Kalo ada orang yang bertanya, “Bagaimana penilaian
terhadap novel Ayat-ayat Cinta 2?”
Saya akan jawab luar biasa. Novel penuh berisi pesan,
pemikiran, fakta, cerita dan romantisme.
Habiburrahman El-Shirazy begitu pandai membaca fakta
yang menimpa diri kaum muslimin saat ini. Dia juga begitu pandai mengemas
cerita untuk menunjukkan bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan kaum muslimin.
Fahri, tokoh utama dalam novel ini tinggal di kota Edinburgh,
Skotlandia. Dia tinggal di lingkungan yang majemuk. Ada Keira dan Jason; tetangganya
yang amat membenci Islam. Kakak beradik ini amat membenci Islam, karena ayah
mereka merupakan salah satu korban ledakan bom di stasiun kereta api bawah
tanah. Berita yang beredar, pelaku ledakan adalah dari kalangan kaum muslimin.
Seringkali Fahri dan supirnya Paman Hulusi menemukan
tulisan yang mencoreng kaca mobil Fahri. Seperti tulisan Islam=Satanic,
Muslim=Monster.
Tapi apa yang dilakukan Fahri? Apakah Fahri marah-marah,
melaporkan Keira dan Jason pada polisi? Karena bila hal ini dilaporkan ke
polisi, Fahri punya bukti kuat hasil rekaman CCTV.
Fahri sebagai pengusaha butik, restoran dan minimarket
juga punya rekaman CCTV tentang ulah Jason yang mencuri beberapa batang coklat.
Hal ini sudah seringkali dilakukan oleh Jason.
Fahri memaafkan ini semua. Fahri mengajak Jason untuk
bersahabat, bahkan menyekolahkannya sekolah bola. Hingga Jason menjadi pemain
sepakbola professional.
Demikian pula, dengan sikap Fahri terhadap Keira.
Keira yang memiliki bakat bermain biola, disekolahkan sekolah biola.
Pengajarnya adalah pemain biola professional. Pesan Fahri pada pengajarnya agar
Keira bisa menjadi juara biola tingkat international. Pengajarnya pun
menyanggupinya.
Karena Fahri membantu Keira secara diam-diam, Keira
tidak merasakan langsung kebaikan Fahri. Dia masih menganggap Fahri adalah ‘musuhnya’.
Ini menjadi pergolakan batin bagi Fahri yang telah membantu Keira, tapi
diperlakukan tidak adil.
Berbeda dengan bantuan Fahri yang diberikan kepada Jason. Semuanya
dilakukan secara langsung dan terang-terangan. Jason merasakan langsung
kebaikan dan ketulusan Fahri. Hingga Jason berniat untuk masuk Islam.
Nenek Catarina yang beragama Yahudi juga mendapat
perlakuan ‘istimewa’ dari Fahri. Rumah nenek Catarina direbut oleh anak tirinya
yang memang memiliki surat wasiat yang sah atas kepemilikan rumah itu. Nenek
Catarina diminta untuk tinggal di panti asuhan oleh Baruch, anak tirinya itu. Tapi
Fahri menampung nenek Catarina di rumahnya dan melayaninya layaknya terhadap
orang tuanya.
Rumah nenek Catarina dijual oleh Baruch kepada seorang
pembeli. Lalu Fahri mendatangi pembeli itu untuk membeli rumah itu kembali. Dia
siap membayar dengan harga yang lebih. Rumah itu berhasil kembali ke nenek
Catarina.
Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin benar-benar
ditunjukkan oleh Fahri dalam aktivitas sehari-harinya.
Fahri yang bergelar Doktor dan mengajar di University
Of Edinburgh, juga memiliki lingkungan akedemis. Lingkungan akedemis yang
didominasi oleh non muslim, membuat Fahri harus pandai menjelaskan tentang
Islam dengan sebenar-benarnya, dengan argument yang tajam.
Bahkan Fahri ikut sebuah forum debat di sebuah forum
international yang bergengsi. Fahri dapat membantah dua orang lawan debatnya
dengan argumen-argumen yang mematahkan.
Pengetahuan penulis tentang kebobrokan paham komunis
dibahas di sini. Kesesatan pemahaman bahwa semua agama adalah sama, dikupas
tuntas di sini juga. Kedudukan permasalahan Palestina juga didudukkan oleh
penulis pada posisinya.
Di dalam novel ini, Fahri bertemu dengan salah seorang
sahabatnya sewaktu di Kairo. Karena sama-sama lulusan Al-Azhar, maka pembicaraan
mereka berdua penuh dengan makna. Terkadang terjadi perdebatan diantara mereka.
Perdebatan diantara keduanya terlihat sengit dengan masing-masing argument yang
mereka punyai.
Satu yang mengganggu pikiran saya. Fahri sebagai
seorang hafidz Quran, pengetahuannya tentang Islam begitu teramat luas. Jenjang
pendidikannya yang tinggi. Tapi mengapa dia mengizinkan Aisyah, isterinya untuk
pergi ke Palestina tanpa didampingi seorang mahram pun? Hingga akhirnya Aisyah
hilang di Palestina.
Namun kejanggalan yang terakhir ini, tidak
menghilangkan kekaguman saya pada novel ini. Pesan, makna dan pemikiran dikemas
dalam cerita, sehingga terasa ringan untuk dikunyah dan ditelan. Novel yang ada di tangan saya, sudah cetakan kelima,
Desember 2015. Selamat membaca.
sumber image: http://www.harnas.co/