Senin, 23 September 2013

Mengapa Engkau Menangis

Mengapa Engkau Menangis

KETIKA  mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, “Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?”

“Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya,” seseorang menjawab.

Ummul Mukminin berkata lagi, “Kafilah yang telah menyebabkan semua ini?”

“Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan.”

Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya jauh menerawang seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya.

Kemudian ia berkata, “Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”

Sebagian sahabat mendengar itu. Mereka pun menyampaikannya kepada Ab-durrahman bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskan, ia segera melangkahkan kakinya ke rumah Aisyah.

“Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa.” Abdur-rahman bin Auf berkata lagi, “Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah.”

Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar.

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya. Bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta kemudian menyimpannya. Ia mengumpulkan harta dengan jalan yang halal.

Kemudian, harta itu tidak ia nikmati sendirian. Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut juga menikmati kekayaan Abdurrahman bin Auf.

Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah berkata, “Seluruh penduduk Madinah bersatu dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka.”

Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia pergunakan untuk membela agama Allah dan membantu kawan-kawannya. Adapun, jika ia memikirkan harta itu untuk dirinya, ia selalu ragu saja.

Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk berbuka puasa.

Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia malah menangis dan berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai seorang syahid. Ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbuka kepalanya.”

Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan dengan suara yang juga masih terisak dan berat, “Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kami.”

Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali, akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta yang haram sedikitpun.

Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin Auf menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setelah makanan diletakkan di hadapan mereka, tiba-tiba ia kembali menangis.

Sontak para sahabat terkejut. Mereka pun bertanya, “Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?”

Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. Sahabat benar-benar melihat bahwa betapa halusnya hati seorang Abdurrahman bin Auf. Ia mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang diperbuatnya di dunia ini.

Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf menjawab, “Rasulullah saw. wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan roti gandum sampai kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan?”

Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang menangis, para sahabat pun ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap ridha Allah. []
Sumber: http://www.islampos.com/mengapa-engkau-menangis-275/

Dari Mana Kaudapatkan Uangnya?


Dari Mana Kaudapatkan Uangnya?

DI BAWAH  pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, wilayah kerajaan kian meluas dan kehidupan rakyat kian terjamin. Ini tidak lepas dari kepiawaian Umar dalam menjalankan kebijakan politik. Istananya tidak kalah megah dibandingkan dengan istana para kepala negara lainnya. Indah dan anggun, dihiasi taman bunga yang berwarna-warni.

Namun kehidupan pribadi Umar justru jauh dari mewah. Itu terlihat jelas dari segala tindak-tanduknya. Baik yang menyangkut kepentingan negara maupun rakyatnya. Umar hidup sederhana saja. Ia tidak mau menikmati sesuatu sebelum tahu asal-usulnya, atau haram-halalnya.

Pernah pada suatu kali, istrinya merasa sangat kasihan melihat suami tercintanya itu hanya makan roti tawar dan keras setiap hari. Maka ia menyediakan roti gandum yang lebih lezat dengan racikan daging domba di dalamnya. Ketika Umar disodori hidangan itu, ia terbelalak. Ini istimewa baginya. Ia bertanya kepada istrinya, “Dari mana kauperoleh makanan mewah ini?”

“Aku bikin sendiri, suamiku, Amirul Mukminin…” jawab istrinya tertunduk.

Umar memperhatikan muka istrinya. “Uangnya dari mana sampai kau bisa membeli semua ini?”

Istrinya menarik nafas panjang. “Aku berhemat dari uang belanja yang kauberikan. Aku kumpulkan sedikit demi sedikit selama satu bulan belakangan ini.”

Kepala Umar mangut-mangut, mengerti, “Berapa semuanya ini?”

Tanpa curiga sang istri menjawab, “Tiga setengah dirham… Amirul Mukminin.”

Umar kelihatan terkejut mendengar jawaban istrinya itu, “Tiga setengah dirham? Banyak sekali. Itu cukup untuk memberi makan dua orang selama dua hari.”

Lalu ketika itu juga Umar memanggil salah seorang pembantunya, “Muzahim, apakah engkau di sini makan kenyang?”

“Kadang-kadang malahan terlalu kenyang…” ujar Muzahim singkat.

“Apakah makanan yang kaumakan di sini lezat?”

Muzahim mendehem, “Jauh lebih lezat daripada makanan yang ada di rumah saya, Amirul Mukiminin.”

“Kalau begitu,” Umar berkata tegas, “kurangi biaya keluargaku dengan tiga setengah dirham sejak bulan ini. Karena belanja yang biasa kuberikan kepada istriku, bisa disimpan tiga setengah dirham tiap bulannya.”

Umar lantas memotong roti di meja, dan dimakannya sebagian guna menyenangkan hati istrinya. Selebihnya diberikan kepada beberapa anak yatim.

Hari berikutnya, seorang perempuan datang untuk mengadu kepada Umar. Ia ditemui istrinya, menunggu Umar yang masih berada di dalam. Tidak berapa lama kemudian Umar muncul seraya menenteng dulang berisi buah anggur. Umar menyuguhkannya kepada perempuan itu beberapa buah yang masih segar dan manis. Tiap kali ia menerimanya, perempuan itu selalu mengucap “alhamdulillah,” sehingga Umar sangat gembira. Sisanya yang hampir busuk dipisahkannya untuk dimakan sendiri bersama keluarganya. Setelah itu, barulah ia menanyakan kebutuhan maksud kedatangan perempuan yang berbudi itu.

Dengan hati-hati. Perempuan itu mengatakan terus-terang perihal lima orang anaknya yang tidak mempunyai pekerjaan. “Bantulah kami, wahai Amirul Mukminim.”

Seketika Umar berlinang-linang air matanya. Ia menyesali dirinya karena sebagai pemimpin ia tidak tahu bahwa di antara rakyatnya masih ada yang tidak punya pekerjaan. Sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.

“Coba sebutkan nama anak Ibu yang pertama,” ujar Umar kepada wanita itu.

Wanitu itu menurut. Disebutkannya nama sang anak. Umar menuliskannya pada selembar kertas disertai jumlah bantuan yang akan diberikan. Keputusan itu disambut dengan suka cita dan wanita itu berucap “alhamdulillah”. Ketika disebutkannya anak nomor dua, nomor tiga dan nomor empat, Umar juga melakukan hal yang sama yaitu menuliskan nama-nama mereka dan menuliskan sejumlah bantuan kepada mereka. Si ibu juga menjawab “alhamdulillah.”

Namun, ketika tiba giliran anak nomor lima, saking girangnya karena jumlah yang diberikan oleh Umar begitu besarnya, ibu itu buru-buru membungkukkan badannya seraya berkata, “Terima kasih, terima kasih, Tuan….”

Mendadak wajah Umar merah padam. Ia memberengut dan terlihat marah. Serentak ia menyobekkan kertas yang kelima yang tengah digenggamnya itu. Si perempuan jelas keheranan. Umar berkata tegas, “Sampai anak keempat, Ibu selalu mengucap alhamdulillah, suatu pernyataan syukur kepada Zat yang berhak menerimanya, karena Dialah pada dasarnya yang mempunyai kuasa memberi dan mengambil. Tetapi giliran anak kelima, Ibu malahan berterima kasih kepada saya. Apa sebabnya?”

Si ibu tampak pucat mukanya.  Dengan terbata-bata ia menyahut, “Tuan amat dermawan dan berhati mulia.”

“Maaf, ucapan itu tidak layak Ibu limpahkan kepada saya,” Umar menjawab sambil terus memandangi wajah si ibu yang masih pucat dan tertunduk. “Apalah daya saya ini sampai Ibu memuji-muji saya? Bukankah segala puji itu hanya milik Allah? Saya ini tidak berdaya dan tidak berbeda dengan Ibu. Bahkan di depan Allah, mungkin saya lebih hina karena hisab Ibu sangat ringan, sedangkan hisab saya berat sekali. Untuk itu saya hanya berkewajiban memberikan bantuan kepada empat anak Ibu saja. Sebab hanya untuk mereka Ibu telah berterima kasih kepada Zat yang layak dipuja-puja. Tetapi hendaknya bantuan saya itu dibagi-bagikan secara adil buat seluruh keluarga.” [sa/diambil dari buku Peri Hidup Nabi & Para Sahabat, Karya Saad Saefullah, penerbit Pustaka SPU]

Sumber: http://www.islampos.com/dari-mana-kaudapatkan-uangnya-281/

Kenapa Tak Kaugunakan Unta-Unta Itu?


Kenapa Tak Kaugunakan Unta-Unta Itu?

HARI itu Khalifah Umar bin Khattab sudah mempunyai jadwal untuk urusan negara ke suatu daerah. Begitu matahari mulai terlihat di ufuk timur, ia segera bergegas ke tempat salah seorang sahabat yang telah bersedia menyewakan unta untuk perjalanan tersebut. Dalam perjalanan itu sendiri Umar ditemani oleh seorang sahabat yang lain. Jadi, unta yang disewa itu jumlahnya ada dua.

Setelah sesampainya di kediaman sahabat yang akan menyewakan untanya itu, tidak berapa lama Umar bin Khattab pun segera menjemput sahabat lain yang akan menemani perjalanannya. Dan dimulailah perjalanan yang cukup panjang dan jauh itu.

Unta yang disewa itu ternyata kondisinya sangat baik. Tidak sebentar pun tampaknya unta-unta itu mengendurkan lajunya. Hingga tengah haripun terlewati. Umar bin Khattab dan sahabatnya terus saja bergegas untuk segera sampai ke daerah tujuan. Maklum matahari siang hari di Persia selalu menyengat panas seakan ingin membakar semua yang ada di bumi.

Karena udara yang sangat panas tersebut, Umar dan sahabatnya sengaja memilih jalanan setapak yang sekiranya diteduhi oleh pepohonan. Ini agar mereka sedikit merasakan keteduhan dan unta-unta itu tetap dalam kondisi yang segar.

Saking tercurahnya perhatian mereka dalam perjalanan itu, tanpa sadar selendang yang dikenakan oleh Umar di pundaknya tersangkut pada sebuah ranting pohon. Tetapi terus saja mereka melanjutkan perjalanan, karena baik Umar bin Khattab maupun sahabat yang menemaninya tidak menyadari akan hal itu.

Unta-unta terus berjalan dan berjalan. Melewati beberapa padang dan gurun yang panas. Angin sesekali berhembus dan menerpa mereka berdua. Jalan setapak itu sudah begitu jauhnya mereka lewati. Ketika itulah entah bagaimana tiba-tiba Umar bin Khattab merasakan sesuatu tiada dalam dirinya. Umar berusaha mengingat-ingat apa gerangan. Ketika ia sadar, ia segera mengetahui bahwa selendangnya sudah tidak melekat lagi di bahunya. Umar mengernyitkan dahinya berpikir keras, apa gerangan yang menyebabkan tiadanya selendang itu. Karena Umar ingat betul bahwa ketika ia memulai perjalanan, ia menyampirkan selendang.

“Ada apa gerangan, Amirul Mukminin?” sahabat yang menemani bertanya demi melihat Umar bin Khattab tampak seperti tengah berpikir.

Umar menatap sahabatnya sejenak sebelum menjawab, “Selendangku. Sekarang sudah tidak ada lagi bersamaku…”

Sahabat menyadarinya sekarang. “Ya, tetapi akupun sesungguhnya tidak tahu apa yang terjadi…”

Umar mengangguk-angguk kepalanya. “Dugaanku, kemungkinan selendang itu tersangkut di sebuah ranting pohon. Entah di mana…”

“Ya, sepertinya begitu….”

Umar bin Khattab turun dari pelana untanya. Ia berujar kepada sahabat, “Mohon, tinggal di sini sementara aku akan mencari selendang itu…”

Sebelum sahabat memberikan jawaban, Umar sudah menggegas langkahnya menyusuri jalanan setapak yang tadi telah mereka lalui. Sahabat itu terus menunggu dalam waktu yang sangat lama. Ketika Umar belum juga muncul, ia bermaksud untuk menyusulnya dengan unta-unta yang mereka kendarai.

Umar sendiri memang hanya berjalan kaki saja. Begitu jauh. Kembali melewati jalanan yang panas dan sengatan matahari yang membakar. Ketika ia benar-benar menemukan selendangnya itu di sebuah ranting pohon persis seperti yang ia perkirakan, alangkah leganya. Setelah mengambilnya dengan hati-hati agar ia tidak merobek selendang itu karena Umar tidak punya cukup banyak pakaian, segera Umar kembali ke tempat sahabat tadi disuruhnya menunggu. Dan jarak itu sudah begitu jauh. Hingga tak heran jika tubuhnya kemudian dipeluhi dengan keringat.

Sesampainya di sana, ia segera kembali menaikki untanya. Ia tersenyum kepada sahabat. “Ayo kita lanjutkan perjalanan kita. Maafkan telah membuatmu menunggu dahulu…”

Ketika Umar menolak tali kekang untanya, sahabat berujar. “Maafkan wahai Amirul Mukminin. Tadi kau tentu telah berjalan jauh sekali melihat kondisimu seperti itu dan aku harus menunggumu lama sekali…?”

Umar menyeka keringatnya dengan bajunya. “Ya, begitulah. Kutemukan selendang ini di sebuah ranting pohon…”

Sahabat terdiam. Ia memandangi Umar bin Khattab.

Diperhatikan sedemikian rupa, Umar bertanya, “Ada apa?”

“Kenapa engkau harus bersusah payah menyiksa diri menyusuri jalanan yang panjang dan jauh tadi untuk mengambil selendangmu, padahal engkau bisa menggunakan untamu…?”

Umar tersenyum. “Kita tahu, unta-unta ini bukan milik kita…”

“Ya. Tetapi kita sudah menyewanya untuk perjalanan ini…”

“Tepat! Kita hanya menyewanya untuk perjalanan yang sudah disepakati bahwa jarak yang ditempuh hanya dari Persia sampai ke tempat tujuan kita…”

“Maksudmu, Amirul Mukminin? Aku tidak mengerti…”

“Sahabatku,” Umar berkata lagi sambil tersenyum. “Engkau mengetahui pula kesepakatan yang kita buat dengan pemilik unta-unta ini hanya untuk jarak sekian saja. Tidak termasuk untuk kembali dalam mengambil selendangku yang tersangkut kain yang jaraknya cukup jauh barusan…”

Sahabat menggaruk-garuk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. “Tetapi sahabat kita yang mempunyai unta-unta itu tidak akan tahu…”

Umar semakin melebarkan senyumnya. “Sahabatku, ia memang mungkin tidak akan pernah tahu. Tetapi aku yakin seyakin-yakinnya, bahwa jika aku bertindak begitu, Allah melihat aku telah mencederai janjiku kepada sahabat kita itu… Allah selalu melihat…”

Sahabat kali ini mengerti sepenuhnya. Ia geleng-geleng kepala karena tidak pernah bisa berhenti mengagumi Umar bin Khattab yang selalu merasa tak pernah lepas dari pengawasan Allah swt. [sa/diambil dari buku "Peri Hidup Nabi & Para Sahabat" Karya : Saad Saefullah, Pustaka SPU]]

Sumber: http://www.islampos.com/kenapa-tak-kaugunakan-unta-unta-itu-284/

Aku Ingin Bertemu Umar Bin Khattab

Aku Ingin Bertemu Umar Bin Khattab

KESEDERHANAAN penampilan Umar bin Khattab sesungguhnya merupakan nasihat dan ajakan berdakwah kepada siapa saja yang melihatnya.

Sepeninggal Rasulullah, sebenarnya tidak sedikit sahabat yang cenderung memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti. Umar itu berani, gagah perkasa, jujur, dan adil. Bahkan pada waktu tengah dibicarakan siapa yang pantas menjadi pemimpin setelah Nabi wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq mendekati Umar dan mengulurkan tangannya seraya berkata, “Berikan tanganmu, hai sahabatku. Kami akan membaiatmu sebagai khalifah pengganti Rasulullah.”

Umar menyodorkan tangannya. Tetapi untuk menyanggah. “Tidak,” ujarnya. “Akulah yang akan mengambil tanganmu. Sebab engkaulah yang akan kami baiat.”

“Engkau lebih baik dan lebih kuat dariku, Umar,” kilah Abu Bakar.

“Kebaikan dan kekuatanku akan menyertaimu sebagai pemimpin kami,” jawab Umar.

Maka para sahabat pun serempak menyetujui pendapat Umar untuk menahbiskan Abu Bakar selaku khalifah yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan Rasulullah demi kepentingan umat banyak.

Dan ketika tengah sakit keras menjelang ajalnya, dengan meminta pertimbangan para sahabat yang lain, Abu Bakar menetapkan Umar supaya kelak menggantikan kedudukannya. Sebenarnya Umar ingin menolak mengingat tanggung jawab seorang pemimpin dianggapnya terlalu berat baginya. Apalagi dalam pandangan Umar, pemimpin suatu kaum, pada hakikatnya adalah pelayan kaum itu sendiri. Namun lantaran sudah dipilih secara bulat, maka ia tidak bisa lagi mengelak. Ia terpaksa menerima keputusan itu.

Satu tahun setelah kepemimpinannya, seorang pedagang Yahudi dari Mesir datang ke Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar. Namun ia sungguh belum tahu, yang mana Umar bin Khattab, kepala pemerintahan negeri Islam yang wilayahnya makin meluas itu. Kepada seseorang yang ia temui di perjalanan, ia bertanya, “Di manakah istana raja negeri ini?”

Orang itu menjawab, “Lepas dhuhur nanti, ia akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid. Dekat pohon kurma. Jika kau ingin menemuinya, pergilah ke tempat itu.”

Yahudi itu sesunguhnya membayangkan, alangkah indahnya istana Khalifah, dihiasi kebun kurma yang rindang, tempat berteduh merintang-rintang waktu. Maka tatkala tiba di muka masjid, ia kebingungan. Sebab di situ tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma, tetapi cuma sebatang saja. Dan di bawahnya, tampak seorang lelaki kekar dengan jubah yang sudah luntur warnanya tengah tidur-tidur ayam. Yahudi itu mendatanginya dan bertanya, “Maaf, saya mau berjumpa dengan Umar bin Khattab.”

Sambil bangkit dan tersenyum Umar menjawab, “Akulah Umar bin Khattab.”

Yahudi itu terbengong-bengong, “Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini.”

Umar menjelaskan, “Akulah Khalifah, pemimpin negeri ini.”

Yahudi itu makin kaget. Mulutnya terkatup rapat, tidak bisa bicara. Ia membandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba gemerlapan dan para raja Israel yang istananya juga tak kalah agung. Sungguh tidak masuk akal, kalau ada seorang pemimpin dari suatu negara yang begitu besar, tempat istirahatnya hanya di atas selembar tikar, di bawah pohon kurma di tengah langit yang terbuka.

“Di manakah istana Tuan?’ tanya sang Yahudi.

Umar menuding, “Di sudut jalan itu. Bangunan nomor tiga dari yang terakhir, kalau yang kaumaksudkan adalah kediamanku.”

“Maksud Tuan, yang kecil dan kusam itu?” SI Yahudi tambah keheranan.

“Ya. Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada dalam hati yang tenteram dengan ibadah kepada Allah swt,” sambut Umar sembari tetap tersenyum.

Yahudi itu kian tertunduk. Kedatangannya yang tadinya hendak melampiaskan kemarahan dan tuntutan-tuntutan, berubah menjadi kepasrahan dengan segenap jiwa raga. Sambil matanya berkaca-kaca ia berkata, “Tuan saksikanlah, sejak hari ini saya meyakini kebenaran agama Islam. Izinkah saya memeluk Islam sampai mati.”

Setelah mengikrarkan syahadat, orang itu akhirnya pergi dengan dadanya dipenuhi suka cita. Umar sendiri terus memperhatikannya dengan baik-baik. Ia memandangi pohon kurma di hadapannya. Ia juga memandangi pakaiannya sendiri—tidak baru, namun bersih dan masih sangat layak dikenakan. Baginya, sebagai seorang pemimpin penampilannya harus benar-benar mencerminkan kesederhanaan. Baginya, apalah artinya sebuah kekuasaan jika hanya harus menyakiti umatnya yang banyak? [sa/diambil dari buku "Peri Hidup Nabi & Para Sahabat" Karya : Saad Saefullah, Pustaka SPU]
Sumber: http://www.islampos.com/aku-ingin-bertemu-umar-bin-khattab-294/

Kamis, 12 September 2013

Biarkan Aku Hidup Tanpa Jabatan

Biarkan Aku Hidup Tanpa Jabatan
 

LELAKI berperawakan tinggi itu wajahnya memancarkan semburat cahaya, begitu kemenangan datang. Ubullah, salah satu wilayah jajahan yang dikuasai rezim Persi, dapat ditaklukkan pasukan Muslim.”Allahu akbar, shadaqa wa’dah (Allah Mahabesar, yang menepati janji-Nya),” seru dia dihadapan sisa-sisa pasukan Muslim yang ia pimpin.

Utbah bin Ghazwan, lelaki tersebut, tentu saja tidak segera meninggalkan daerah itu. Ia langsung menunjuk orang-orang yang tepat untuk membangun dan mengembangkan daerah itu menuju kemandirian. Masjid menjadi bangunan pertama dan utama yang ia bangun.

Setelah masjid beserta infrastruktur pemerintahan di kota yang disebut Basrah itu terbentuk, Utbah menulis surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Isinya, ia meminta pada Khalifah agar dirinya kembali ke kota Madinah untuk meneruskan tugas-tugas jihad bersama sang Khalifah Umar.

Akan tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Amirul Mukminin. Umar memerintahkan Utbah tetap tinggal dan memimpin penduduk Basrah agar tercipta masyarakat yang hidup di bawah naungan Al-Quran dan As-Sunnah.

Mendengar argumen Amirul Mukminin yang kuat, Utbah memutuskan untuk mengikuti perintahnya, seraya berdoa memohon kekuatan menghadapi persoalan pada Rabbnya. Selama beberapa kurun dia terjun langsung bersama pasukannya membina, mendidik, dan mendakwahkan syariat dan nilai-nilai Islam kaffah.

Salah satu taushiah yang kerap dituturkan Utbah pada warga Basrah adalah soal pentingnya hidup zuhud (sederhana). Karena ia bicara dengan keteladanan maka masyarakat dengan cepat menerima dan mempraktikannya. Ia dikenal luas sebagai orang yang tidak hanya pandai bicara tapi juga istiqomah dalam perbuatannya.

Sekelompok orang yang semula hidup berlimpah harta tanpa memedulikan orang-orang di sekitar lingkunganya yang serba kekurangan mulai sadar dan insyaf. Sebagian lain masih membandel, bahkan selalu tersinggung dengan ajakan Utbah untuk zuhud.

Menghadapi kelompok orang yang belum menerima gerakan hidup zuhud itu, Utbah dengan tegas mengingatkan manfaatnya serta contoh dari kehidupan Rasulullah SAW. “Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai salah seorang kelompok tujuh, yang tak punya makanan kecuali daun-daun kayu, sehingga bagian mulut kami pecah-pecah dan luka-luka. Di suatu hari aku beroleh rizki sehelai baju burdah, lalu kubelah dua, yang sebelah kuberikan kepada Sa’ad bin Malik dan sebelah lagi kupakai untuk diriku…!

Bukannya kelompok orang kaya itu menerima nasihatnya, ada segelintir dari mereka yang berupaya keras mempengaruhi Utbah. Mereka membanding-bandingkan soal kewajaran hidup sebagai seorang penguasa yang memiliki “kekuatan” di tangannya. Mendengar kisah-kisah seperti itu, Utbah hanya dapat bersabar dan menahan amarah, seraya berkata, “Aku berlindung diri kepada Allah dari sanjungan orang terhadap diriku karena kemewahan dunia, tetapi kecil pada sisi Allah!”

Begitulah, setiap kali mendengar perbincangan tentang dunia dan kemewahan, Utbah tampak takut. Ia takut terhadap dunia yang diyakininya dapat merusak agamanya dan umat secara luas.

Entahlah, apa yang membuat kelompok pembesar di Basrah berhati keras. Nasihat yang berulang kali dilontarkan tak begitu digubris. Suatu hari, karena mereka tidak menerima masukan Utbah sebagai pemimpin mereka, Utbah pun berkeras, “Besok lusa kalian akan lihat pimpinan pemerintahan dipegang orang lain menggantikan aku.”

Beberapa saat setelah peristiwa itu, datanglah musim haji. Utbah tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengadukan masalah yang dihadapinya pada sang Khaliq. Ia mendelegasikan pekerjaan sehari-hari pemerintahan pada salah seorang karibnya.

Di Tanah Suci, Utbah menyempurnakan ibadah haji dengan penuh harap dan takut. Air matanya ditumpahkan demi kecintaan pada Rabbnya. Ia pun tak menyia-nyiakan waktu untuk menyampaikan maksud dan keinginannya pada Amirul Mukminin. Ia menemuinya di Madinah.

Setelah diterima Umar, Utbah mengungkapkan isi hatinya bahwa  ia sangat ingin mengundurkan diri dari arena kekuasaan. Ia ingin menjadi rakyat biasa yang senantiasa beribadah dan siap berjihad jika datang perintah.

Keinginannya kali ini pun tak dikabulkan Khalifah Umar. Ia, sebagaimana biasa diungkapkan dalam menghadapi kasus demikian, berkata pada Utbah, “Apakah kalian hendak menaruh amanat di atas pundakku? Kemudian kalian tinggalkan aku memikulnya seorang diri? Tidak! Demi Allah tidak kuizinkan selama-lamanya…”

Pernyataan itu, sekali lagi, membuat Utbah tak dapat berargumen lagi. Ia pun bersiap-siap kembali ke Basrah, wilayah binaannya. Sebelum naik kendaraan ia menghela nafas sesaat. Badannya dihadapkan ke arah kiblat.

Sambil mengangkat kedua telapak tangannya ke langit ia memohon supaya tidak dikembalikan ke Basrah dan tidak pula memimpin di sana. Di benaknya masih tertanam perilaku sekelompok pembesar yang tak bisa menerima ajakan hidup zuhud, wara’, dan menegakkan keadilan. Itu mengakibatkan penduduk lain terpengaruh dengan kelompok tersebut.

Dengan sisa-sisa tenaganya ia berangkat ke Basrah untuk memenuhi tugas Khalifah. Takdir Allah menentukan seorang Utbah harus wafat di tengah perjalanan antara Madinah dan Basrah. Kesyahidannya membawa jalan baginya tetap istiqamah pada hidup zuhud. Tanpa gelar dan jabatan. [Misroji/saksi/islampos]
Sumber: http://www.islampos.com/biarkan-aku-hidup-tanpa-jabatan-2-58082/

Satu Peristiwa di Hudaibiyah

KETIKA terjadi Perjanjian gencatan senjata antara kaum muslimin dan pihak Makkah, terjadi krisis di kalangan kaum muslimin. Sebagian dari mereka dilanda kebingungan, termasuk Umar bin Khattab. Lalu, buru-buru Umar bin Khattab mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata, “Bukankah Anda Rasulullah?” Setelah diiyakan oleh Rasul, kemudian Umar mendatangi sahabat terdekat Rasul, Abu Bakar ash-siddiq, kemudian ia bertanya,

“Bukankah Muhammad itu Rasulullah?”

Tanpa banyak basa-basi Abu Bakar mengiyakan. Ia mengangguk.

“Bukankah kita pihak yang berada dalam kebenaran dan musuh berada di pihak yang salah?”

Abu Bakar kembali mengangguk.

“Lantas mengapa kita begitu lemah mempertahankan kehormatan ajaran Allah?”

Abu Bakar memahami apa yang Umar resahkan dan menjawab,

“Beliau adalah Rasulullah dan beliau tidak akan menentang-Nya. Allah akan memberikan kemenangan.”

“Tetapi bukankah Rasulullah mengatakan bahwa kita akan pergi ke Rumah Suci dan bertawaf di sana?”

Abu Bakar sedikit menahan pandangannya ke wajah Umar. “Begitulah,” kata Abu Bakar, “tetapi bukankah Rasulullah tidak mengatakan kita akan pergi tahun ini?”

Umar pun paham yang ada di hadapannya sekarang ini adalah seorang yang mendapat gelar Ash-Shiddiq. Dia senantiasa membenarkan apa yang Rasulullah katakan. Bahkan keimanan setengah penduduk kaum muslimin jika ditimbang tak akan sanggup menyamai derajat keimanan seorang Abu Bakar.

Perasaan campur aduk tak karuan menyeruak di dalam dada Umar dan sebagian besar kaum muslimin lainnya. Antara setengah percaya bahwa kini perjuangan meninggikan agama Allah yang telah dimulai dua puluhan tahunan lalu itu seperti yang dicampakkan. Kalah? Apakah “kebenaran” berhasil dikalahkan? Mungkin ini yang terlintas di sebagian kepala kaum muslimin saat itu.

Umar menangkap maksud yang tertulis dalam perjanjian ini adalah suatu kekalahan telak bagi kaum muslimin. Dan tidak hanya Umar, beberapa sahabat lain pun sama halnya berpendapat seperti itu. Bahkan Ali yang menjadi juru tulis perjanjian itu pun merasakannya. Betapa dirinya merasa terhina ketika menghapus tulisan “Bismillahirrahmannirahim” menjadi “Bismika Allahumma” dan “Muhammad Rasulullah” menjadi “Muhammad bin Abdullah”.

Perjanjian tersebut kemudian ditandangani secara resmi. Rasulullah memanggil beberapa sahabat di antaranya: Abu Bakar, Umar, Ali, Abdurrahman bin Auf, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin Suhail. Mereka semua membubuhkan nama dan tanda tangan pada dokumen perjanjian itu. Semua mengikuti perintah Rasulullah dalam diam sekalipun terjadi gejolak di dalam dada. Tidak tahu apa yang akan menimpa kaum muslimin selanjutnya setelah perjanjian ini ditanda tangani.

Tak berapa lama kemudian setelah semua kaum muslimin menuruti perintah Rasulullah untuk menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut – sekalipun semula orang-orang tidak langsung menanggapinya, dan baru melakukannya ketika Rasulullah mencontohkannya di depan tendanya sendiri – turunlah ayat yang menggembirakan kaum muslimin. Inna Fatahna laka Fathammubina.

“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Q.S. 48:1)

Hati kaum muslimin menjadi tenang. Seolah seperti ada sebuah harapan baru ketika ayat itu dibacakan. Ditambah lagi janji Allah yang akan membuktikan ru’yat (mimpi) Rasul, yakni memasuki Masjidilharam dalam keadaan aman. Betul-betul melegakan. Seperti nyala pelita yang berpendar dalam kegelapan. Dan benar saja, selanjutnya mimpi itu menjadi nyata. Kaum muslimin kembali memasuki kota Makkah dalam sebuah peristiwa yang dinilai sebagai sebuah pertempuran tanpa pertumpahan darah oleh khalayak ramai. Fathu Makkah.

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (Q.S. 48:27). [iman adipurnama/islampos]

sumber: http://www.islampos.com/satu-peristiwa-di-hudaibiyah-57163/

Semua Untuk Kalian

TUJUH  purnama sudah lewat, masjid yang dibangun Rasulullah dan sahabat-sahabatnya berdiri. Dengan berdirinya masjid tersebut, Yastrib sesungguhnya berubah menjadi kota yang begitu ramai dan pesat perkembangannya. Semua orang Yatsrib sepertinya setuju bahwa belum pernah kota mengalami kemajuan dan gairah sedemikian rupa sebelum kedatangan Rasulullah tersebut.

Rumah yang paling dekat dengan masjid adalah rumah Abu Ayyub. Jaraknya hanya beberapa meter saja, dan hal ini tak pelak membuat Abu Ayyub menjadi tetangga Rasulullah satu-satunya. Sebenarnya sebelum tinggal di masjid, Rasulullah sudah cukup lama tinggal di rumah Abu Ayyub. Abu Ayyub adalah orang yang mendapat kehormatan dan keberuntungan. Maklum, ketika pertama kali datang dari Mekkah, Rasulullah membiarkan untanya memilih, menjatuhkan pilihannya di halaman rumah Abu Ayyub. Perlakuan Abu Ayyub kepada Rasulullah selama tinggal di rumahnya pun tidak main-main.

Untuk ukuran Yastrib, Abu Ayyub hidup lebih dari cukup. Ia hanya sekian dari sedikit orang Yastrib yang bisa memiliki rumah yang berlantai dua, halaman rumah yang besar, kebun kurma yang luas, dan ratusan ternak yang ia gembalakan.

Pada suatu hari, di tengah hari yang amat panas, Abu Bakar pergi ke masjid. Di tempat itu, ditemuinya Umar bin Khattab. Kedua sahabat itu saling berpandangan.

“Apakah engkau merasakan apa yang aku rasakan?” tanya Umar.

Abu Bakar tidak menjawab seketika. Ia masih memandangi sahabatnya itu. “Aku lapar…”

Umar menjawab.  “Demi Allah, aku juga lapar…”

Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan. Kedua orang itu sudah tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan hari ini. Meminta kepada saudara-saudaranya yang lain di Yastrib, mereka sudah banyak merepotkan penduduk Yastrib.

Tetapi perut mereka tidak bisa diajak berdamai lagi. Perut mereka sudah meronta-ronta. Lapar terasa menggerogoti mereka. Ketika itu datang Rasulullah.

“Sedang apa kalian sesiang ini berkumpul?” tanya Rasulullah.

Kedua sahabat itu malu-malu menjawabnya, tetapi tak urung segera mengutarakan apa yang mereka rasa, “kami mencari makanan karena lapar, Rasulullah…”

Rasulullah tertegun. Ia memandangi kedua sahabatnya itu, “Demi Allah, aku juga lapar. Dan aku juga tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan.”

Sekarang ketiganya tertegun. Bagi Abu Bakar dan Umar, perkataan Rasulullah itu sudah cukup mengatakan bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dari Rasulullah kali ini. Mereka telah hafal benar, Rasulullah tidak akan menyembunyikan sesuatupun untuk mereka. Semuanya biasanya selalu dibagi.

Rasulullah berpikir sejenak, “Mungkin kita bisa mendatangi Abu Ayyub.”

Mereka bertiga berjalan bersama-sama ke rumah Abu Ayyub. Biasanya Abu Ayyub memang menyediakan makanan untuk Rasulullah setiap hari—walau belum tentu Rasulullah akan mendatanginya. Sebenarnya perasaan Rasulullah pun sangat tidak enak mendatangi Abu Ayyub dengan maksud seperti itu.

Sesampainya di rumah Abu Ayyub, ternyata istrinyalah yang menemui mereka. Ketiga orang itu hanya terdiam, karena kepada istri Abu Ayyub, terlalu riskan rasanya untuk mengutarakan maksud kadatangan mereka itu.

“Ya Rasulullah,” ujar istri Abu Ayyub dari balik tirai, “suamiku ada di kebun kurma. Dia sedang mengerjakan sesuatu di sana.”
Ketika itu, dari arah luar datanglah orang yang dicari oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya itu, “Selamat datang, ya Nabi Allah dan sahabat-sahabatku.”

Mereka berpelukan dan kemudian bercakap-cakap. Sepanjang waktu itu, tidak sedikitpun kemudian Rasulullah, Umar, atau Abu Bakar mengutarakan maksud kedatangan mereka. Tidak enak rasanya jika begitu saja meminta sesuatu kepada Abu Ayyub. Dalam hati, Abu Ayyub bertanya-tanya, “tidak biasanya Rasulullah datang pada waktu separti sekarang. Membawa sahabat-sahabatnya pula.”

Akhirnya  ditinggalkanlah ketiga orang itu. Abu Ayyub bergegas menuju kebun kurmanya. Dipotongnya setandan kurma. Dalam setandan kurma itu ada yang sudah kering, yang basah, dan yang setengah masak. Sengaja dipilihnya tandan itu agar nanti Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mempunyai pilihan yang banyak untuk mencicipi kurma-kurmanya itu.

Belum selesai pekerjaannya itu, Abu Ayyub segera pergi ke belakang rumahnya. Ia segera menyembelih salah satu kambingnya yang paling gemuk. Dalam hati Abu Ayyub, khawatir bahwa pekerjaannya terlalu lama, Sedangkan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tentu sudah sangat menahan lapar.  Abu Ayyub yakin benar, bahwa ketiga orang itu memang tengah mencari sesuap nasi. Sebagai tetangga yang paling dekat dengan ketiganya, ia sudah cukup hafal dalam membaca hal itu.

Abu Ayyub membagi dua sembelihannya. Separuh digulainya dan separuh lagi di panggangnya. Abu Ayyub membuat roti. Setelah masak, maka dihidangkannya ke hadapan Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tertegun.

“Ini semuanya untuk kalian…,” ujar Abu Ayyub.

Rasulullah tertegun. Hari sudah sangat siang. Akhirnya ia dan kedua sahabatnya segera menyantap hidangan itu. Abu Ayyub sendiri mengantarkan sepotong gulai kambing ke rumah Rasulullah. Tentunya keluarga Rasulullah pun tengah menderita kelaparan seperti itu.

Dalam hati Abu Ayyub, ia menegaskan berkali-kali, bahwa kejadian seperti ini tak akan terulang lagi; membiarkan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya kelaparan. Apalah artinya hartanya yang banyak itu jika ia tidak tahu akan kebutuhan saudara-saudaranya—apalagi ini Rasulullah?

Ketika Abu Ayyub kembali ke rumahnya, Rasulullah dan kedua sahabatnya telah selesai makan. Tetapi betapa gundahnya ketika Abu Ayyub melihat ada air mata mengalir di wajah Rasulullah, “Kenapa ya Rasulullah?”

Rasulullah berkata, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan setengah kering, gulai dan panggang kambing. Demi Allah yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya beginilah nikmat yang kalian minta di hari kiamat nanti…”

Baik Abu Bakar, Umar maupun Abu Ayyub tertegun. Mereka menyadari bahwa tanpa mendengar perkataan Rasulullah selanjutnyapun mereka mengetahui, bahwa betapa indahnya sebuah pemberian kepada saudara sendiri. Betapa indahnya ketika penderitaan kita dimengerti dan dibantu oleh saudara sendiri. Disitulah nilai sebuah ukhuwah tampak. Dengan sebuah keikhlasan. Seperti yang dilakukan oleh Abu Ayyub. [diambil dari Peri Hidup Rasul & Para Sahabat]
sumber: http://www.islampos.com/semua-untuk-kalian-56902/

Jumat, 06 September 2013

Demi Hari Esok


Demi Hari Esok

WALAUPUN tanah Arab adalah tanah yang sering kali kering, tetapi para penduduknya banyak juga yang berkebun. Salah satunya adalah Ummu Fasyar al-Anshariah. Ummu Fasyar al-Anshariah menanam pohon kurma di kebunnya. Tanah yang dipunyainya tidak terlalu luas. Tapi, jika sedang panen kurma, ia biasanya akan mendapatkan hasil panen yang tidak sedikit.

Setiap hari, Ummu Fasyar al-Anshariah menyiram kebun kurmanya. Itu memang karena ia tinggal sendiri. Umurnya pun sudah berangkat senja. Tetapi, wanita itu tetap bersemangat, segar mengerjakan pekerjaan sehari-harinya.

Suatu hari, Rasulullah mendatangi perkebunan Ummu Fasyar al-Anshariah. Alangkah takjubnya beliau ketika melihat hasil kebun yang dikerjakan oleh Ummu Fasyar al-Anshariah. Begitu bagus dan terawatnya kebun itu.

“Assalamu`alaikum, ya Ummu Fasyar,” sapa Rasulullah.

Wanita yang tidak muda itu mendongak. Ketika dilihatnya siapa yang menyapa, betapa gembiranya Fasyar. Hari ini Rasulullah mengunjunginya. Tentunya ada keberkahan yang hadir di tempat ini, begitu pikir Ummu Fasyar al-Anshariah. Maka, ia pun serta merta menjawab, “Wa`alaikumussalam. Senang sekali melihat engkau dapat berkunjung kemari, ya Rasulullah. Adakah suatu hal penting yang ingin kausampaikan kepadaku?”

Rasulullah tersenyum, “Aku hanya ignin menengokmu.”

Ummu Fasyar al-Anshariah semakin merona wajahnya karena gembira. Ia tidak menyangka bahwa Rasulullah masih menyempatkan diri berkunjung ke kediamannya. Padahal, Ummu Fasyar al-Anshariah tahu bahwa pekerjaan Rasulullah sangat banyak. Ia terharu begitu dalam.

“Ya Ummu Fasyar, bagaimana kebunmu sekarang ini?”

“Alhamdulillah, semuanya terurus dengan baik, ya Rasulullah,” jawab Ummu Fasyar al-Anshariah.

“Engkau yang mengurusnya sendirian?” tanya Rasulullah lagi.

“Betul.”

“Dan engkau pula yang mengairinya setiap hari?”

“Aku senang mengerjakannya, ya Rasulullah.”

Rasulullah  mengangguk-anggukkan kepalanya. Kebun itu tidak terlalu luas. Tetapi untuk seorang perempuan, tentunya memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.

“Jika sudah berbuah, biasanya apa yang kaulakukan pada hasil panenmu?” Rasulullah kemudian bertanya lagi setelah memandangi kebun.

Ummu Fasyar al-Anshariah tersenyum. “Ya Rasulullah, aku mempersilahkannya bagi mereka yang ingin mengambilnya.”

“Maksudmu?”

“Jika mereka menginginkan dan membutuhkannya, mereka bisa mengambilnya dari sini kapanpun mereka mau. Berapa banyakpun mereka butuhkan….”

Rasulullah semakin kagum kepada wanita itu. Ummu Fasyar al-Anshariah sendiri tampak senang bahwa Rasulullah ternyata memperhatikan kebun dan apa yang dikrjakannya kepada kebunnya itu.

“Terus, apa yang  kauminta sebagai ganti mereka mengambil kurmamu?”

“Aku tidak meminta apa-apa dari mereka, ya Rasulullah. Aku lakukan ini hanya karena aku ingin bisa mengerjakan sesuatu yang berguna bagi orang lain…”

Mendengar itu, Rasulullah berkata, “Seorang Muslim yang menanam tanaman, muda atau tua umurnya, lalu buahnya atau daunnya dimakan oleh manusia, hewan, burung, atau binatang buas, semuanya adalah sedekah darinya.”

Rasulullah melanjutkan, “Meskipun kiamat sudah mulai terjadi, sedang di tanganmu ada sebatang bibit kurma yang masih sempat kautanam, maka tanamkanlah terus. Pastilah kau akan mendapatkan pahalanya.”

Ummu Fasyar al-Anshariah semakin gembira mendengar semua itu. Ia hanya berusaha tawakal atau pasrah diri kepada Allah swt  yang membuatnya semangat melakukan semua itu adalah jiwa tanpa pamrih, demi kepentingan umum.

Peristiwa itu mungkin tidak pernah terlupa oleh Ummu Fasyar al-Anshariah sepanjang hidupnya. Ia menanam kurma, Rasulullah mengunjunginya dan memberitahukannya sesuatu yang menggembirakan. Semuanya, demi tabungan Ummu Fasyar di hari esok. [sa/diambil dari buku "Peri Hidup Nabi & Para Sahabat" Karya : Saad Saefullah, Pustaka SPU]
http://www.islampos.com/demi-hari-esok-292/

sumber image:

parapejuangislam.blogspot.com

Muhammad, Sang Pengusaha Sukses


Muhammad, Sang Pengusaha Sukses

TRADISI ritual peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan Maulid Nabi sudah menjadi budaya keagamaan di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan Maulid Nabi sudah dijadikan sebagai hari besar di negeri ini, yang berarti adalah hari libur nasional.

Bulan ini, tepatnya 15 Februari 2011, adalah tepat 12 Rabiul Awwal 1432 H pada penanggalan Islam (Hijriah) adalah hari kelahiran seorang Manusia Agung bernama Muhammad pembawa agama perdamaian untuk seluruh umat manusia.

Kelahiran Nabi sebenarnya tidak termasuk hari besar jika dilihat dari pandangan al-Qur’an dan al-Hadist. Namun, biasanya, peringatan Maulid Nabi dimaksudkan sebagai momentum untuk mempelajari dan merenungi kembali perjalanan hidup beliau sebagai seorang Rasul sekaligus sebagai manusia biasa yang sukses dalam berbagai sisi kehidupan.

Rasulullah adalah potret pribadi sukses dalam menjalani kehidupan yang harus menjadi panutan bagi umat manusia.

Sirah Nabi adalah living model yang diinginkan Allah untuk diimplementasikan oleh tiap pribadi muslim sejati. Jadi perayaan Maulid Nabi bukan sekedar kegembiraan atas kehadiran beliau dalam sejarah tapi yang lebih penting dari semua itu adalah bagaimana memahami perjalanan hidup beliau secara utuh, sempurna dan menyeluruh sehingga menjadi panutan dalam membangun peradaban umat manusia.

Dengan momentum Maulid Nabi ini, penulis ingin menghadirkan satu dimensi kehidupan Rasulullah yang jarang dibahas oleh para da’i dan muballig yaitu kesuksesan Muhammad sebagai seorang pedagang. Muhammad bukan hanya sukses dalam berdakwah, memimpin negara dan rumah tangga tapi juga sukses dalam membangun usaha. Muhammad bukan hanya disegani sebagai pemuka agama dan pemimpin negara tapi juga disegani sebagai saorang saudagar yang memiliki jangkauan jaringan bisnis dan pangsa pasar yang luas serta pelanggang yang banyak.

Muhammad sebagai pemimpin bisnis dan entrepreunership dijelaskan secara gamblang di dalam buku Dr. Syafi’i Antonio dengan judul “Muhammad SAW Super Leader Super Manager”. Buku tersebut menguraikan bahwa masa berbisnis Muhammad yang mulai dengan intership (magang), business manager, investment manager, business owner dan berakhir sebagai investor relative lebih lama (25 tahun) dibandingkan dengan masa kenabiannya (23 tahun). Nabi Muhammad bukan hanya figur yang mendakwakan pentingnya etika dalam berbisnis tapi juga terjun langsung dalam aktifitas bisnis.

Sang manager
Sejak kecil tepatnya saat berumur 12 tahun, Muhammad sudah diperkenalkan tentang bisnis oleh pamannya, Abu Thalib, dengan cara diikutsertakan dalam perjalanan bisnis ke Suriah.

Pengalaman perdagangan (magang) yang diperoleh Muhammad dari pamannya selama beberapa tahun manjadi modal dasar baginya disaat memutuskan untuk menjadi pengusaha muda di Mekah. Beliau merintis usahanya dengan berdagang kecil-kecilan di sekitar Ka’bah.

Dengan modal pengalaman yang ada disertai kejujuran dalam menjalankan usaha bisnisnya, nama Muhammad mulai dikenal dikalangan pelaku bisnis (investor) di Mekah.

Dalam kurun waktu yang tidak cukup lama, Muhammad mulai menampakkan kelihaiannya dalam menjalankan usaha perdagangan bahkan beberapa investor Mekah tertarik untuk mempercayakan modalnya untuk dikelolah oleh Muhammad dengan prinsip bagi hasil (musyarakah-mudharabah) maupun penggajian. Pada tahapan ini Muhammad telah beralih dari business manager (mengelola usahanya sendiri) menjadi investment manager (mengelola modal investor).

Dengan modal yang sudah relatif besar, Muhammad memiliki kesempatan untuk ekspansi bisnis untuk menjangkau pusat perdagangan yang ada di Jazirah Arab. Kejujuran beliau dalam berbisnis sehingga dikenal olah para pelaku bisnis sebagai Al-Amin menjadi daya tarik bagi kalangan investor besar untuk menginvestasikan modalnya kepada Muhammad, salah satu di antaranya adalah Khadijah yang di kemudian hari menjadi Istri pertama beliau.

Di usia 25 tahun, usia yang masih rekatif mudah, Muhammad menikah dengan Khadijah, seorang pengusaha sukses Mekah. Secara otomatis Muhammad menjadi pemilik sekaligus pengelola dari kekayaan Khadijah. Penggabungan dua kekayaan melalui pernikahan tersebut tentunya semakin menambah usaha perdagangan mereka baik secara modal maupun penguasaan pangsa pasar. Pada tahapan ini Muhammad sudah menjadi business owner.

Setelah Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau semakin gencar mengembangkan bisnisnya melalui dengan ekspedisi bisnis secara rutin di pusat-pusat perdagangan yang ada di jazirah Arab, beliau intens mengunjungi pasar-pasar regional maupun Internasional demi mempertahankan pelanggan dan mitra bisnisnya. Jaringan perdagangan beliau telah mencapai Yaman, Suriah, Busara, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Arab lainnya.

Saat menjelang masa kenabian (berumur 38 tahun) di mana waktunya banyak dihabiskan untuk merenung beliau telah sukses menjadi pedagang regional dimana wilayah perdagangannya meliputi Yaman, Suriah, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Jazirah Arab lainnya. Pada tahapan in beliau telah memasuki fase yang menurut Robert T Kiyosaki disebut financial freedom.

Kehebatan berbisnis Muhammad bisa dilihat dalam sebuah riwayat yang menceritakan bahwa beliau pernah menerima utusan dari Bahrain, Muhammad menanyakan kepada Al-Ashajj berbagai hal dan orang-orang yang terkemuka serta kota-kota yang terkemuka di Bahrain. Pemimpin kabilah tersebut sangat terkejut atas luasnya pengetahuan geografis serta sentral-sentral komersial Muhammad. Kemudian al-Ashajj berkata “sungguh Anda lebih mengetahu tentang negeri saya daripada saya sendiri dan anda pula lebih banyak mengetahui pusat-pusat bisnis kota saya dibanding apa yang saya ketahu. Muhammad menjawab “saya telah diberi kesempatan untuk menjelajahi negeri anda dan saya telah melakukannya dengan baik.” (Syafi’i Antonio, 2007).

Demikianlah perjalanan sukses bisnis Muhammad sebelum resmi menjadi seorang Nabi yang jarang disampaikan kepada generasi-generasi muda di saat perayaan Maulid Nabi. Pemahaman yang utuh tentang biography kehidupan beliau akan menghindarkan terjadinya pemahaman yang sempit tentang diri Rasulullah. Banyak orang yang mengaggap Rasulullah sebagai orang yang miskin padahal justru sebaliknya beliau adalah sosok pebisnis yang sukses.

Melalui momentum Maulid Nabi ini kiranya perlu mengangkat tema kesuksesan Muhammad sebagai pelaku bisnis demi memacu munculnya pengusaha-pengusaha muda di kalangan Muslim. Sebenarnya negeri ini memiliki tokoh-tokoh agama sekaligus pengusaha sukses, sebut saja misalnya, tokoh nasional K.H. Ahmad Dahlan dengan usaha batiknya. Bahkan dalam sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh agama yang terhimpun dalam Syarikat Dagang Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui jumlah wirausahawan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia. Dari total penduduk Indonesia, 231, 83 juta jiwa hanya sekitar 2 persen saja yang berwirausaha atau sebesar 4, 6 juta. Tentunya jumlah ini sangat kecil sekali jika negeri ini menginginkan penduduknya untuk semakin kuat dan mandiri secara ekonomi.

Negara-negara maju relative memiliki persentasi wirausahawan yang relatif tinggi dari jumlah penduduknya. Persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai 7 persen, China dan Jepang 10 persen dari total jumlah penduduk mereka. Sedangkan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 11, 5-12 persen.

Melalui perayaan Maulid Nabi ini, kita perlu mengkampanyeka pentingnya berwirausaha seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan umat yaitu kemiskinan dan pengangguran. [Ali Rama, Peneliti ISEFID (Islamic Economic Forum for Indonesia Development)]
Sumber: http://www.hidayatullah.com/read/15384/16/02/2011/--muhammad%2C-sang-pengusaha-sukses-.html
sumber image:

www.cssforum.com.pk

Rabu, 04 September 2013

Ya Ali, Kembalikan Barang-Barang Ini…

Ya Ali, Kembalikan Barang-Barang Ini…

HARI ini genap sudah 70 orang pengikut Rasulullah yang berada di kota Mekkah. Rasulullah merasa senang. Ini berarti Allah telah membuatkan baginya “benteng pertahanan” dari suatu kaum yang memiliki keahlian dalam peperangan, persenjataan, dan pembelaan. Sesungguhnya Mekkah adalah medan dakwah yang berat.

Tetapi penyiksaan dan permusuhan terhadap kaum muslimin pun makin gencar dan berat. Mereka menerima cacian dan penyiksaan yang sebelumnya tidak pernah mereka alami. Para sahabat mengadukannya kepada Rasulullah. Rasulullah diam sejenak.

“Sesungguhnya,” Rasulullah berkata, “aku pun telah diberitahu bahwa tempat kalian adalah Yastrib. Barang siapa yang ingin keluar, hendaklah menuju Yastrib.”

Para sahabat pun bersiap-siap. Mereka segera mengemas semua keperluan perjalanan, kemudian secara sembunyi-sembunyi berangkat ke Yastrib. Tidak seorang pun dari sahabat Rasulullah yang berani berhijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Khattab. Umar membawa pedang, busur, panah dan tongkat di tangannya menuju Ka`bah. Kemudian sambil disaksikan oleh tokoh-tokoh Quraisy, Umar melakukan thawaf tujuh kali dengan tenang. Setelah itu Umar datang ke Maqom mengerjakan shalat. Usai shalat, Umar bersuara lantang, “Barang siapa ibunya ingin kehilangan anaknya, atau istrinya ingin menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, aku tunggu di balik lembah ini…”

Perkataan Umar ini disambut dengan sedikit keheranan oleh para kafir Quraisy. Mereka saling berpandangan. Kini jelaslah sudah berita itu. Selama ini para kafir Quraisy hanya menduga-duga saja bahwa sebagian pengikut Muhammad telah meninggalkan Mekkah. Umar sendiri kemudian melenggang meninggalkan Mekkah dengan diikuti oleh beberapa orang yang lemah.

Setelah keberangkatan Umar, berangsur-angsur kaum Muslimin melakukan hijrah ke Yatsrib sehingga tidak ada yang tertinggal di Mekkah kecuali Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Juga orang-orang yang ditahan, sakit atau tidak mampu keluar.

Apa gerangan yang membuat Rasulullah terus bertahan?

Abu Bakar gundah bukan buatan. Bukan apa-apa, sudah banyak kejadian mengerikan yang diterima Rasulullah dan dirinya serta Ali. Perlakuan kaum kafir itu sudah benar-benar di luar batas. Abu Bakar tidak tahu apakah Rasulullah tetap ingin tinggal di Mekkah atau bagaimana. Maka ia memberanikan diri bertanya kepada sahabatnya itu. “Ya Rasulullah, apakah engkau juga menginginkan hijrah sebagaimana kaum Muslimin yang telah terlebih dahulu melakukannya?”

Rasulullah mafhum dengan pertanyaan sahabatnya itu. Sebagai manusia biasa, Abu Bakar juga mempunyai kegelisahan-kegelisahan. Rasulullah menjawab, “Ya, aku juga menginginkannya. Tapi hendaknya jangan terburu-buru. Aku ingin memperoleh izin terlebih dahulu dari Allah…”

Abu Bakar bersabar. Ia menangguhkan keberangkatannya untuk menemani Rasulullah. Ia lalu membeli dua ekor unta dan dipeliharanya selama empat bulan. Dalam kurun waktu itu, kaum Qurasiy mengetahui bahwa Rasulullah telah memiliki pendukung dan sahabat dari luar Mekkah. Mereka khawatir kalau Rasulullah keluar dari Mekkah kemudian menghimpun kekuatan di sana dan menyerang mereka.

Suatu hari setelah penantian yang memerlukan kesabaran, Rasulullah datang ke rumah Abu Bakar. Tidak biasanya Rasulullah datang ke rumah Abu Bakar dalam situasi yang seperti ini. Abu Bakar langsung tersadar, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangannya, pasti ada kejadian penting.”

Setelah Rasulullah masuk, beliau berkata pada Abu Bakar, “Suruhlah keluargamu keluar rumah.”

“Ya Rasulullah,“ Abu Bakar menjawab, “tidak ada siapa-siapa di sini kecuali keluargaku…”

Rasulullah kemudian menjelaskan, “Allah telah mengizinkan aku berangkat hijrah…”

Abu Bakar berbinar. “Apakah aku jadi menemani engkau, ya Rasulullah?”

Rasulullah menganggukkan kepalanya. Bukan main girangnya Abu Bakar. Ia segera menyiapkan untanya.

Ketika keperluan hijrah sudah terpenuhi, Abu Bakar menunggu-nunggu kenapa Rasulullah belum juga bersiap-siap. Rasulullah memang menunda keberangkatannya. Ternyata Rasululah menemui Ali Bin abi Thalib.

“Ya Ali, kemarilah.”

“Ada apa, Ya Rasulullah?”

“Tolong, kembalikan barang ini kepada pemiliknya. Aku tidak bisa menjumpai mereka langsung dan mengembalikannya. Aku harus segera meninggalkan Mekkah secepatnya dan tidak bisa lagi menjaga barang-barang mereka…”

Ali tertegun. Ditatapnya barang-barang yang ditunjukan Rasulullah. Begitu banyaknya. Pada masa itu setiap orang di Mekkah-termasuk juga orang kafir-yang merasa khawatir terhadap barangnya yang berharga selalu menitipkan kepada Rasulullah. Kaum kafir walau mereka memusuhi Rasulullah, tapi mereka percaya kepada kejujuran dan kesetiaan Rasulullah dalam menjaga barang-barang amanat. Dan nyatanya barang itu selama dalam pengawasan Rasulullah tetap aman terjaga.

Akan halnya Ali, ia segera melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah. Menjaga  barang-barang  kepunyaan orang-orang yang memusuhinya. Sementara itu, Rasulullah dan Abu Bakar menyusun strategi dan bersiap-siap untuk meninggalkan Mekkah menyusul sahabat-sahabat yang lain. [sa/diambil dari buku "Peri Hidup Nabi & Para Sahabat" Karya : Saad Saefullah, Pustaka SPU]

sumber: http://www.islampos.com/ya-ali-kembalikan-barang-barang-ini-290/


sumber image:
rohis-aj.blogspot.com

Andai Kata Lebih Panjang Lagi

“Jika kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.” (Q.S Al Isra : 07)

RASULULLAH mempunyai kebiasaan rutin. Hari itu, ada salah seorang yang meninggal dunia. Seperti biasanya, ketika ada salah seorang sahabatnya meninggal dunia, beliau pasti akan menyempatkan diri untuk mengantarkan jenazahnya sampai ke kuburan. Tidak cukup sampai di situ, pada saat pulangnya, disempatkannya pula singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum yang ditinggalkan supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu. Begitu pun terhadap keluarga sahabatnya itu.

Ketika sampai di rumah almarhum, Rasulullah bertanya kepada istrinya, “Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat ataulah sesuatu sebelum ia wafat?”

Istrinya yang masih diliputi kesedihan hanya tertunduk. Isak tangis masih sesekali terdengar dari dirinya. “Aku mendengar ia mengatakan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah menjelang ajal, ya Rasulullah.”

Rasulullah mangut-mangut. “Apa yang dikatakannya gerangan?”

“Aku tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, aku tidak mengerti apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”

“Bagaimana bunyinya?” desak Rasulullah.

Istri yang setia itu menjawab, sambil masih terisak. “Suamiku mengatakan ‘Andaikata lebih panjang lagi…. Andaikata yang masih baru… Andaikata semuanya….’. Hanya itulah yang tertangkap sehingga aku dan keluargaku bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai….”

Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah itu membuat istri almarhum sahabat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara, “Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,” ujarnya. Beliau menerawang sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah aku ceritakan kepada kalian agar tak lagi heran dan bingung.”

Sekarang, bukan hanya istri almarhum saja yang menghadapi Rasulullah. Semua keluarga almarhum merubungi rasul akhir jaman itu. Ingin mendengar apa gerangan sebenarnya yang terjadi.

“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai. “Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa dengan dengan orang buta yang bertujuan sama—hendak pergi ke masjid pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal salehnya itu. Lalu ia pun berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya adalah andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya akan jauh lebih besar pula.”

Semua keluarga sekarang mengangguk-angguk kepalanya. Mulai mengerti sebagian duduk perkara. “Terus, ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?” tanya sang istri yang semakin penasaran saja.

Nabi menarik nafas sejenak. Kemudian menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali untuk shalat Subuh, cuaca dingin sekali. Di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia pun mencopot mantelnya yang lama yang tengah dikenakannya dan diberikan kepada si lelaki tua itu. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang lama yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dikatakan suami selengkapnya.”

“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa maksudnya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi.

Dengan penuh kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingatkah engkau ketika pada suatu waktu suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Ketika itu engkau segera menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak akan kuberi hanya separuh. Sebab, andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda pula.”

Sekarang, semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan apa yang telah terjadi kepada suami dan ayah mereka ketika menjelang wafatnya tempo hari. Kelapangan telah ia dapatkan karena ia tidak sungkan untuk menolong dan memberi.  [sa/dari buku “Peri Hidup Nabi & Para Sahabat” terbitan SPU Publisher]

sumber: http://www.islampos.com/andai-kata-lebih-panjang-lagi-277/


Saat Rasulullah Pergi

SAKIT Rasulullah saw semakin hari semakin keras. Ini detik-detik kritis. Aisyah merebahkan tubuh orang mulia ini kepangkuannya. Ini momen yang sangat penting bagi Aisyah. Ia dapat merawat sendiri Rasulullah saw di rumahnya.

Abdurrahman bin Abu Bakar, kakak Aisyah adalah sahabat lain yang diperkenankan merawat Rasulullah saw. Ia masuk ke dalam sambil memegang siwak. Melihat itu, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “apakah aku boleh mengambil siwak itu untuk engkau?” Hal ini Aisyah tanyakan kepada Rasulullah saw karena Rasulullah saw sangat suka bersiwak.

Rasulullah saw mengiyakan dengan isyarat kepala. Aisyah pun menggosokan siwak itu ke gigi beliau. Rupanya terlalu keras, Aisyah segera menggosokan dengan pelan-pelan sekali. Di dekat tangan Rasulullah saw ada bejana berisi air. Beliau mencelupkan kedua tangannya lalu mengusap wajahnya. Mulutnya begumam, “ Tiada Ilah selain Allah. Sesungguhnya kematian itu ada sekaratnya.”

Usai bersiwak, beliau mengangkat tangan dan mengacungkan jari, mengarahkan pandangan ke langit-langit rumah. Kedua bibirnya bergerak-gerak. “Bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka dari nabi, shidiqqin, syuhada dan shalihin. Ya Allah ampunilah dosaku dan rahmatilah aku. Pertemukanlah aku dengan kekasih yang Maha Tinggi ya Allah, kekasih yang Maha Tinggi.”

Kalimat ini diulang-ulang hingga tiga kali disusul dengan tangan Rasulullah saw  yang melemah. Beliau wafat. Suasana hening. Saat itu waktu Dhuha, udara sudah terasa panas, senin 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah. Rasulullah saw wafat dalam usia enam puluh tiga tahun lebih empat hari.

Kabar duka itu segera tersebar. Seluruh pelosok Madinah berubah muram. Walau sudah diduga, tetapi kepergian Rasulullah saw  nyata membuat kaum Muslimin terpukul. Anas menggambarkan, “Aku tidak pernah melihat suatu hari yang lebih baik dan lebih terang selain ketika hari saat Rasulullah saw masuk ke tempat kami. Dan tidak kulihat hari yang lebih buruk dan muram selain ketika Rasulullah saw meninggal dunia.”

Berita itu jelas sampai ke semua orang. Termasuk kepada Umar bin Khatab. Mendengar itu, Umar hanya berdiri mematung. Seperti tidak sadar, dia berkata, “Sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah saw  akan meninggal dunia. Rasulullah saw  sekali-kali tidak akan meninggal dunia, tetapi pergi kehadapan Rabbnya seperti yang dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari kaumnya selama empat puluh hari , lalu kembali lagi kepada mereka setelah beliau dianggap meninggal dunia. Demi Allah, Rasulullah saw akan kembali. Maka tangan dan akal orang-orang yang beranggapan bahwa beliau meninggal dunia, hendaknya dipotong.”

Abu Bakar pun tidak kalah terpukulnya. Setelah mendengar kabar itu, dari tempat tinggalnya di dataran tinggi Mekkah, Abu Bakar memacu kuda, lalu turun dan masuk mesjid tanpa berbicara dengan siapapun. Dia segera menemui Aisyah lalu mendekati jasad Rasulullah saw  yang diselubungi kain itu lalu menutupnya kembali. Ia memeluk jasad Rasulullah saw  sambil menangis. Dari mulutnya terdengar, “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada diri engkau. Kalau memang kematian ini sudah ditetapkan atas engkau, berarti memang engkau sudah meninggal dunia.”

Kemudian Abu Bakar keluar rumah dengan masih sambil tersedu. Saat itu Umar sedang berbicara dihadapan orang-orang. Abu Bakar berkata, “Duduklah, wahai Umar!”

Umar tidak mau duduk. Orang-orang beralih kehadapan Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata, “Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Tapi barangsiapa diantara kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak meninggal. Allah berfirman, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kalian berbalik kebelakang-murtad? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Seusai mendengar ayat ini, semua langsung terdiam. Seakan-akan mereka tidak tahu bahwa Allah telah menurunkan ayat ini. Semuanya kemudian menghayati ayat ini. Tidak seorangpun dari mereka yang mendengarnya melainkan membacanya.

Umar sendiri tampak kelihatan linglung. Hingga ia tak kuasa mengangkat kedua kakinya, dan terduduk ketanah saat Abu Bakar memdengarkan ayat itu. Umar merasa terlolosi dan terhempas karena kenyataanya Rasulullah saw  memang sudah meninggal dunia. Tak ada yang dilakukanya kecuali segera mengurus jenazah Rasulullah saw bersama-sama.

Kepergian seorang pemimpin dan panutan tak pelak memang bisa menimbulkan guncangan yang hebat. Jika saja tak ada orang seperti Abu Bakar, bukan tidak mungkin akan meninggalkan kekacauan. Padahal setelah seseorang pemimpin pergi, begitu banyak persoalan yang harus segera ditangani. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup.

sumber: http://www.islampos.com/saat-rasulullah-pergi-270/


sumber image: dakwatuna.com


Senin, 02 September 2013

Rasulullah Tak Pernah Pensiun

Usia Rasul SAW benar-benar produktif hingga usia terakhir. Apalagi ketika diukur dengan imej sebagian orang hari ini. Kosa kata pensiun terlanjur lekat di benak mereka. Pensiun bagi sebagian orang bukan saja berhenti bekerja, tetapi berhenti juga produktifitasnya. Seakan tidak lagi menjadi orang penting di masyarakatnya setelah sebelumnya begitu sentral posisinya. Seakan hanya tinggal menunggu dua hal: kedatangan cucu dan kedatangan kematian. Tentu ini tidak benar.

Penelitian yang dilakukan di Amerika oleh para pakar dari The University of Maryland mengatakan bahwa mereka yang tetap beraktifitas setelah usia pensiun, menikmati kesehatan yang lebih baik daripada yang tidak beraktifitas lagi setelah usia pensiun. Demikian juga keadaan psikologinya, lebih stabil.

Penelitian yang dilakukan di Inggris mendukung hal di atas. Dan menambahkan tentang hubungan antara penyakit pikun dan pensiun. Pikun yang masih dikategorikan sebagai penyakit yang belum diketahui penyebabnya itu diteliti untuk dicari hubungannya dengan berhentinya aktifitas produktif setelah usia pensiun. Hasil penelitian pada 1320 orang yang sudah pikun dan 382 orang yang berpotensi pikun itu adalah: ada hubungan antara terlambatnya seseorang pensiun dengan terlambat datangnya penyakit pikun. Karena otak masih terus aktif. (sumber: aljazeerah.net dan kaheel7.com)

Subhanallah. Islam memang tidak pernah mengenal usia pensiun. Lihatlah dua ayat berikut ini,
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini.” (QS. Al-Hijr [15] : 99)

(Yang diyakini) adalah kematian. Seperti yang dijelaskan oleh Salim bin Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Mujahid. Sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan Bukhari. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/553, MS)

Beribadah kepada Allah batasnya adalah ajal yang datang. Sebelum mati, seseorang harus terus beribadah. Ibadah sendiri adalah aktifitas yang menuntut kesehatan akal. Karena bagi yang sudah tidak sehat akalnya termasuk pikun sudah tidak mendapatkan beban beribadah. Itu artinya, pikun seharusnya jauh dari mereka yang menjaga ibadahnya, biidznillah.

Juga ayat berikut ini,
“Dan Katakanlah, ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakann.” (QS. At-Taubah [9] : 105)

Ayat ini, menjelaskan bahwa bekerja atau beraktifitas kebaikan terus dilakukan hingga kembali kepada Allah yang Maha Mengetahui yang ghoib dan yang nyata.

Untuk itulah, Islam tidak pernah mengenal kata pensiun. Hal itu bisa kita lihat dari dalil-dalil di atas. Adapun penelitian hanya menguatkan ayat-ayat Allah yang tertulis. Untuk itulah, kita bisa jumpai orang-orang besar dalam sejarah Islam, mereka tetap beraktifitas seperti biasa hingga di penghujung usia.

Petunjuk utamanya berasal dari Rasulullah SAW. Usia beliau jelas menggambarkan hal ini. Mari kita lihat di akhir-akhir usia beliau.

Pada usia 53 tahun yang hari ini dianggap sebagai MPP (Masa Persiapan Pensiun), Rasulullah harus melakukan perjalanan menempuh padang pasir di tengah ancaman kematian. Yaitu perjalanan mulia: Hijrah ke Kota Madinah. Kepala beliau dihargai 100 ekor unta bagi siapapun yang bisa menangkapnya hidup atau mati. Perjalanan itu beliau tempuh selama kurang lebih 15 hari. Beliau meninggalkan Kota Mekah pada malam 27 Shafar 14 Kenabian dan sampai di Kota Madinah tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H, setelah menetap di Quba’ selama 4 hari. Sebuah aktifitas yang terlalu melelahkan dan berisiko untuk orang seusia itu.

Pada usia 55 tahun di mana dianggap telah pensiun pada hari ini, Rasulullah SAW justru mendapatkan perintah baru yang belum ada sebelumnya dan memerlukan kekuatan fisik, otak berikut tekad. Yaitu jihad (perang). Perintah jihad baru diturunkan pada tahun 2 H. Jihad jelas memerlukan kekuatan fisik yang terkadang perlu berhari-hari untuk sampai di kamp musuh, dalam keadaan cuaca apapun. Juga kekuatan otak dalam mengatur strategi perang, menganalisa kekuatan dan kelemahan serta informasi. Kekuatan tekad sangat diperlukan dalam jihad. Tekad yang hadir dari iman yang menggelora dan tidak padam hanya oleh ketakutan atau kesenangan, kekalahan atau kemenangan. Kalau dirata-rata, beliau harus keluar untuk perang setiap 4 bulan sekali. Jumlah peperangan yang diikuti langsung oleh Rasul ada 28 kali dari tahun 2H – 9H (lihat: al-Athlas al-Tarikhi li Sirah al-Rasul, Sami Abdullah al-Maghluts, h. 151, Maktabah al-‘Ubaikan, 1435H).

Fisik, otak, tekad untuk perang, sungguh tidak mudah di usia 55 tahun.

Pada usia 60 tahun -madzhab pensiun di barat dan perpanjangan 5 tahun terakhir bagi jabatan tinggi di Indonesia-, Rasulullah SAW masih harus menjalani perjalanan jauh untuk melanjutkan dakwah beliau. Di usia itu beliau masih harus menjalan 3 peperangan; Fath Makkah, Hunain dan Thaif. Tanyakan hari ini, di mana ada panglima yang masih siap memimpin di lapangan hingga usia 60 tahun. Shallallahu alaika ya Rasulallah…

Hingga pada detik-detik terakhir beliau wafat, usia masih produktif untuk kebaikan. Dari 14 hari beliau sakit kepala dan demam tinggi hingga beberapa kali pingsan, beliau masih mampu memimpin para shahabatnya shalat berjamaah selama 11 hari. Pada Hari Sabtu (beliau wafat hari senin), Rasul SAW merasakan sakitnya mereda, maka beliau pun keluar untuk shalat di masjid walaupun harus dipapah oleh dua orang. Pada hari Ahad, beliau masih melakukan kebaikan; membebaskan beberapa budak, shadaqah sebesar 7 dinar (mata uang emas) dan menghibahkan senjata-senjata beliau untuk muslimin.

Di sela-sela sakitnya itu beliau SAW masih memberikan nasehat dan perintah kepada para shahabatnya. Di antaranya beliau memberi kesempatan bagi siapapun yang mau membalas semua kesalahan beliau selama ini. Menyampaikan agar tidak sama dengan Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Menasehati agar berbuat baik kepada seluruh masyarakat Anshar. Memerintahkan agar tidak boleh ada dua agama di Jazirah Arab. Pada Shubuh terakhir untuk Rasulullah SAW (senin pagi), beliau masih bangun pagi dan membuka sitar rumahnya untuk menyaksikan para shahabatnya melakukan Shubuh berjamaah dan untuk melemparkan senyum manis beliau; senyum perpisahan. Dan inilah kalimat terakhir yang dibisikkan di telinga istri tercinta Aisyah radhiallahu anha,

“…bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 69)

“Ya Allah ampunilah dan rahmatilah aku, dan pertemukan aku dengan ar-Rafiq al-a’la, allahuma ar-rafiq al-a’la.” (Lihat: ar-Rahiq al-Makhtum h. 370-374, Dar Ibn al-Khaldun)

Sungguh inilah produktifitas usia yang tak pernah mengenal pensiun. Benar-benar hingga hembusan nafas terakhir. Hingga kekuatan terakhir, saat tangan terkulai. Dan beliau SAW pun menghadap Allah yang Maha Tinggi pada Hari Senin waktu Dhuha, 12 Rabi’ul Awwal 11 H.

Bukankah kita sering berbicara tentang prestasi hidup dan produktifitas usia. Kini kita tahu, Rasulullah SAW sang teladan itu. Capaian usia maksimal dan ideal. Karena beliau tidak pernah mengenal pensiun

sumber: http://www.eramuslim.com/peradaban/sirah-tematik/rasulullah-tak-pernah-pensiun.htm#.UiQ9rj96pSs

3 Fase Kehidupan Rasulullah SAW

Jika isi kurikulum pendidikan begitu berkualitas. Telah dikaji oleh para ahli. Dirumuskan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu berlandaskan penilitian yang mendalam. Dalam rentang waktu yang tidak bisa dibilang pendek. Bukankah luar biasa kurikulum seperti ini?

Tetapi, bagaimana jadinya jika kurikulum yang sudah luar biasa itu disampaikan dengan urutan yang beracak. Tidak diperhatikan kapan ilmu tertentu disampaikan. Juga tidak dianalisa porsi sebuah ilmu diajarkan pada fase tertentu. Tidak jelas ilmu mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan.

Hanya urutan. Hanya urutan? Tidak hanya!
Bagaimana mau berhasil kalau kurikulum matematika kelas 1 SD umpamanya, diajarkan di kelas 6 SD. Dan sebaliknya, IPA kelas 6 SD dijejalkan di kelas 1 SD. Pelajaran fikih hudud (hukuman pengadilan) diajarkan di usia awal. Sementara menghapal al-Qur’an baru dimulai di usia senja (itupun kalau mulai).

Kurikulum dengan kualitas istimewa, seistimewa apapun pasti tidak akan menghasilkan generasi yang diharapkan jika tidak dipadu dengan urutan penyampaiannya. (Hanya) salah urutan.

Di sinilah pentingnya melihat urutan kehadiran manusia paling mulia, Rasulullah shalallahu’alaihi wassallam dalam seluruh fase kehidupannya. Karena seluruh kehidupan beliau bukan saja menarik untuk dikaji tetapi selalu ada keteladanan dan pelajaran bagi kehidupan kita.

Jika dibagi secara garis besar, kehidupan Rasulullah shalallahu’alaihi wassallam melalui 3 fase besar. Masing-masing fase menggambarkan dengan sangat gamblang urutan kurikulum melahirkan generasi peradaban mulia. Ketiga fase itu adalah:
1.    0 – 40 tahun Fase Persiapan
2.    40 – 53 tahun Fase Makkiyyah
3.    53 – 63 tahun Fase Madaniyyah

Fase Persiapan
Usia 0 – 40 tahun kita sebut sebagai fase persiapan. Karena Muhammad shallallahu alaihi wasallam mencapai puncak kehidupan pada usia kira-kira 40 tahun. Pada usia itulah beliau mencapai prestasi tertinggi manusia di muka bumi ini. Yaitu menjadi pemimpin bagi seluruh manusia di dunia dan akhirat; menjadi Nabi.

Risalah (Tugas Kerasulan) adalah merupakan hak penuh Allah subhanahu wata’ala untuk diberikan kepada siapa yang Dikehendaki. Sebagaimana firman-Nya,
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al-An’am [6] : 124)

Membaca penjelasan shahabat mulia Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berikut ini, kita akan memahami ternyata hak penuh Allah subhanahu wata’ala tersebut tidak diberikan kepada sembarang orang.
Dari Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Allah melihat hati-hati hamba, maka Dia memilih Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Kemudian Dia mengutusnya dengan tugas kerasulan dan memilihnya dengan ilmu-Nya. Kemudian melihat hati-hati manusia setelahnya, maka Dia memilih baginya shahabat-shahabat. Maka Dia menjadikan mereka penolong agama-Nya dan pembantu-pembantu Nabi-Nya.” (ath-Thayalisi no. 246, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 1/375, dihasankan sanadnya oleh as-Sakhawi dan al-Albani dan dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi, lihat silsilah al-Ahadits adh-Dhaifah no. 533)

Ternyata Muhammad shalallahu’alaihi wassallam dan para shahabatnya adalah pilihan di antara seluruh manusia. Faktornya satu; kebersihan hati.

Terbayangkan kah oleh kita, betapa beratnya membersihkan hati dan kehidupan di tengah carut marut sistem Jahiliyyah seperti Mekah ketika itu. Bukankah hari ini, di tengah masyarakat muslim ini banyak yang menyerah dalam pembersihan jiwanya dengan berdalih arus sistem sangat kuat.

Selain itu, sunnatullah bicara bahwa untuk menjadi orang besar memerlukan persiapan yang luar biasa. Apalagi ini adalah puncak kebesaran; menjadi seorang Rasul. Pasti bukanlah sebuah kebetulan, juga bukan ketidaksengajaan, apalagi tiba-tiba.

Untuk itulah 0-40 tahun usia Nabi adalah fase persiapan untuk menjadi orang besar.

Fase Makkiyyah
40-53 tahun adalah usia Nabi di fase Makkiyyah (Mekah). Rentang 13 tahun tersebut adalah sebuah fase membangun pondasi keIslaman. Pondasi aqidah ataupun pondasi akhlak. Sebelum taklif (beban) Islam diberikan berupa ibadah dan aturan muamalah.

Inilah pondasi yang kokoh dengan kesabaran di rentang waktu yang tidak sebentar. Karena yang akan dibangun adalah bangunan Islam yang besar dan menjulang.

Berikut ini beberapa karakter fase ini:
1. Fase Mekah adalah fase ta’sis (pondasi permulaan).
•    Semua nilai perjuangan yang mampu menjelaskan kata ta’sis akan menjadi karakter untuk masa ini. Bukankah Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menghabiskan waktu dan potensi diri dan shahabatnya hanya untuk mendiskusikan politik Romawi dan persia sebagai penguasa bumi saat itu. Tetapi lebih sibuk membangun SDM pemimpin bumi saat nanti tiba masanya Islam Menggantikan dua imperium tersebut. Bukankah Nabi berikut shahabatnya tidak menghancurkan wujud patung-patung di sekitar Ka’bah, sebelum patung-patung itu hancur di hati masyarakat Mekah. Bukankah Nabi menyiapkan pondasi untuk seluruh rencana bangunan utuh peradaban Islam. Pondasi itu adalah aqidah yang murni dan kokoh, berikut akhlak yang berkilau penuh kemuliaan.

2. Dominan membangun manusia dibandingkan membangun sistim
•    Sistem tetap dibangun oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Terutama sistem untuk pengamanan tunas dakwah yang rawan rontok karena arogansi kemusyrikan. Tetapi beliau tidak disibukkan membangun sistem sehingga melupakan tugas utama dalam membangun SDM. Nabi tidak mengajak shahabat berdiskusi tentang sistem negara Islam yang akan dibangun; ekonomi, politik, keamanan, pasukan dan sebagainya.
•    Yang ada adalah membangun generasi yang beriman dengan iman yang lebih kokoh dari tancapan gunung. Berilmu yang lebih luas dari samudera yang masih bertepi. Bermoral yang kilaunya lebih memancar dari berlian.

3. Pembagian Fase Makkiyyah
•    13 tahun ini dibagi dua: 10 tahun untuk membangun pondasi SDM sambil mencari tempat.
•    3 tahun sisanya untuk menyiapkan tempat, sebagai permulaan membangun sistem kekuasaan.
•    10 tahun yang pertama dibagi dua: 3 tahun dakwah dari individu ke individu dan orang-orang terdekat tanpa mengumumkan secara terbuka konsep barunya. 7 tahun dakwah terbuka, menyampaikan ajaran Islam yang asing bagi masyarakat dengan semua resiko yang harus dihadapi.

4. Taklif ibadah ada, tetapi tidak melebihi kuantitas penanaman aqidah
•    Tercatat hanya beberapa ibadah penting yang sudah diturunkan sejak di Mekah. Bahkan shalat 5 waktu yang wajib pun baru diturunkan perintahnya pada sekitar satu tahun menjelang hijrah; artinya setelah 12 tahun penanaman aqidah.
•    Bisa dikatakan bahwa hikmah ibadah yang diturunkan di fase Mekah untuk melatih membawa beban. Karena kelak di Madinah, beban akan dipikulkan hingga yang terberat sekalipun seperti jihad. Mereka yang pernah berlatih dan terlatih, akan terasa ringan dengan beban berikutnya dengan tingkat resiko yang lebih tinggi.
•    Ibadah di fase ini juga merupakan aktifitas spiritual mendekat kepada Allah subhanahu wata’ala. Sebuah nilai mahal yang berfungsi untuk menjaga ketahanan iman dan kesabaran fisik selama masa tekanan di fase ta’sis.

Fase Madaniyyah
53-63 tahun adalah usia Nabi di fase Madinah. 10 tahun ini merupakan fase maksimalisasi taklif (beban ibadah), akad muamalah untuk kekuasaan dan penerapan sistem Islam.

Surat al-Baqarah mewakili suasana ini. Inilah surat yang pertama turun di fase Madinah (al-Athlas al-Tarikhi li Sirah al-Rasul, Sami al-Maghluts, Maktabah al-‘Ubaikan, h. 105). Al-Baqarah masih membawa suasana surat-surat Makkiyyah tetapi sudah dominan bicara tema-tema Madaniyyah yang baru.

Al-Baqarah satu-satunya surat Madaniyyah yang masih mencantumkan kisah-kisah umat terdahulu. Padahal kisah umat terdahulu adalah merupakan tema ayat-ayat Makkiyyah.

Al-Baqarah satu-satunya surat Madaniyyah yang masih mencantumkan kisah Adam dan Iblis, kisah pertarungan pertama antara al-Haq dan al-Bathil. Kisah Adam dan Iblis adalah merupakan tema yang dibahas di ayat-ayat Makkiyyah. (Lihat: Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Manna’ al-Qaththan, h. 59)

Sisa ayatnya lebih banyak tentang pembahasan khas Madinah berupa ibadah dan sistem muamalah dalam Islam. Shalat, zakat, puasa, haji dan umroh, hukum qishash, hukum halal haram, hukum khomr dan judi, larangan riba, hutang piutang, hukum sumpah, wasiat, hukum haidh, talak, masa iddah, khulu’, ila’, susuan, hukum seputar pernikahan dan juga perang.

Subhanallah, sangat luar biasa bukan, urutan al-Qur’an dalam membangun peradaban. Al-Baqarah yang mengakhiri sebuah fase masih mengingatkan tema terdahulu. Al-Baqarah yang mengawali sebuah fase membuka tema-tema yang merupakan konsentrasi fase ini.

Berikut ini beberapa karakter fase ini:
1. Membangun sistem negara menjadi konsentrasi awal fase ini
•    Memaksimalkan fungsi masjid, mempersaudarakan sesama muslim dengan ikatan melebihi persaudaraan nasab belaka, membuat perjanjian dengan non muslim dalam kerjasama, membangun ekonomi umat.
•    Kesemuanya adalah aktifitas Nabi di awal kaki beliau menapaki jalanan Kota Iman tersebut. Dan semua itu adalah variabel sebuah negara Islami.

2. Dominan taklif
•    Madinah bukan lagi Mekah yang masih membangun pondasi. Masyarakat muslim telah siap. Siap untuk mendapatkan beban seberat apapun. Setelah tahun pertama digunakan untuk menanamkan variabel negara, tahun kedua adalah tahun turunnya taklif (beban ibadah). Terhitung pada tahun kedua ini perintah puasa diturunkan, zakat, hingga jihad. Karena masyarakat telah kokoh pondasinya, maka beban tak lagi menjadi beban. Beban yang bahkan bisa dinikmati.
•    Tentu, tetap saja tema membangun aqidah dan akhlak merupakan hal yang terus diingatkan sepanjang fase Madinah. Tetapi, taklif adalah dominasi fase ini.

3. Pembagian fase Madaniyyah
Fase ini bisa dibagi menjadi 5:
1.    1H: Menanamkan variabel penerapan sistem Islam dan kekuasaan
2.    2H – 5H: Masa perjuangan karena reaksi musuh Islam
3.    5H – 6H: Masa pertama musuh Islam mulai menyerah satu per satu
4.    7H: Masa ekspansi Islam lebih luas
5.    8H – 11H: Masa kemenangan dengan grafik terus meningkat

Sebuah strategi nabawi yang sangat rapi dan sistematis.
Kalau kita ramu ulang 3 fase tersebut akan menghasilkan poin sebagai berikut:

Bersabarlah diri dalam mempersiapkan diri. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam lebih banyak menghabiskan usianya untuk persiapan (40 tahun) dibandingkan perjuangan (23 tahun)

Yang bersabar dalam membangun diri menjadi mukmin sejati, tidak akan terjatuh saat memasuki hasil berupa kekuasaan dan harta. Bagi Nabishalallahu ‘alaihi wassallam berbanding 13 tahun : 10 tahun.

Aqidah dan akhlak sebelum ibadah dan muamalah
Dengan urutan ini, tidaklah Rasul wafat kecuali Islam telah membuka seluruh jazirah Arab. Setelah sebelumnya hanya sebuah kota kecil yang bernama Madinah.

Inilah utuhnya. Utuhnya sebuah strategi dan urutan membangun peradaban sekaligus dalam mendidik generasi pembangun peradaban itu. Untuk sebuah hasil utuh dan maksimal. Agar hari ini kita mampu mengulang masa kebesaran shahabat Nabi.

Cacat pada sebagian urutan, akan berefek cacat pada sebagian hasilnya. Prosentase kegagalan dan lubang keberhasilan seiring sejalan dengan prosentase kegagalan dalam menerapkan urutan.

Kurikulum pendidikan bagi generasi kita hari ini yang ditugasi Nabi untuk mengembalikan masa kebesaran shahabat beliau dulu, harus mengikuti urutan tersebut.

Dari masa persiapan untuk kemapanan pribadi muslim, menuju perjuangan membangun pondasi aqidah dan akhlak pada diri dan masyarakat, hingga perjuangan menuju penerapan utuh sistem Islam dan kekuasaan. Untuk akhirnya meninggalkan dunia menghadap Robb dengan membawa amal shalih peradaban.

Ya Allah, bimbing kami…

sumber : http://www.eramuslim.com/peradaban/sirah-tematik/3-fase-kehidupan-rasulullah-saw.htm#.UiQ80z96pSs