Rabu, 09 November 2011

Kecerdikan Saudah binti Zam’ah r.a. dalam Aspek Keimanan di Rumah Nabi

(7) Kecerdikan Saudah binti Zam’ah r.a. dalam Aspek Keimanan di Rumah Nabi

Saudah bin Zam’ah r.a. adalah salah seorang Ummul Mukminin. Diperistri oleh Rasulullah SAW di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah, dan setelah Ummul Mukminin Khadijah r.a. meninggal dunia. Rasulullah masuk ke Makkah. Rasulullah melakukan hubungan badan dengan Saudah di Makkah, pada tahun ke-13 dari kenabian. Hanya Saudah yang diperlakukan demikian. Selama kurang lebih tiga tahun, baru setelah itu Rasulullah melakukan hubungan suami istri dengan ‘Aisyah r.a. di Madinah, setelah hijrah. Rasulullah SAW mempersunting ‘Aisyah di Makkah, akan tetapi tidak melakukan hubungan suami istri di Makkah, semasa beliau menikahi Saudah binti Zam’ah.
Posisi Saudah semakin memuncak dalam Islam, hingga disebut Ummul Mukminin. Nabi Muhammad SAW menikahi Saudah sebagai penghargaan dan penghormatan dari Nabi, setelah suaminya meninggal dan karena menanggung beban perjuangan di jalan Allah dan rasul-Nya. Saudah melakukan kewajibannya di rumah Nabi, seperti memelihara putri-putri Rasulullah SAW, hingga istri-istri Rasulullah yang lain masuk ke rumah Nabi dengan menyandang gelar Ummul Mukminin.
Ketika Saudah menikah dengan Rasulullah SAW, dia merupakan istri tertua dibandingkan dengan istri-istri berliau yang lain. Setelah beberapa tahun kemudian, Saudah tampak tua dan lanjut usia, sehingga hari-hari Nabi untuknya dihadiahkan untuk menemui ‘Aisyah. Suatu ketika dia pernah berkata, “Ya Rasulullah, saya hadiahkan hari-hari engkau untukku kepada ‘Aisyah.”[1]
Disebutkan dalam buku-buku sirah dan hadis, bahwa Rasulullah SAW hendak mencerai Saudah ketika dia sudah lanjut usia. Saudah berkata kepada beliau, “Tolong jangan ceraikan saya, dan engkau tetap menjadi suamiku, saya ingin menjadi bagian dari istri-istri engkau. Saya menghadiahkan hari engkau untukku kepada ‘Aisyah, saya tidak ingin meminta apa yang biasa diinginkan oleh kaum perempuan.”
Rasulullah tidak mencerainya hingga dia meninggalkan bersama istri-istrinya yang lain.[2]
Demikianlah, dengan kecerdasannya dari aspek keimanan, Saudah mampu bertahan menjadi Ummul Mukminin, di dunia dan di akhirat.
‘Aisyah menceritakan hal itu kepada ‘Urwah bin Zubair. ‘Aisyah berkata, “Wahai keponakanku, Rasulullah tidak mengistimewakan sebagian kami dengan sebagian yang lain dalam masalah bagian, termasuk dalam giliran beliau menginap dengan kami. Beliau mendatangi dan menginap di semua rumah istrinya secara bergantian. Ketika Saudah binti Zam’ah lanjut usia, sementara dia khawatir dicerai oleh Rasulullah, dia berkata, ‘Ya Rasulullah, giliranku saya hadiahkan kepada ‘Aisyah.’” Rasulullah menerima permintaan Saudah. Setelah itu turun firman Allah,
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu  secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisaa’: 128)
Begitulah kisah tentang Saudah binti Zam’ah, ketika dia sudah lanjut usia, sementara dia takut dicerai oleh suaminya, Rasulullah SAW. Dia menghadiahkan gilirannya untuk ditemui Nabi kepada ‘Aisyah r.a., istri termuda Rasulullah. ‘Aisyah berterima kasih dan memuji Saudah.
Tindakan yang dilakukan oleh Saudah merupakan bukti kercerdikannya dan keinginannya untuk bisa dekat karena cintanya kepada Rasulullah SAW, serta untuk menjaga kedudukannya, baik di dunia dan di akhirat.

(8) Saudah Tidak Pernah Naik Haji Lagi Setelah Rasulullah SAW Wafat
Saudah binti Zam’ah berpegang teguh terhadap wasiat Rasulullah kepada istri-istrinya pada haji wada’, ketika beliau bersabda, “Tahun ini saja, setelah itu harus menetap di rumah.” Sabda ini isyarat kepada istri-istri beliau, agar beliau menetap di rumahnya dan tidak pergi ke mana-mana. Setelah haji wada’, Rasulullah Saw. meninggal dunia. Saudah berkata, “Saya tidak akan pernah naik haji setelah haji wada’.”[3]
Disebutkan dalam riwayat Ahmad dalam Musnadnya, “Istri-istri Rasulullah naik haji, kecuali Zainab binti Jahsyin dan Saudah binti Zam’ah. Mereka berdua berkata, ‘Demi Allah, jangan pernah menggerakkan kendaraan, setelah kami mendengar wasiat tersebut dari Rasulullah Saw.’”


[1]“Siyar A’lâmi an-Nubalâ’.”
[2]“Al-Istî’âb wa Thabaqâthu Ibni Sa’id.”
[3]Hadis riwayat Ahmad dalam Musnadnya.
Sumber; 100 Qishshah min Dzakâi ash-Shahâbiyyât, Manshur Abd. Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar