Menjelang tengah hari Sabtu (22/9), saya dan Ahmad Yani sampai di
rumah Anita Ratnasari. Di sanalah, kami alumni SD Trisula berkumpul
untuk mengadakan acara halal bi halal.
Walau waktu diperkirakan sudah menunjukkan pukul 11.30, namun
acara belum juga dimulai. Karena pada saat itu, baru ada bebarapa orang
guru dan beberapa orang teman.
Guru-guru yang sudah hadir pada saat itu; Pak Abur, pak
Ahmad, pak Anwar, Pak Reza, bu Nourma, Bu Renny, bu Utami, Bu In, Cik
Tini, ada seorang guru lagi dan ibu TU; bu Hardiman serta menyusul pak
Suryamin dan bu Enna.
Sedangkan teman-teman yang sudah hadir, tentu tuan rumah
Anita dan beberapa orang panitia. Ada Silvi, Pinky, Tika, Hardi, Karin.
Indah Erfia Yusi alias Era datang hampir bersamaan dengan
saya dan Yani. Lalu berturut-turut menyusul Arief, Cuwat, Fatah, kembar
‘grup’ Maya dan Neni, Afriatie Dewi, Siti Yunita, Nita Sabardiman, Sari
Rejeki, Laura, Arlina, Yantri, Nuar, Dian, Nining, Ira Iskandar, Mercy,
Meinarnidan Dina.
Acara dibuka MC Fatah Setiawan, “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.”
Ucapan pembuka Fatah dilanjutkan dengan Fatah mewakili tuan
rumah mempersilahkan teman-teman untuk makan atau menunaikan shalat
Dzuhur terlebih dahulu.
“Sebelah kiri adalah tempat berwudhu’ dan sebelah kanan adalah tempat menunaikan shalatnya,” jelas Fatah.
Usai menunaikan shalat, kami menyantap makanan yang telah
tersedia. Ada nasi, bakso, siomay, buah-buahan, es krim dan banyak
lainnya. Walau nikmat terasa di lidah, tapi lebih nikmat lagi bertemu
dengan teman-teman. Terlebih lagi bertemu dengan para guru. Karana
pertemuan dengan guru-guru ini merupakan pertemuan yang jarang terjadi.
Maka kesempatan itu pun tidak saya sia-siakan. Saya
menghampiri pak Reza yang pada saat itu datang bersama istri. Pak Reza
yang saya kenal dulu adalah seorang pemuda gagah, tinggi dan seorang
pelukis. Dia adalah wali kelas saya di kelas 3.
Tapi pak Reza kini berbeda. Dia sakit, terkena penyakit
parkinson, sebagaimana yang diakuinya. Walau dapat berbicara dengan
wajar, namun suaranya tidak lagi selantang dulu.
“Masih ngajar pak?”
“Masih.. ngajar melukis untuk ekstrakurikuler di Trisula. Selain itu, menulis cerpen dan juga puisi.”
Lalu pembicaraan beralih ke kakaknya pak Raza, Pak Nurdin
Arsyad. Beliau adalah guru pramuka kami sewaktu di SD. Pak Reza
menjelaskan bahwa kakaknya ini tidak lagi mengajar anak-anak pramuka.
Tapi beliau mengajar para pembina pramuka.
Saat menulis tentang pak Rezaini, saya baru teringat. Ada
sebuah olah raga sederhana ala prof. Hembing, yaituolah raga ayunan
tangan ala Hembing. Bila olah raga ini dilakukan, fungsinya sama saja
dengan akupuntur ke seluruh titik akupuntur. Ituberarti, olah raga
iniuntukmengobatiberbagaipenyakit.Barangkali olah raga sederhana ini
dapat mengobati penyakit pak Reza.Lain waktu, insya Allah akan saya
sampaikan pada beliau.
Saya juga sempat berbincang-bincang dengan pak Abur, wali
kelas saya di kelas 6. Pak Abur bercerita tentang pak Dabas, pak Cipto
yang telah meninggalkan kami semua. Berbicara dengan pak Abur, saya
teringat dengan ‘aturan’ beliau ketika kami kelas 6.
“Dulu pak,” saya coba mengingatkan
“Ketika hasil ulangan matematika keluar, pada saat itulah
posisi duduk kami ditentukan. Arief dan Cuwatlah yang selalu duduk di
bangku paling belakang. Karena nilai merekalah yang biasanya memperoleh
nilai terbaik. Dan, saya seringkali duduk di bangku paling depan.”
Pak Abur keluar dari Trisula setahun setelah kami lulus dan beralih menjadi lurah di daerah Cileduk
Sambilmenikmatimakanankecil, masing-masing kami diminta Fatah
sebagaipemanduuntuk‘memperkenalkandiri’. Walau ada beberapa orang teman
sudah beberapa kali bertemu di acara reuni, sehingga sudah diketahui
kegiatannya saat ini, namun ada saja informasi yang terlewat.
Saya terkejut ternyata Fatah masih ‘single’ dengan entah berapa orang anak, demikian pula dengan Dian dan Arlina.
Status single pun akhirnya menjadi bahan untuk kami bergurau.
Kami pun secara otomatis, langsung menjadi mak comblang Fatah. Fatah
diminta untuk tegas memilih antara Arlina atau Dian. Fatah yang ‘menjadi
korban’ pun dengan santai menanggapinya.
Bukan hanya mengenai status saja yang baru diketahui. Saya
baru tahu kalau ternyata Dina Djindarbumi adalah seorang dokter. Nining
bekerja di kantor Imigrasi Jakarta Pusat.
Saya juga baru tahu bahwa kalau pak Anwar dan bu Nourma sudah
lama mengajar di SD Trisula. Maka tidak heran kalau pak Anwar bercerita
bahwa anak-anak mantan gubernur Ali Sadikin pernah bersekolah di SD
Trisula. Mutia Hatta anak dari proklamator dr. Moh. Hatta juga pernah
bersekolah di sekolah kami.
Selain menceritakan masa kerja di SD Trisula, pak Anwar juga
menjelaskan kondisi sekolah kami saat ini. Jumlah murid yang bersekolah
di sana telah menurun.
Dengar-dengar jumlah keseluruhan murid hanya seratus orang
lebih. Tiap kelasnya ada sekitar 15 orang murid. Padahal dulu, setiap
kelas minimal 22 orang murid.
“Cobalah kalian mampir, menengok sekolah kalian itu,” begitu pak Anwar berkata
“Tidak harus bantuan materi yang diberikan, bisa sumbangan
pikiran atau apa saja yang dapat membuat sekolah kita ini dapat bangkit
kembali,”
Sambutan dari pak Anwar, dilanjutkan oleh pak Obby.
“Kalau para guru lupa dengan nama kalian, itu terlalu,” jelas pak Obby sambil tersenyum.
“Kenapa? Karena guru-guru kalian ini bertemu dengan kalian
setiap hari. Sedangkan kalau saya lupa pada kalian, itu sudah wajar.
Karena saya mengajar kalian bermain angklung hanya seminggu sekali.”
“Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kalian ini memang alumni
SD Trisula. Demikian pula SMP, SMA atau perguruan tinggi tempat kalian
menuntut ilmu, itu adalah bagian dari hidup kalian,” jelas pak Obby
“Kalian baik, maka nama sekolah akan terikut baik. Demikian
pula sebaliknya.” Kemudian pak Obby melanjutkan pembicaraan pak Anwar
sebelumnya.
“Saya banyak belajar dari angklung. Diantara kalian dulu ada
yang memegang angklung dengan nada do, ada yang memegang nada re, mi,
fa, sol, la, si dan seterusnya. Masing-masing kalian berbeda, tapi
begitu kalian memainkan perannya masing-masing, maka jadilah sebuah lagu
yang indah. Coba bayangkan jika kalian semuanya memegang angklung
dengan nada do saja. Apakah akan terdengar sebuah lagu yang indah?
Perbedaan itu bisa mewujudkan keindahan. Berbeda dengan sekarang,
perbedaan menjadi ajang untuk bergontok-gontokkan,” jelas pak Obby
Sambutan para guru ditutup dengan sepatah dua kata dari pak
Yamin. Diantara kata-kata beliau yang saya ingat, “Fungsi harta itu ada
tiga. Pertama, untuk dimakan, yaitu dengan membeli makanan. Kedua, untuk
dipakai; yaitu dengan membeli pakaian, sepatu, mobil dan seterusnya.
Ketiga, untuk menjadi bekal kita di akhirat kelak.
Jika kita telah tiada, harta tidak ada gunanya lagi. Tidak dapat
digunakan untuk membeli makanan, tidak dapat digunakan untuk membeli
pakaian, sepatu, mobil dan seterusnya. Hanya yang dalam bentuk infak,
sedekah, zakat yang dapat digunakan untuk bekal kita.”
Setelah itu, beliau memimpin doa.
Sebagian besar teman-teman sudah ‘memperkenalkan dirinya’ dan
para guru juga sudah menyampaikan sambutan dan mencoba menyegarkan
ingatan kami semua.
Acara pun dilanjutkan dengan pemberian ‘kenang-kenangan’ kepada para guru serta ditutup dengan foto bersama.
Setelah itu, masuk ke acara bebas dan topik terhangat pada
hari itu, kembali diangkat. “Jadi, Fatah milih yang mana nih? Dian atau
Arlina?”
TULISAN INI SEBELUMNYA
TELAH DIPUBLISH DI AKUN FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar