“Kenapa Pak? Kok makannya seperti ogah-ogahan?” Tanya bu Minah
Tiba-tiba raut muka pak Udin nampak sendu.
“Iya pak, makannya kok seperti itu. Enak loh masakan ibu,” Utari kembali menimpali perkataan ibunya.
“Iya benar nak, masakan ibumu ini memang enak. Tapi bapak malu nak,
untuk memakannya. Seharusnya makanan ini ada lewat hasil keringat bapak.
Tapi ini lewat hasil kerja ibumu.” Jelas pak Udin
Sejak
pabrik tempat pak Udin gulung tikar, otomatis pak Udin tidak lagi
bekerja. Dia kembali berstatus sebagai pengangguran.
“Yah…jangan begitu pak…ini khan rezeki kita semua dan itu berarti milik
kita semua. Jadi bapak juga berhak untuk memakannya,” bu Minah mencoba
menjelaskan kepada suaminya yang kini menjadi lebih sensi.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, bu Minah nampak masih sibuk mencuci di kamar mandinya yang sederhana.
“Sini bu, bapak bantuin..” tawar pak Udin
“Gak usah pak. Bapak istirahat aja, besok kan mau cari kerjaan
“Tapi kan ibu udah dari pagi kerja terus. Masak, mencuci pakaian kita,
bersih-bersih rumah, sekarang mencuci pakaian tetangga kita.”
“Yah begitu lah pak resiko menjadi buruh cuci.”
“Iya tapi kan bapak dari tadi pagi, gak kerja apa-apa. Masa pekerjaan
rumah ibu yang kerjakan dan mencari nafkah juga ibu yang kerjakan,
sedangkan bapak nganggur tidak berbuat apa-apa?” wajah sendu pak Udin
yang setengah memohon nampaknya berhasil meluluhkan hati bu Minah.
Bu Minah pun mengizinkan suaminya untuk membantu. Pak Udin senang
sekali diizinkan untuk membantu. Tugasnya adalah memeras cucian.
Nampak wajah pak Udin lebih cerah. Mungkin dia merasa bahwa dirinya mulai ada artinya lagi dalam keluarganya.
***
“Bu ada uang dua puluh ribu gak?” tanya pak Udin
“Buat apa pak? Buat ongkos? Bukannya bapak rencananya hari ini mau istirahat cari kerjaan?” tanya balik Bu Minah
“Iya tadinya sih. Tapi bapak jadi teringat, sekarang khan hari Jumat.”
“Trus?”
“Kalau bapak shalat Jumat di dekat-dekat rumah kita, bapak nanti akan
ketemu dengan tetangga-tetangga dan mereka akan bertanya, “Kok gak kerja
pak Udin?”
Bu Minah nampak sedikit menarik nafas. Kok
jalan pikirannya seperti itu yah? Perasaan bapak sejak menjadi
pengangguran begitu amat sensi.
TULISAN INI SEBELUMNYA TELAH DIPUBLISH DI AKUN
FACEBOOK SAYA ATAS NAMA ARYA NOOR AMARSYAH