimpin kaumnya; Bani al-Musthalaq. Rasulullah memerangi keluarganya. Tentara Islam, di bawah komandan Rasulullah berhasil menaklukkan mereka. putri perempuan masuk dalam rampasan perang dan tahanan dalam penaklukan itu. Dia termasuk bagian pendapatan seorang sahabat bernama Tsabit bin Qais. Qais menentukan uang tebusan pembebasan diri dari budak kepada Juwairiyah dengan sembilan uqiah emas. Akan tetapi, cara berpikirnya yang bagus dan kecerdasan yang dia miliki mendorong dia untuk datang menghadap komandan perang, Rasulullah SAW, agar dia bisa dibebaskan, dengan cara meminta pertolongan beliau.
Juwairiyah berkata kepada Nabi, “Saya terkena cobaan selama tidak engkau ringankan, saya terjerat dalam bagian pendapatan perang Tsabit bin Qais bin Syamas, dia menentukan tebusan pembebasan diri dari budak dengan sesuatu yang tidak mungkin saya penuhi, yaitu sebanyak 9 butir emas. Saya benar-benar tidak menyukai persyaratan itu. Akan tetapi saya memohon kepada engkau, saya datang menghadap engkau, untuk memohon kepada engkau agar bisa memenuhi uang tebusan saya.”
Rasulullah bersabda kepada Juwairiah, “Apakah kamu berkenan jika mendapatkan yang lebih baik dari itu?”
Juwairiyah berkata, “Apa itu, ya Rasulullah?”
Beliau berkata, “Saya akan memenuhi uang tebusanmu, dan saya akan menikahimu.”
Juwairiyah menjawab dengan tegas, “Ya, Rasulullah, saya sudah melakukannya.”
Dia mempunyai nama asli Barrah, kemudian Rasulullah mengubahnya dengan nama Juwairiyah. Rasulullah juga mengubah nama Zainab binti Jahsyin, Maimunah, dan Zainab binti Abu Salamah.
Sebelum Rasulullah datang memerangi kaumnya Juwairiyah, Juwairiyah pernah bermimpi, sebagaimana disebutkan Imam Baihaqi dalam Dalâilu an-Nubuwwah.
Juwairiyah berkata, “Sebelum Nabi Muhammad SAW datang, saya pernah bermimpi selama tiga malam berturut-turut. Dalam mimpi itu saya seolah-oleh melihat bulan berjalan dari Yatsrib lalu jatuh di kamar saya. Saya tidak suka memberitahukan mimpi saya kepada siapa pun. Ketika saya menjadi salah seorang tahanan, saya menceritakan mimpi saya kepada Nabi. Seketika beliau memerdekan saya dari status saya sebagai budak kemudian menikahi saya.”
Pernikahan ini menjadi berkah kepada kaumnya, Bani al-Musthalaq, karena orang-orang Islam melepas kaumnya Juwairiyah yang ditahan, karena mereka sudah menjadi mertua Rasulullah SAW. Pada hari itu, seratus orang Ahlul Bait Bani al-Musthalaq dimerdekakan. Di antara mereka banyak yang masuk Islam, salah satunya Harits, bapak kandung Juwairiyah.[1]

(19) Penolakan Juwairiyah terhadap Pemberian ‘Umar bin Khaththab
Juwairiyah pernah menolak pemberian ‘Umar bin Khaththab di masa pemerintahannya, karena nominal pemberiannya tidak sama dengan istri-istri Rasulullah SAW yang lain.
Pada masa kemimpinan ‘Umar bin Khaththab, masing-masing istri-istri Rasulullah mendapat bagian sebanyak dua belas ribu dirham. Akan tetapi Shafiyah dan Juwairiyah mendapatkan separuh, masing-masing mendapatkan enam ribu dirham. Sementara saat Abu Bakar memegang tampuk kepemimpinan, dia memberikan bagian yang sama kepada istri-istri Nabi.
Shafiyah dan Juwairiyah tidak mau menerima pemberian umar. Umar berkata kepada mereka, “Mereka diberikan bagian seperti itu, karena mereka hijrah. Tambahan pemberian yang diberikan kepada istri-istri Nabi yang lain, karena mereka hijrah.”
Juwairah dan Shafiyah berkata kepada ‘Umar, “Mereka diberikan bagian demikian bukan karena mereka hijrah, akan tetapi karena kedudukan mereka sebagai istri-istri Rasulullah, sementara kami mempunyai kedudukan yang sama dengan mereka.”
‘Aisyah turun tangan dalam masalah ini, seraya berkata, “Rasulullah SAW berbuat adil kepada kami.” ‘Umar mengubah pendiriannya, dan menyamakan jumlah bagian mereka dengan bagian istri-istri Rasulullah yang lain.[2]


[1]Ibnu Hisyam et. al, “As-Sîrah an-Nabawiyyah.”
[2]Ahmad Khalil Jum’ah, “Nisâu Ahli al-Bait.”
Sumber; 100 Qishshah min Dzakâi ash-Shahâbiyyât, Manshur Abd. Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar