Inilah saatnya kita berada di tahun 51 hijriyah. Tahun di mana kelompok-kelompok pasukan kaum muslimin memporak-porandakan sarang-sarang kekufuran di muka bumi, di Timur dan Barat.
Mereka membawakan akidah yang mantap bagi umat manusia, mengulurkan tangannya untuk kemaslahatan yang hakiki, menyebarkannya hingga sampai ke sudut-sudut bumi untuk membebaskan manusia dari peribadatan kepada sesama manusia dan membawa mereka untuk mengabdi kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Saat di mana sahabat yang agung Ar-Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi, amir di Khurasan, pembuka pintu Sajistan dan panglima yang handal, tengah memimpin pasukan perangnya di jalan Allah, didampingi oleh seorang budaknya yang pemberani bernama farrukh.
Setelah Allah mengaruniakan kemenangan atas Sajistan dan beberapa daerah lainnya, Ar-Rabi’ bermaksud melengkapi kemenangannya yang gemilang dengan melintasi sungai Seyhun untuk mengibarkan panji-panji tauhid di bukit-bukit yang disebut sebagai “negeri di belakang sungai” itu.
Ar-Rabi’ bin Ziyad mempersiapkan pasukan untuk menyongsong perang yang telah direncanakan itu, mengatur strategi dan memberikan pengarahan tentang saat yang tepat untuk menyerang, juga posisi musuh yang hendak diserangnya.
Tatkala benar-benar pecah, Ar-Rabi’ beserta pasukannya yang militan menampilkan kebolehannya yang selalu dikenang sejarah dengan seruan tasbih dan pekikan takbir. Budaknya, Farrukh juga memperlihatkan kegagahan dan ketangkasannya di medan peperangan hingga bertambahlah kekaguman dan penghargaan Ar-Rabi’ terhadapnya.
Usailah peperangan, kemenangan jatuh di pihak pasukan kaum muslimin. Mereka telah menggoyahkan kaki-kaki musuh, mencerai beraikan barisannya. Setelah itu mereka menyebarangi sungai yang selama ini menjadi penghalang bagi penyebaran Islamd di Turki dan negeri Cina yang jauh.
Setelah berhasil menyeberangi sungai dan menginjakkan kaki di tepinya, panglima beserta pasukannya segera berwudhu. Semua menghadap ke kiblat, menunaikan shalat dua rekaat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah memenangkan mereka.
Selanjutnya panglima besar memberikan hadiah kepada Farrukh atas andilnya yang besar dalam peperangan berupa kemerdekaan dirinya. Farrukh juga mendapatkan bagian ghanimah yang banyak ditambah lagi dengan pemberian secara pribadi dari panglima ke Rabi’.
Tak berselang lama pasca hari-hari bahagia ini, ajal menjemput Ar-Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi, tepatnya dua tahun sesudah cita-citanya yang agung terwujud, dia kembali ke sisi Allah Ta’ala dengan penuh kerelaan.
Adapun Farrukh, si pemuda perkasa, dia kembali ke Madinah dengan membawa berbagai pemberian dari tuannya. Dia pulang menyandang tombak sekaligus membawa kemerdekaannya yang berharga disamping kenangan indah tentang kejantanannya ketika bergumul dengan debu-debu jihad.
Farrukh kembali ke kota Rasulullah saw. dalam usia yang masih cukup muda, lincah, perwira dan tangkas dalam berperang. Ketika itu usianya menginjak 30 tahun. Kini dia bertekad membangung mahligai rumah tangga, menyunting seorang gadis agar lebih tenang hidupnya. Dibelinya sebuah rumah sederhana di kota Madinah, dipilihkan seorang gadis yang sudah matang pikirannya, sempurna agamanya, serasi tubuh dan usianya.
Farrukh sangat bersyukur atas karunia Allah yang memberinya rumah dan istri yang shalihah. Sekarang dia benar-benar bisa merasakan kenikmatan hidup didampingi istri yang mampu mengatur semua tatanan kehidupan, persis seperti yang yang diharapkan dan dicita-citakannya.
Namun rupanya, rumah yang nyaman dengan segala kebutuhan hidup dan istri yang shalihah beserta akhlak dan kecantikan yang telah Allah karuniakan kepadanya tak mampu menahan kejolak kerinduannya terhadap jihad fi sabilillah. Pahlawan mukmin ini ingin kembali memasuki medan tempur dengan membawa kerinduan akan suara dentuman senjata dan dahsyatnya jihad fi sabilillah. Setiap kali mendengar berita tentang kemajuan yang dicapai pasukan muslimin, makin bertambah kerinduannya untuk berjihad, makin dalam hasratnya untuk dapat mati syahid.
Hari Jum’at, khatib masjid Nabawi memberikan kabar gembira tentang kemenangan kaum muslimin di berbagai medan perang. Khatib juga memberikan motivasi orang-orang untuk terus berjihad fi sabilillah, menjelaskan kepada mereka akan keutamaan syahid demi meninggikan agama-Nya. Pulanglah Farrukh ke rumahnya sedang dihatinya telah bulat tekadnya untuk berjuang di bawah panji-panji kaum muslimin yang bertebaran di muka bumi. Kemudian belia ceritakan tekadnya kepada istrinya, sehingga istrinya bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau hendak menitipkan aku beserta janin dalam kandunganku ini, sedangkan engkau adalah orang asing yang tak punya sanak keluarga di kota ini?”
Farrukh berkata, “Aku titipkan engkau kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudian aku tinggalkan untukmu uang 30.000 dinar, hasil yang aku kumpulkan dari pembagian ghanimah peperangan. Pakailah seperlunya untuk keperluanmu dan keperluan bayi kita dengan sebaik-sebaiknya sampai aku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah memberi aku rizki sebagai syuhada’ seperti yang saya dambakan.” Kemudian beliau pamit kepada istrinya, pergi memburu cita-citanya.
Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh, istrinya yang bijaksana itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang cakap dan berwajah tampan. Sang ibu menyambutnya dengan penuh bahagia hingga mampu mengalihkan perhatiannya yang telah sekian lama berpisah dengan suaminya. Bayi laki-laki itu diberi nama Ar-Rabi’ah.
Tanda-tanda ketangkasan telah nampak pada diri anak itu sejak kecil. Nampak pula tanda-tanda kecerdasan pada perkataan dan tingkah lakunya. Oleh ibunya, Ar-Rabi’ah diserahkan kepada guru-guru agar mendapatkan pendidikan dengan layak. Disamping itu, diundangkan pula untuknya pengajar dalam adap untuk mendidik budi pekerti kepadanya.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, kecerdasan Ar-Rabi’ah berkembang begitu pesat. Pada mulanya mahir baca tulis, lalu hafal Kitabullah dan mampu membacanya dengan lantunan yang indah seperti tatkala dibaca oleh para sahabat terdahulu. Sesudah itu beliau mendalami hadits-hadits Rasulullah saw. dari yang paling mudah, mempelajari bahasa Arab yang baik dan benar, juga mempelajari perkara-perkara agama yang wajib untuk diketahui.
Ibunda Ar-Rabi’ah memberikan imbalan yang cukup dan hadiah-hadiah yang berharga kepada para guru putranya. Setiap kali nampak kemajuan pada diri Ar-Rabi’ah, dia tambahkan pemberiannya.
Dengan kesibukan tersebut sang ibu masih senantiasa menanti kedatangan ayah putranya yang pergi sudah begitu lama. Karena itulah ia berusah keras mendidik putranya agar kelak bisa menjadi penyejuk pandangannya dan juga suaminya jika sewaktu-waktu suaminya datang.
Namun ternyata Farrukh begitu lama tak kunjung datang kemudian terdengarlah kabar burung dan isu bermacam-macam tentangnya. Ada yang mengatakan Farrukh ditawan musuh, ada pula yang mengatakan bahwa ia masih meneruskan jihadnya. Yang lain lagi berkata bahwa beliau telah mendapatkan syahid di medan perang seperti yang diidamkannya. Ummu Rabi’ah menduga bahwa pendapat terakhirlah yang paling mungkin, mengingat berita tentang Farukh terputus sama sekali. Beliau menjadi sedih, tetapi kemudian beliau kembalikan segala persoalan kepada Allah yang Maha Penguasa dan Penyayang.
Ketika Ar-Rab’ah menginjak usia remaja dan hampir baligh, orang-orang menasehati ibunya, “Sekarang Ar-Rabi’ah sudah dewasa. Sebaikan ia tidak usah lagi belajar membaca dan menulis.” Ada pula yang usul, “Dia sudah mampu menghafal Al-Qur’an dan meriwayatkan hadits, lebih baik engkau suruh ia bekerja agar ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan juga untukmu.” Namun ibunya berkata, “Aku memohon kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik bagi dunia dan akhiratnya. Sesungguhnya Ar-Rabi’ah memilih untuk terus menuntut ilmu, dia bertekad senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.
Ar-Rabi’ah menapaki jalan hidup yang sudah digariskan atasnya dengan penuh semangat dan tak mau membuang waktu. Beliau rajin mendatangi halaqah-halaqah ilmu yang memenuhi masjid Nabawi dengan membawa rasa haus akan sumber-sumber pengetahuan yang baik. Beliau bersahabat baik dengan sisa-sisa sahabat utama, di antaranya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw, mengenyam ilmu dari para tabi’in terkemuka seperti Sa’id bin Musayyab, Makhul asy-Syami dan Salamah bin Dinar.
Beliau terus belajar hingga larut malam, sampai lelah…Kawan-kawannya menasihati dia menjaga dan menyayangi dirinya sendiri, namun dia berkata, “Aku mendengar dari orang-orang tua dan guru-guruku berkata, ‘Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan sebagian dari dirinya kepadamu kecuali jika kamu memberikan seluruh jiwamu untuk mendapatkannya’.”
Tak heran bila sebentar kemudian namanya sudah tersoho, menjadi tinggi pamornya, semakin banyak kawannya, dihargai oleh murid-muridnya dan diunggulkan oleh kaumnya.
Kehidupan ulama Madinah ini begitu cemerlang, dibagilah hari-harinya. Sebagian untuk keluarganya di rumah, sebagian lagi di masjid Nabawi menghadiri kajian ilmu dan halaqah-halaqah. Sampai suatu kali terjadi peristiwa yang sama sekali tidak terduga dalam hidupnya.
Mereka membawakan akidah yang mantap bagi umat manusia, mengulurkan tangannya untuk kemaslahatan yang hakiki, menyebarkannya hingga sampai ke sudut-sudut bumi untuk membebaskan manusia dari peribadatan kepada sesama manusia dan membawa mereka untuk mengabdi kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Saat di mana sahabat yang agung Ar-Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi, amir di Khurasan, pembuka pintu Sajistan dan panglima yang handal, tengah memimpin pasukan perangnya di jalan Allah, didampingi oleh seorang budaknya yang pemberani bernama farrukh.
Setelah Allah mengaruniakan kemenangan atas Sajistan dan beberapa daerah lainnya, Ar-Rabi’ bermaksud melengkapi kemenangannya yang gemilang dengan melintasi sungai Seyhun untuk mengibarkan panji-panji tauhid di bukit-bukit yang disebut sebagai “negeri di belakang sungai” itu.
Ar-Rabi’ bin Ziyad mempersiapkan pasukan untuk menyongsong perang yang telah direncanakan itu, mengatur strategi dan memberikan pengarahan tentang saat yang tepat untuk menyerang, juga posisi musuh yang hendak diserangnya.
Tatkala benar-benar pecah, Ar-Rabi’ beserta pasukannya yang militan menampilkan kebolehannya yang selalu dikenang sejarah dengan seruan tasbih dan pekikan takbir. Budaknya, Farrukh juga memperlihatkan kegagahan dan ketangkasannya di medan peperangan hingga bertambahlah kekaguman dan penghargaan Ar-Rabi’ terhadapnya.
Usailah peperangan, kemenangan jatuh di pihak pasukan kaum muslimin. Mereka telah menggoyahkan kaki-kaki musuh, mencerai beraikan barisannya. Setelah itu mereka menyebarangi sungai yang selama ini menjadi penghalang bagi penyebaran Islamd di Turki dan negeri Cina yang jauh.
Setelah berhasil menyeberangi sungai dan menginjakkan kaki di tepinya, panglima beserta pasukannya segera berwudhu. Semua menghadap ke kiblat, menunaikan shalat dua rekaat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah memenangkan mereka.
Selanjutnya panglima besar memberikan hadiah kepada Farrukh atas andilnya yang besar dalam peperangan berupa kemerdekaan dirinya. Farrukh juga mendapatkan bagian ghanimah yang banyak ditambah lagi dengan pemberian secara pribadi dari panglima ke Rabi’.
Tak berselang lama pasca hari-hari bahagia ini, ajal menjemput Ar-Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi, tepatnya dua tahun sesudah cita-citanya yang agung terwujud, dia kembali ke sisi Allah Ta’ala dengan penuh kerelaan.
Adapun Farrukh, si pemuda perkasa, dia kembali ke Madinah dengan membawa berbagai pemberian dari tuannya. Dia pulang menyandang tombak sekaligus membawa kemerdekaannya yang berharga disamping kenangan indah tentang kejantanannya ketika bergumul dengan debu-debu jihad.
Farrukh kembali ke kota Rasulullah saw. dalam usia yang masih cukup muda, lincah, perwira dan tangkas dalam berperang. Ketika itu usianya menginjak 30 tahun. Kini dia bertekad membangung mahligai rumah tangga, menyunting seorang gadis agar lebih tenang hidupnya. Dibelinya sebuah rumah sederhana di kota Madinah, dipilihkan seorang gadis yang sudah matang pikirannya, sempurna agamanya, serasi tubuh dan usianya.
Farrukh sangat bersyukur atas karunia Allah yang memberinya rumah dan istri yang shalihah. Sekarang dia benar-benar bisa merasakan kenikmatan hidup didampingi istri yang mampu mengatur semua tatanan kehidupan, persis seperti yang yang diharapkan dan dicita-citakannya.
Namun rupanya, rumah yang nyaman dengan segala kebutuhan hidup dan istri yang shalihah beserta akhlak dan kecantikan yang telah Allah karuniakan kepadanya tak mampu menahan kejolak kerinduannya terhadap jihad fi sabilillah. Pahlawan mukmin ini ingin kembali memasuki medan tempur dengan membawa kerinduan akan suara dentuman senjata dan dahsyatnya jihad fi sabilillah. Setiap kali mendengar berita tentang kemajuan yang dicapai pasukan muslimin, makin bertambah kerinduannya untuk berjihad, makin dalam hasratnya untuk dapat mati syahid.
Hari Jum’at, khatib masjid Nabawi memberikan kabar gembira tentang kemenangan kaum muslimin di berbagai medan perang. Khatib juga memberikan motivasi orang-orang untuk terus berjihad fi sabilillah, menjelaskan kepada mereka akan keutamaan syahid demi meninggikan agama-Nya. Pulanglah Farrukh ke rumahnya sedang dihatinya telah bulat tekadnya untuk berjuang di bawah panji-panji kaum muslimin yang bertebaran di muka bumi. Kemudian belia ceritakan tekadnya kepada istrinya, sehingga istrinya bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau hendak menitipkan aku beserta janin dalam kandunganku ini, sedangkan engkau adalah orang asing yang tak punya sanak keluarga di kota ini?”
Farrukh berkata, “Aku titipkan engkau kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudian aku tinggalkan untukmu uang 30.000 dinar, hasil yang aku kumpulkan dari pembagian ghanimah peperangan. Pakailah seperlunya untuk keperluanmu dan keperluan bayi kita dengan sebaik-sebaiknya sampai aku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah memberi aku rizki sebagai syuhada’ seperti yang saya dambakan.” Kemudian beliau pamit kepada istrinya, pergi memburu cita-citanya.
Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh, istrinya yang bijaksana itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang cakap dan berwajah tampan. Sang ibu menyambutnya dengan penuh bahagia hingga mampu mengalihkan perhatiannya yang telah sekian lama berpisah dengan suaminya. Bayi laki-laki itu diberi nama Ar-Rabi’ah.
Tanda-tanda ketangkasan telah nampak pada diri anak itu sejak kecil. Nampak pula tanda-tanda kecerdasan pada perkataan dan tingkah lakunya. Oleh ibunya, Ar-Rabi’ah diserahkan kepada guru-guru agar mendapatkan pendidikan dengan layak. Disamping itu, diundangkan pula untuknya pengajar dalam adap untuk mendidik budi pekerti kepadanya.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, kecerdasan Ar-Rabi’ah berkembang begitu pesat. Pada mulanya mahir baca tulis, lalu hafal Kitabullah dan mampu membacanya dengan lantunan yang indah seperti tatkala dibaca oleh para sahabat terdahulu. Sesudah itu beliau mendalami hadits-hadits Rasulullah saw. dari yang paling mudah, mempelajari bahasa Arab yang baik dan benar, juga mempelajari perkara-perkara agama yang wajib untuk diketahui.
Ibunda Ar-Rabi’ah memberikan imbalan yang cukup dan hadiah-hadiah yang berharga kepada para guru putranya. Setiap kali nampak kemajuan pada diri Ar-Rabi’ah, dia tambahkan pemberiannya.
Dengan kesibukan tersebut sang ibu masih senantiasa menanti kedatangan ayah putranya yang pergi sudah begitu lama. Karena itulah ia berusah keras mendidik putranya agar kelak bisa menjadi penyejuk pandangannya dan juga suaminya jika sewaktu-waktu suaminya datang.
Namun ternyata Farrukh begitu lama tak kunjung datang kemudian terdengarlah kabar burung dan isu bermacam-macam tentangnya. Ada yang mengatakan Farrukh ditawan musuh, ada pula yang mengatakan bahwa ia masih meneruskan jihadnya. Yang lain lagi berkata bahwa beliau telah mendapatkan syahid di medan perang seperti yang diidamkannya. Ummu Rabi’ah menduga bahwa pendapat terakhirlah yang paling mungkin, mengingat berita tentang Farukh terputus sama sekali. Beliau menjadi sedih, tetapi kemudian beliau kembalikan segala persoalan kepada Allah yang Maha Penguasa dan Penyayang.
Ketika Ar-Rab’ah menginjak usia remaja dan hampir baligh, orang-orang menasehati ibunya, “Sekarang Ar-Rabi’ah sudah dewasa. Sebaikan ia tidak usah lagi belajar membaca dan menulis.” Ada pula yang usul, “Dia sudah mampu menghafal Al-Qur’an dan meriwayatkan hadits, lebih baik engkau suruh ia bekerja agar ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan juga untukmu.” Namun ibunya berkata, “Aku memohon kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik bagi dunia dan akhiratnya. Sesungguhnya Ar-Rabi’ah memilih untuk terus menuntut ilmu, dia bertekad senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.
Ar-Rabi’ah menapaki jalan hidup yang sudah digariskan atasnya dengan penuh semangat dan tak mau membuang waktu. Beliau rajin mendatangi halaqah-halaqah ilmu yang memenuhi masjid Nabawi dengan membawa rasa haus akan sumber-sumber pengetahuan yang baik. Beliau bersahabat baik dengan sisa-sisa sahabat utama, di antaranya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw, mengenyam ilmu dari para tabi’in terkemuka seperti Sa’id bin Musayyab, Makhul asy-Syami dan Salamah bin Dinar.
Beliau terus belajar hingga larut malam, sampai lelah…Kawan-kawannya menasihati dia menjaga dan menyayangi dirinya sendiri, namun dia berkata, “Aku mendengar dari orang-orang tua dan guru-guruku berkata, ‘Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan sebagian dari dirinya kepadamu kecuali jika kamu memberikan seluruh jiwamu untuk mendapatkannya’.”
Tak heran bila sebentar kemudian namanya sudah tersoho, menjadi tinggi pamornya, semakin banyak kawannya, dihargai oleh murid-muridnya dan diunggulkan oleh kaumnya.
Kehidupan ulama Madinah ini begitu cemerlang, dibagilah hari-harinya. Sebagian untuk keluarganya di rumah, sebagian lagi di masjid Nabawi menghadiri kajian ilmu dan halaqah-halaqah. Sampai suatu kali terjadi peristiwa yang sama sekali tidak terduga dalam hidupnya.
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 123-130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar