Jumat, 07 Maret 2014

Waspadai Modal Pengusaha Dalam Pemenangan Pilpres

Karena tingginya biaya untuk pemilihan kepada daerah (pilkada), Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang diusung partainya untuk Capres 2014, mulai pusing. Pusing memikirkan ongkos yang harus dikeluarkan untuk menjadi capres pada pemilu 2014 mendatang.

Prabowo mencontohkan tingginya biaya dalam pemilihan kepala desa di lingkungan rumahnya di kawasan Bogor, Jawa Barat.

"Kaget saya habisnya berapa. Nggak perlu saya sebut di tempat ini, ngeri," ujar Prabowo dihadapan peserta raker Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), di Jakarta, Kamis (18/4).

"Kecuali HIPMI yang mendukung, ya lain," pungkasnya  lagi-lagi mengundang tawa peserta.

Itulah yang sedang dihadapi Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto.  Mungkin ini pula yang dihadapi capres-capres lainnya. Mereka membutuhkan modal.

Oleh karenanya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mensyaratkan bahwa Capres dan Cawapresnya adalah yang mempunyai modal alias kaya.

"Dengan mempunyai potensi sumber daya ekonomi diharapkan capres dan cawapres punya modal untuk menggerakkan mesin pemenangan, sekaligus sebagai contoh wujud kemandirian pribadi secara ekonomi," tulis Ketua DPP PKB Marwan Ja'far dalam rilisnya, Senin (18/2).

Jadi, modal merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan oleh seorang Capres. Baik modal yang diambil dari kocek pribadi maupun modal yang berasal dari kocek para pengusaha.

Modal yang dikeluarkan untuk menggerakkan mesin pemenangan pilpres, tentu akan berpengaruh pada kemandirian atau sikap rakyat dalam memilih presiden. Tanpa bermaksud mengesampingkan dampak ini, modal yang diperoleh dari kocek pengusaha perlu diwaspadai.

Mengapa? Pengusaha yang telah mengeluarkan modal untuk pemenangan dalam pilpres 2014, tentu menuntut timbal balik. Menuntut keuntungan apa yang akan diperoleh seorang pengusaha, bila dia mengeluarkan modal. Terlebih menang atau kalah dalam mendukung seseorang untuk menjadi presiden, merupakan sesuatu yang spekulatif. Jadi semuanya harus diperhitungkan.

Ya, spekulatif. Mengeluarkan modal untuk pemenangan pilpres, belum tentu berujung pada kemenangan orang yang didukungnya.

Kalau kalah, bagaimana status modal yang ‘disumbangkan’? Hutang atau sumbangan cuma-cuma?

Bagaimana bila orang yang didukungnya berhasil menjadi presiden? Apa keuntungan yang diperoleh pemberi modal pemenangan Pilpres?

Jika ini terjadi, tentu berbahaya. Berbagai peraturan, UU dan kebijakan bisa berujung untuk keuntungan pengusaha pemberi modal pemenangan Pilpres dan bukan lagi untuk kepentingan rakyat.

Di masa orde lama, ada kebijakan yang perlu dipertanyakan. Mengapa para pengusaha diberi izin untuk mendirikan bank? Mungkin logika orang akan menjawab, ya iyalah. Bukankah yang memiliki modal sebagai syarat mendirikan bank atau bank yang sehat, hanyalah seorang pengusaha?

Di satu sisi memang benar. Tapi di sisi lain, bukankah kebijakan itu menguntungkan para pengusaha pemilik bank? Mereka akan memperoleh modal sebesar-besarnya dari rakyat? Pengusaha yang sudah besar akan semakin besar dengan ‘suntikan’ dana dari rakyat Indonesia yang menjadi nasabah. Konglomerat akan menjadi semakin besar. Usahanya akan semakin menggurita, mulai dari hulu sampai ke hilir. Tidak aneh, jika para konglomerat menjadi pemegang monopoli sebuah usaha. Tidak aneh pula jika ada yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi pada hakekatnya adalah pertumbuhan ekonomi dari para konglomerat.

Lalu bagaimana dengan nasib rakyat yang ingin merubah nasibnya menjadi seorang pengusaha kecil? Mereka kesulitan untuk memperoleh modal, walau hanya sedikit.  

Lain halnya bila para pengusaha yang mengeluarkan modal untuk pemenangan Pilpres, berniat tulus ikhlas. Mau kalah atau menang, tidak menuntut apa-apa.

Semoga bermanfaat. Wallahu’alam.



TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar