. Sikap para Khalifah di masa lampau sangat halus dan bijaksana. Mereka bahkan sering tidak berani melawan kata-kata salah seorang rakyatnya, asalkan kata-kata itu mengandung kebenaran. Mereka amat menyadari posisinya, yaitu selaku pelaksana hukum Islam di tengah-tengah masyarakat, di samping sebagai pelayan bagi seluruh rakyatnya. Itulah paling tidak yang ditunjukkan oleh Umar bin Khaththab ra.
Sewaktu khalifah Umar bin Khaththab keluar dari masjid bersama-sama dengan seorang hamba yang bernama Jarud di tengah jalam mereka bertemu dengan seorang wanita tua. Wanita itu menyapa Amirul Mukminin Umar bin Khahththab, “Umar, tunggu sebentar. Aku ingin berbicara denganmu.”
Umar berhenti, dan wanita tua itu pun mendekat, seraya berkata, “Aku masih ingat, dahulu engkau dipanggil dengan nama Umair. Aku sering melihatmu di pasar Ukadz, bermain dan bergulat bersama anak-anak sebayamu. Sekarang, engkau berganti nama menjadi Umar. Bahkan lebih dari itu, engkau kini sudah digelari Amirul Mukminin. Sungguh indah sebutan nama itu, tetapi apakah engkau tahu makna dibalik gelar tersebut? Ketahuilah, wahai Umar, orang yang takut mati tentu akan menyia-nyiakan usianya untuk beramal kebaikan.”
Umar menundukkan kepalanya, mendengarkan nasihat dari wanita tua itu, tak ubahnya seperti seorang anak kecil yang dengan hormat menyimak di depan ibunya. Namun, sebelum mereka berpisah, Jarud sempat memarahi wanita itu dengan mengatakan, “Anda sungguh tidak sopan berbicara dengan orang yang dihormati oleh kawan dan lawan. Apakah Anda tidak tahu bahwa beliau adalah Amirul Mukminin?”
Namun, Umar malah menegur Jarud, “Janganlah engkau berkata kasar terhadap wanita itu. Tahukah engakau, siapakah dia? Dia adalah Khaulah binti Hakim. Seorang wanita yang pengaduannya telah didengar oleh Allah Swt, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Al-Mujadalah (58):1)
Kalau Allah sudah berkenaan menerima pengaduannya, sudah tentu Umar lebih patut mendengar dan menerima pengaduannya.”(arnab) (dikutip dari majalah Al-Wa’ie Tahun 1. 1-31Januari 2001)
Sewaktu khalifah Umar bin Khaththab keluar dari masjid bersama-sama dengan seorang hamba yang bernama Jarud di tengah jalam mereka bertemu dengan seorang wanita tua. Wanita itu menyapa Amirul Mukminin Umar bin Khahththab, “Umar, tunggu sebentar. Aku ingin berbicara denganmu.”
Umar berhenti, dan wanita tua itu pun mendekat, seraya berkata, “Aku masih ingat, dahulu engkau dipanggil dengan nama Umair. Aku sering melihatmu di pasar Ukadz, bermain dan bergulat bersama anak-anak sebayamu. Sekarang, engkau berganti nama menjadi Umar. Bahkan lebih dari itu, engkau kini sudah digelari Amirul Mukminin. Sungguh indah sebutan nama itu, tetapi apakah engkau tahu makna dibalik gelar tersebut? Ketahuilah, wahai Umar, orang yang takut mati tentu akan menyia-nyiakan usianya untuk beramal kebaikan.”
Umar menundukkan kepalanya, mendengarkan nasihat dari wanita tua itu, tak ubahnya seperti seorang anak kecil yang dengan hormat menyimak di depan ibunya. Namun, sebelum mereka berpisah, Jarud sempat memarahi wanita itu dengan mengatakan, “Anda sungguh tidak sopan berbicara dengan orang yang dihormati oleh kawan dan lawan. Apakah Anda tidak tahu bahwa beliau adalah Amirul Mukminin?”
Namun, Umar malah menegur Jarud, “Janganlah engkau berkata kasar terhadap wanita itu. Tahukah engakau, siapakah dia? Dia adalah Khaulah binti Hakim. Seorang wanita yang pengaduannya telah didengar oleh Allah Swt, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Al-Mujadalah (58):1)
Kalau Allah sudah berkenaan menerima pengaduannya, sudah tentu Umar lebih patut mendengar dan menerima pengaduannya.”(arnab) (dikutip dari majalah Al-Wa’ie Tahun 1. 1-31Januari 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar