Rabu, 09 November 2011

Shafiyah binti Huyay, Ummul Mukminin yang Mempunyai Akal Superior

(20) Shafiyah binti Huyay, Ummul Mukminin yang Mempunyai Akal Superior
Shafiyah adalah putri Huyay bin Akhtab, pemimpin kaumnya. Mereka adalah dari golongan Yahudi Khaibar yang memerangi. Huyay memerangi dan menampakkan permusuhan dengan Rasulullah, meskipun dia tahu bahwa Rasulullah merupakan Nabi akhir zaman, sebagaimana termaktub dalam kitab Taurat.
Tentara Muslim memenangkan pertempuran dengan orang-orang Yahudi Khaibar. Huyay bin Akhtab mati terbunuh dalam peperangan itu. Sementara putrinya, Shafiyah, tertangkap sebagai salah satu tahanan perang. Shafiyah adalah anak kesayangan bapaknya dan pamannya —sebagaimana dituturkan oleh Shafiyah sendiri, yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq.
“Saya adalah anak kesayangan bapak saya dan paman saya, Abu Yasar. Setelah Rasulullah SAW datang, beliau turun di Quba’ di kediaman Amar bin ‘Auf, sementara Bapak saya Huyay bin Akhtab dan paman saya Abu Yasar pergi pagi, akan tetapi mereka berdua belum datang meski matahari sudah kembali ke peraduannya. Tidak lama kemudian, mereka datang dalam kondisi lelah, malas, dan lemas. Mereka berdua berjalan dengan pelan-pelan. Saya menyambut mereka dengan ceria, seperti biasanya. Tapi, demi Allah, tidak seorang pun di antara mereka berdua yang menoleh kepada saya, ditambah lagi mereka berdua tampak sedih. Tiba-tiba saya mendengar paman saya, Abu Yasar, berkata kepada bapak saya, Huyay bin Akhtab, ‘Apakah itu orangnya?’
‘Ya, betul.’ Jawab ayah saya.
‘Apa kamu mengenalnya?’ Tanya paman.
‘Ya.’ Jawab ayah
‘Bagaimana pendapatmu tentang dia.’ Kata paman.
‘Saya masih menjadi musuhnya.’ Kata ayah.”
Setelah kejadian itu, Shafiyah mengetahui bahwa Rasulullah SAW berada dalam jalan yang benar. Ternyata selama ini, kaumnya tidak memberitahukan tentang Nabi Muhammad kepada Shafiyah, karena faktor kedengkian dan iri hati, bukan karena Nabi Muhammad salah, setelah ada bukti yang nyata pada diri mereka bahwa Nabi Muhammad adalah utusan akhir zaman.
Setelah orang-orang Yahudi kalah, dan kekuatan Khaibar runtuh di tangan orang-orang Islam, Shafiyah termasuk salah satu tahanan perang. Dia masuk dalam bagian pendapatan perang seorang sahabat Dahiyyah bin Khalifah r.a. Kemudian ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah, engkau memberikan bagian kepada Dahiyyah, Shafiyah binti Huyay, putri pemimpin Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, padahal Shafiyah hanya layak untuk engkau.”
Rasulullah SAW bersabda, “Panggillah Dahiyyah bersama Shafiyah.”
Dahiyyah datang membawa Shafiyah. Setelah Rasulullah melihat Shafiyah, beliau berkata kepada Dahiyyah, “Ambillah budak yang lain dari tahanan yang ada.”
Dahiyyah pergi tanpa membawa pulang Shafiyah, dia memilih tahanan yang lain untuk dijadikan budak. Sementara Rasulullah mempunyai bagian jarahan perang, yang biasanya dikenal dengan istilah shafî ‘jarahan perang yang dipilih pemimpin untuk dirinya’. Rasulullah bebas dalam memilih, apakah ingin memilih budak laki-laki, budak perempuan, atau kuda, selama belum melebihi seperlima.[1]
Rasulullah memberikan pilihan kepada Shafiyah, apakah ingin dimerdekakan, kemudian akan dikembalikan kepada kaumnya yang masih hidup di Khaibar, ataukah ingin masuk Islam kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Shafiyah memilih untuk masuk Islam dan menikah dengan beliau, dengan maskawin memerdekan dia. Pada saat itu, Shafiyah berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saya memeluk Islam dan saya sudah percaya kepada engkau sebelum engkau mengajak saya. Saya sudah sampai pada  perjalananmu. Saya tidak mempunyai keperluan kepada orang-orang Yahudi, saya sudah tidak mempunyai bapak, dan tidak mempunyai saudara yang merdeka. Lalu untuk apa saya kembali kepada kaumku?”
Ungkapan Shafiyah sebagai indikasi kebijaksanaan dan kecerdasaanya. Shafiyah termasuk bagian dari Ummul Mukminin dan menjadi orang yang mulia dan terhormat.

(21) Sikap Shafiyah ketika Ingin Digauli Rasulullah SAW
Setelah orang-orang muslim menaklukkan Khaibar, dan Rasulullah menyunting Shafiyah sebagai istri beliau. Beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah bersama bala tentaranya. Setelah perjalanan beliau mencapai enam mil, beliau bermaksud melakukan hubungan suami istri dengan Shafiyah. Akan tetapi, Shafiyah keberatan jika beliau menggaulinya di tempat itu. Setelah para tentara tiba di sebuah tempat bernama Shahba’, Rasulullah menggauli dan melakukan hubungan suami istri dengan Shafiyah, setelah sebelumnya Shafiyah didandani dan diberikan wangi-wangian oleh Ummu Salamah al-Anshariyah. Usai melakukan hubungan suami istri, Rasulullah SAW bertanya kepada Shafiyah, “Apa yang membuat kamu keberatan untuk melakukah hubungan badan di tempat yang pertama?”
Shafiyah berkata, “Saya mengkhawatirkan engkau, takut orang-orang Yahudi mengejarmu.” Sikap Shafiyah semakin menambah cintanya kepada Rasulullah SAW.[2]
Karena kecerdasan dan perilakunya yang baik, Shafiyah menolak ajakan nabi untuk melakukan hubungan suami istri, padahal tentara masih ada di tempat yang jarak antara mereka dengan kaumnya yang berada di Khaibar sejauh 6 mil. Akan tetapi, Shafiyah khawatir mereka pergi menemui Rasulullah SAW.

(22) Shafiyah Melapangkan Rasulullah di Saat Beliau Pernah Memarahinya
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa Shafiyah cerdik, pada suatu hari Rasulullah SAW pernah marah kepada Shafiyah tentang masalah yang biasa mewarnai kehidupan suami-istri. Shafiyah berkata kepada ‘Aisyah, “Apakah kamu bisa membuat Rasulullah memaafkan saya, kamu ambil giliran saya?”
‘Aisyah berkata, “Ya.”
‘Aisyah mengambil sebuah baju ditetesi minyak Za’faran dengan ditetesi air, untuk menebar semerbaknya, kemudian dia duduk di samping Rasulullah. Seketika beliau bersabda kepada ‘Aisyah, “Hai Aisyah, menjaulah dariku, hari ini bukan giliranmu.”
‘Aisyah berkata, “Ini merupakan karunia dari Allah, yang diberikan kepada siapa saja yang Dia sukai.”
‘Aisyah memberitahukan kepada Nabi tentang persoalan yang sebenarnya. Akhirnya Rasulullah mau memaafkan Shafiyah.[3]
Begitulah, dengan modal kecerdasan yang dia miliki, Shafiyah mampu melapangkan Rasulullah, di mana Shafiyah mengetahui dan menyadari posisi ‘Aisyah di mata Rasulullah SAW.

(23) Pemahaman, Ibadah, dan Nasihat Shafiyah kepada Orang-orang Islam
Salah satu bukti nyata yang menunjukkan pemahaman Shafiyah yang mendalam terhadap Islam dan ibadah, adalah sebuah riwayat yang disebutkan oleh Abu Na’im al-Ashbahani, bahwa ada sekelompok orang-orang Islam berkumpul di rumah Shafiyah binti Huyay, istri Rasulullah SAW, mereka berdzikir menyebut asma Allah, membaca al-Qur’an, dan bersujud. Tiba-tiba Shafiyah memanggil mereka seraya berkata, “Kalian bersujud dan membaca al-Qur’an, tapi mana tangisannya?”
Maksud yang ingin disampaikan oleh Shafiyah adalah dia ingin memberikan pemahaman dan bimbingan kepada mereka, bahwa indikasi khusyu’ dalam ibadah adalah tangisan karena takut kepada Allah Swt.

(24) Sikap Shafiyah Terhadap Pembantunya yang Berbuat Aniaya kepada Shafiyah
Adz-Dzahabi rahimahullahu menyebutkan sikap Ummul Mukminin, Sayyidah Shafiyah yang elegan ketika menghadapi pembantu perempuannya yang menyampaikan gosip kepada ‘Umar bin Khaththab di saat dia memegang tampuk kepemimpinan (khilafah), bahwa Shafiyah menyukai hari Sabtu dan dan bersilaturahmi dengan orang-orang Yahudi. Mendengar hal itu, ‘Umar mengirim delegasi agar menemui Shafiyah untuk menanyakan kebenaran gosip tersebut. Shafiyah berkata, “Saya tidak menyukai hari Sabtu sejak Allah menggantikannya dengan hari Jum’at.”
“Sementara tentang orang-orang Yahudi, saya mempunyai ikatan keluarga dengan mereka.” Kemudian dia berkata kepada pembantunya, “Apa yang membuatmu harus seperti itu?”
Sang pembantu berkata, “Setan.”
Kemudian Shafiyah berkata kepada pembantunya, “Pergilah, kamu sudah bebas.”[4]
Begitulah, Shafiyah menjawab dengan cerdas kepada orang mukmin yang mempunyai ikatan silaturahmi dan memaafkan kesalahan orang yang berbuat aniaya kepadanya.




(25) Sikap Shafiyah terhadap Pengepungan Kaum Pemberontak kepada ‘Utsman bin ‘Affan
Shafiyah masih menyaksikan saat Utsman bin ‘Affah menjabat sebagai khalifah. Ketika Utsman memegang tampuk kepemimpinan, Shafiyah mendengar bahwa ada fitnah sedang mengancam kepemimpinannya, yaitu pengepungan para pemberontak yang menentang Utsman di Madinah. Pengepungan yang mereka lakukan di antaranya berbentuk embargo makanan dan air terhadap  Utsman bin ‘Affan. Kinanah, budak Sayyidah Shafiyah, menyebutkan bahwa dia memegang kendali bighal untuk ditumpangi Shafiyah, untuk menemui Utsman. Di perjalanan, Shafiyah bertemu dengan Malik bin Harits an-Nakh’i al-Asytar, pimpinan kaum pemberontak dari Ahli Kufah, Malik memukul bighal Shafiyah hingga miring, kemudian Shafiyah berkata kepada Kinanah, “Bawa kembali saya ke rumah, kondisi ini tidak menguntungkan.”
Namun demikian, Shafiyah tidak putus asa, dia meletakkan kayu di tengah-tengah rumah Shafiyah dengan rumah ‘Utsman untuk memindahkan air dan makanan ke rumah Utsman.[5]


[1]HR. Abu Daud.
[2]Dikutip dari “Al-Ishâbah fi Tamayyuzi ash-Shahâbah.”
[3]Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sedikit modifikasi. Hal ini sebagai pelajaran bahwa seorang perempuan hendaknya menghadiahkan gilirannya kepada orang lain, demi kebutuhan dia.
[4]“Siyaru A’lâmi An-Nubalâ’.”
[5]“Siyaru A’lâmi an-Nubalâ’,” “Thabaqâtu Ibnu Sa’ad,” dan “al-Ishâbah” dengan sedikit modifikasi.
Sumber; 100 Qishshah min Dzakâi ash-Shahâbiyyât, Manshur Abd. Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar