Di bulan Ramadhan ini,
banyak sekali rasanya kaum muslimin yang bersyukur. Perhatikan saja sikap dan
ucapan mereka di saat berbuka.
“Alhamdulillah, sekian jam berpuasa, akhirnya kembali
merasakan segarnya air minum.”
“Wiii, nikmatnya minum...”
“Kalau berpuasa itu memang yang gak nahan itu haus. Tapi
begitu berbuka, betapa nikmatnya minum.”
Ya minum, air minum, memang suatu hal yang vital dalam
kehidupan manusia. Kita baru merasakan bahwa air itu merupakan suatu hal yang
vital, salah satunya di saat sedang berpuasa. Kita amat bersyukur ketika
kembali dapat merasakan air di saat berbuka.
Berbicara tentang air, sebenarnya Allah telah mengisyaratkan
agar kita mau merenung, selanjutnya bersyukur atas karunia air yang Allah
berikan kepada kita. Allah berfirman, “Maka
terangkanlah kepadaku tentang air yang kalian minum. Kaliankah yang
menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?” (QS Al-Waqi’ah(56):68-69)
Memperhatikan air minum akan
mengantarkan kita pada Allah. Kita tidak ada apa-apanya di hadapan Allah.
Sekali lagi, air minum bisa menjadi media untuk menyadarkan kita agar selalu
bersyukur.
Suatu ketika Ibnus Samak bertemu dengan khalifah Harun
Ar-Rasyid. Khalifah berkata padanya, “Berilah nasihat pada saya.” Pada saat
itu, di tangan khalifah terdapat segelas air. Ibnu As-Samak berkata, “Wahai
Amirul Mu’minin! Jika minuman itu tidak ada padamu, apakah engkau bersedia
menebusnya dengan semua harta milikmu?” Khalifah menjawab, “Ya benar.” Ibnu
As-Samak kembali bertanya, “Wahai Amirul Mu’min! Jika engkau telah minum air
ini, namun engkau dilarang untuk keluar (untuk buang air), apakah engkau
bersedia menebusnya dengan semua harta milikmu?” Khalifah Harun Ar-Rasyid
menjawab, “Ya saya bersedia.” Ibnu As-Samak berkata padanya, “Harta itu tidak
ada nilainya sama sekali. Dia tidak sebanding dengan air minum dan buang air.”
(Al-Mustathraf/
juz 2/293)
khalifah Harun Ar-Rasyid
meminta nasihat kepada Ibnu Samak. Dari
hasil pembicaraan mereka ternyata harta bukan segala-galanya. Mungkin selama
ini kita berpikiran dengan uang atau harta kita dapat membeli segalanya. Tapi
ternyata, uang dan harta bukan segala-galanya.
Uang dan harta tidak senilai dengan air minum dan buang air.
Coba saja bayangkan. Di saat hari amat panas, di tengah padang pasir yang tidak
ditemukan air sama sekali, uang tidak ada nilainya apa-apa. Air menjadi sesuatu
yang bernilai tinggi.
Di saat bulan Ramadhan, ketika bedug Maghrib tiba. Kita
sedang di tengah-tengah jalan tol dan sedang macet pula, namun kita tidak
membawa air sama sekali. Bukankah air menjadi sesuatu yang amat berharga.
Kita terkadang tidak sadar akan nikmat Allah yang teramat
besar. Dalam buku Laa Tahdzan, Dr Aidh Al-Qarni bertanya, “Apakah Anda mau
menukar kedua mata Anda dengan emas sebanyak gunung Uhud? Apakah Anda bersedia
menjual kedua telinga Anda dengan perak sebesar bukit? Apakah Anda mau membeli
istana yang menjulang tinggi dengan lidah Anda, sehingga Anda menjadi bisu?
Maukah Anda menukar kedua tangan Anda dengan untaian mutiara, sementara tangan
Anda buntung?
Kita terkadang merasa orang yang paling sengsara di dunia,
tapi ternyata kita masih lebih beruntung dari orang-orang lain.